Selasa, Oktober 8, 2024

Tatkala Didik Kempot Tiada dan Nasib Seniman Jalanan

Gantyo Koespradono
Gantyo Koespradono
Mantan Jurnalis, Pemerhati Sosial dan Politik.

Terus terang saya tidak bisa membayangkan seperti apa nasib tim manajemen Didi Kempot setelah pencipta dan penyanyi itu — dulu ia seorang pangamen — meninggal dunia tiga bulan lalu.

Di tengah pandemi Covid-19 (banyak orang menyebut dengan pagebluk), “anak buah” Didi Kempot, seperti pemain musik yang selama ini setia mendampingi Didi manggung tentu lebih menderita, karena tidak ada lagi order naik panggung.

Saya bisa pahami jika tempo hari Rhoma Irama akhirnya tak tahan juga dan mengisi aksi konser di Bogor dan mengundang pro dan kontra lantaran melanggar protokol kesehatan soal pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19 — entah, tak ada yang bisa memastikan kapan berakhir — memang memukul siapa pun, tidak kecuali para seniman (musik, lukis, dan lain-lain).

Para seniman kelas (maaf) kampung pun kini menganggur. Para orang tua di perkampungan yang mengawinkan anaknya kini tak lagi mengadakan pesta yang lazimnya mengundang orkes dangdut untuk menghibur para tetangga dan tetamu.

Imbauan tidak menggelar pesta selama masa pandemi Covid 19, membuat para seniman yang menggantungkan hidup dari bermain musik di pesta-pesta atau kegiatan lainnya, memang benar-benar tak berdaya.

Ada memang pihak yang telah memerhatikan nasib mereka, tapi belum dilakukan secara terprogram dan terstruktur, seperti yang dilakukan Kapolres Simalungun AKBP Heribertus Ompusunggu beberapa bulan lalu. Ia membagikan sembako kepada 50 seniman atau pemain musik di halaman Mapolsel Bangun, Sumatra Utara.

Lha, setelah itu? Tak jelas. Merasa peduli dengan nasib para “seniman”, teman saya, Eko Kuntadhi beberapa hari lalu menulis bahwa masa depan para peniman di masa pandemi ini suram.

Pendemi telah memorakporandakan periuk nasi mereka. Sektor hiburan adalah sektor yang pertama kali ditampar krisis, dan andai saja telah pulih, merupakan sektor yang paling belakangan siuman.

Ia mengambil contoh nasib yang menimpa pengamen yang disebutnya tukang genjreng. Beberapa rumah makan belakangan ini memang sudah buka seperti biasa. “Ruang untuk para semiman jalanan mencari pendapatan terbuka lagi. Tapi suasananya berbeda. Sungguh berbeda jauh,” tulis Eko Kuntadhi.

Namun sayang, dalam tulisannya, Eko yang niatnya bersimpati, malah terkesan nyinyir. Menurut netizen yang kalau muncul di Cokro TV selalu nyinyir itu, sebelum krisis, ia mengaku tidak pernah bermasalah dengan kehadiran pengamen.

“Ketika makan, ada pengamen datang, saya santai saja menikmatinya. Tapi setelah krisis, saya malah agak sedikit khawatir. Bukan apa-apa, karena jarang ada pengamen yang bernyanyi dengan tetap memakai masker,” tulisnya.

Oke, soal masker yang juga harus dipakai para pengamen, saya setuju dengan Eko. Tapi jika Eko kemudian membandingkan dengan seniman profesional, menurut saya, tidak pas. Tidak apple to apple.

“Inilah bedanya seniman jalanan dengan para musisi atau penyanyi profesional. Penyanyi profesional biasanya tampil di panggung. Jarak antara dia dan penonton cukup jauh. Beda dengan seniman jalanan, yang jaraknya dengan konsumen begitu dekat. Droplet bisa jadi tidak terhindari saat mereka menyanyi,” begitu pembanding Eko.

Eko kemudian menyimpulkan, kondisi pendemi kali ini telah memorakporandakan pandangan orang terhadap seniman jalanan. Aksi mereka yang selama ini dianggap sebagai hiburan, meski ala kadarnya, kini justru dipandang sebagai ancaman atau penganggu. Orang jadi khawatir dengan kehadiran mereka. Apalagi seniman jalanan yang biasanya menghampiri konsumennya begitu dekat.

Namun, di luar itu saya sependapat dengan Eko, bahwa para “seniman” jalanan memang perlu meningkatkan diri dan tertib juga melindungi diri sendiri dan orang lain terkaid Covid-19.

Nggak ada salahnya mereka tampil necis, nggak harus mengenakan baju mahal; yang penting rapi. Perlulah tampil beda, berdasi misalnya. Awalnya memang bakal ditertawakan orang. Tapi dalam new normal, nggak dilarang, kok, kita kreatif.

Nggak ada salahnya belajar olah vokal, sehingga para seniman jalanan nggak terus dinyinyirin Eko Kuntadhi, hanya tukang genjreng.

Siapa tahu, kelak mereka bisa menjadi penyanyi profesional seperti Didi Kempot yang lagu-lagu ciptaannya kerap mereka nyanyikan.

Tapi, ngomong-ngomong, siapa ya yang peduli dengan nasib mereka? Siapa atau lembaga mana yang akan mendampingi mereka?

Terus terang dalam soal ini, saya masih gelap.

Gantyo Koespradono
Gantyo Koespradono
Mantan Jurnalis, Pemerhati Sosial dan Politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.