Kamis, April 25, 2024

Tanpa Oposisi, Apa Artinya Demokrasi

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia

Pemilu legislatif dan pemilihan presiden sudah berlalu. Tahun politik yang keras dan brutal bagi masyarakat kita. Kabar hoaks dan ujaran kebencian mencapai titik didihnya.

Kala itu, emosi warga membuncah di beragam platform media sosial menyuarakan pilihan dan menyerang pihak-pihak yang tidak disukai. Hingga aksi-aksi jalanan dan letupan kerusuhan yang menyertai sebagai ekses dari praktik demokrasi kita.

Setelah semua itu, elite-elite politik menampilkan wajah santun rekonsiliasi yang seolah memperlihatkan tidak pernah ada perseteruan selama proses pemilu. Silaturahmi dan komunikasi politik memang diperlukan dalam proses politik.

Tak pernah ada jalan buntu di dunia politik. Pertemuan dua seteru Pilpres di gerbong MRT mendinginkan suasana, menunjukkan sikap kenegarawan dua calon presiden. Ada kalanya berkompetisi, ada pula saatnya saling berjabat tangan.

Publik bisa memahami pertemuan antara Jokowi dan Prabowo sebagai dua sosok negarawan. Tapi apa yang bisa dipelajari masyarakat dari pertemuan selanjutnya di Teuku Umar? Prabowo yang hadir sebagai tokoh oposisi bertemu dengan Megawati, pimpinan partai utama penguasa, dalam sebuah jamuan makan siang.

Tak cukup dengan itu, Prabowo pun mendapat undangan istimewa dalam kongres PDIP yang dipercepat di Pulau Dewata. Pertemuan-pertemuan ala rekonsiliasi ini menyiratkan bahwa Gerindra akan masuk dalam koalisi pemerintahan.

Naga-naganya tak hanya Partai Gerindra, praktis hampir semua partai dari kubu oposisi tak menolak jika diajak masuk ke dalam kabinet. Elite-elite Demokrat tampak sibuk mencari muka kepada Jokowi. Begitu pula dengan PAN yang dikenal tak pernah setia menjadi oposisi.

Adagium bahwa politik itu dinamis, lentur seperti karet, bisa jadi ada benarnya. Tetapi politik juga mensyaratkan keadaban yang mesti dipertontonkan kepada publik sebagai pembelajaran.

Hanya demi tarikan pragmatisme, seketika elite politik bisa berpaling, meninggalkan konstituen yang telah menelan janji-janji. Di mana prinsip-prinsip yang harus menjadi pegangan politik? Demikiankah kita mengajarkan kepada masyarakat dan generasi mendatang tentang praktik berdemokrasi?

Teori-teori klasik tentang demokrasi mensyaratkan keberadaan suara-suara kritis yang diwadahi dalam oposisi. Kita tak menginginkan negeri ini kembali pada era otoritarianisme di mana parlemen hanya menjadi stempel bagi pihak berkuasa.

Suara-suara sumbang lenyap dari wacana utama dan berkembang menjadi protes-protes senyap dan meletup di jalanan. Perubahan yang didorong pada 1998 telah melahirkan aspirasi demokrasi disertai dengan keberadaan partai-partai oposisi.

Gerindra, PAN, dan PKS bisa belajar dari PDIP yang konsisten menjadi oposisi ketika mereka kalah dalam dua kali kompetisi Pilpres. PDIP kini menuai panen, menang berturut-turut, bahkan disebut-sebut akan berlanjut pada 2024.

Jika oposisi memilih berbalik badan, lalu apa yang bisa dipertahankan dari suara para pendukung? Apakah mereka ingin gelombang kekecewaan menggerus basis suara mereka sendiri? Dan menjadikan suara yang telah ditentukan di bilik TPS tak lagi mempunyai arti?

Indonesia membutuhkan oposisi yang konstruktif, kredibel, dan berkualitas. Kalau tidak, lalu apa gunanya kita berdemokrasi?

Publik menginginkan hadirnya oposisi sebagai penjaga demokrasi kita

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.