Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menemani Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb (kanan) saat berkunjung ke Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. ANTARA FOTO
Saat itu, sekitar tahun 1970-an, Iran di bawah komando Ayatullah Khomaeni sedang berjuang menggulirkan Revolusi Islam. Murtadha Muthahhari menjadi ulama-intelek paling berpihak dan dipercaya Khomaeni. Ia menjadi “tangan” Khomaini di Iran ketika ia masih diasingkan di Prancis saat itu.
Di sisi lain, Marxisme dianggap sebagai ancaman atau setidaknya ideologi seberang bagi (ideologi) Islam. Namun, saat itu Muthahhari justru meminta Marxisme diajarkan di kampus-kampus Islam dan pesantren-pesantren, khususnya di Iran. Tujuannya, agar ia bisa dipahami secara benar dan utuh oleh sarjana-sarjana Muslim dan santri-santrinya, untuk kemudian dikritik dan dihancurkan bangunan paradigmatiknya yang dianggap bertentangan dengan Islam dan mengancam dunia Islam. Toh, bukankah dengan begitu iman dan Islam kita semakin mantap?!
Maka, Mutahhari menjadi salah satu sarjana Muslim Iran yang aktif berceramah dan menulis gagasan kritis atas Marxisme, materialisme, dan ideologi Barat lainnya. Ali Syariati, sarjana Muslim Iran lainnya, juga menulis karya khusus kritik atas Marxisme dan sesat pikir Barat lainnya.
Di Indonesia, tradisi itu dilakukan oleh, misalnya O. Hashem pada 1963 melalui karyanya berjudul Marxisme dan Agama.
Namun, entah kenapa saat ini sebagian umat Islam di Indonesia cenderung gemar melarang, sebagaimana sebagian mereka juga gemar mengkafirkan (takfiri). Padahal, pelarangan tentu bukan solusi. Sebab, bagi umat yang awam, tanpa dilarang pun mereka cenderung abai pada hal-hal semacam itu. Adapun bagi umat yang intelektual, pelarangan justru alih-alih memicu rasa ingin tahu dan membenci sikap arogan serta pembodohan semacam itu.
Pelarangan hanya timbul dari kekerdilan hati dan pikiran sebagian umat Islam atas keimanan dan keislamannnya. Ia juga bukan logika dan tradisi al-Quran. Al-Quran selalu menantang siapa saja yang ragu atasnya. Baca, misalnya, Al-Baqarah: 258 tentang bagaimana Ibrahim terbuka atas debat tentang Tuhannya. Atau baca Al-Baqarah: 23 yang menantang siapa saja yang meragukan Al-Quran untuk membuat satu ayat saja seperti ayat-Nya.
Adapun logika Muthahhari sebenarnya kepanjangan dari logika Al-Quran. Yakni Al-Quran tak pernah takut pada ancaman-ancaman doktrinil maupun ideologis apa pun, lantaran tentu kemantapan, kedewasaan, dan kebulatannya. Baca saja Al-Maidah: 105 yang menegaskan bahwa “orang yang tersesat tidak akan membahayakan kalian ketika kalian mendapat petunjuk”.
Akhir ayat tersebut malah menyindir mereka yang suka melarang atau juga mengkafirkan dengan menyebutnya sebagai orang-orang yang seolah tak mendapat petunjuk dari Tuhannya.
“Tak ada paksaan dalam agama,” begitu firman Allah dalam Al-Baqarah: 256. [Seperti, misalnya dikemukakan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ada yang menilai bahwa ayat ini di-naskh dengan ayat qital (perang). Namun, Tafsir at-Thabari, misalnya, menolak tegas pendapat tersebut. Bahkan ditegaskannya bahwa ayat ini turun pada masalah khusus, namun hukumnya berlaku umum]
Karena, pada dasarnya, agama adalah seperangkat kepercayaan atau keyakinan. Oleh karena itu, perkara tentang agama memang mustahil untuk dipaksakan. Orang bisa saja memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu yang bersifat fisik, namun orang tersebut mustahil bisa memaksa seseorang untuk mengimani atau mengingkari sebuah kepercayaan: agama.
Sebuah kisah dari Erik Saar, seorang sersan penerjemah bahasa Arab yang sempat berdinas di salah satu koloni Guantanamo, dalam bukunya erjudul Inside The Wire” yang diterbitkan oleh Penguin pada 2005, interogator di Guantanamo kerap melarang tawanan Muslim untuk melaksanakan ibadahnya, serta memaksa mereka melakukan hal-hal yang dilarang dalam agamanya.
Upaya itu dilakukan demi runtuhnya iman tawanan tersebut, sehingga mereka rela berbagi informasi dan berbalik menjadi berpihak pada interogator. Sebab, iman-lah yang memang menjadi kekuatan mereka: janji akan akhirat, saat Tuhan membalas semua keburukan dan kebaikan, sekecil apa pun (Surat At-Taubah: 7-8).
Namun, kenyataan yang terjadi justru paradoks. Tawanan itu sama sekali tak tergoda. Imannya tak goyah sedikit pun. Ia tetap diam dan mengunci mulutnya. Malah, ia justru menganggap sang interogator dan berbagai upayanya sebagai sesuatu yang sangat kotor dan menjijikkan, sebagai ujian untuk meningkatkan keimanannya.
Juga sebagai kebodohan, karena sang interogator tak tahu bahwa keyakinan agama adalah perkara hati, sedangkan paksaan hanya bisa sampai pada fisik saja. Sesekali mereka melumuri tawanan dengan darah haid, dengan harapan agar tawanan tak bisa menemui Tuhannya. Mereka begitu bodoh, tak tahu bahwa pada suasana terpaksa, fisik menjadi tak berarti ketika hati tetap tunduk pada-Nya.
Asbabun nuzul ayat tersebut, seperti diriwayatkan Ibnu Jarir dari Ibnu ‘Abbas, juga tentang seorang laki-laki dari kaum Anshar bernama Hushain yang memiliki dua anak beragama Nasrani. Dia lalu mengadu pada Nabi dengan berkata, “Apa saya perlu memaksa mereka untuk memeluk Islam?” Maka, Allah kemudian menurunkan firman-Nya tersebut.
Ada juga yang menyatakan bahwa asbabun nuzul ayat tersebut adalah adanya seorang wanita yang lama tak mempunyai anak, lalu berjanji bahwa jika memiliki anak, dia akan memasukkannya ke agama Yahudi. Tatkala orang Anshar mendengar itu, mereka langsung berkata, “Kami takkan membiarkan anak-anak kami (menjadi Yahudi)”. Lalu, turunlah ayat tersebut.
Kepercayaan adalah buah dari pikiran dan pemahaman. Karenanya ayat tersebut sebenarnya sebuah perintah agar kita tak melakukan seluruh bentuk pemaksaan dalam mendakwahkan agama, yang didasarkan atas informasi bahwa karena memang pada kodratnya agama diciptakan sebagai sebuah kepercayaan atau keyakinan di hati dan pikiran yang mustahil bisa dipaksakan, bagaimanapun juga caranya.
Menurut Quraish Shihab, ayat sebelumnya (Ayat Kursi) telah menjelaskan tentang Allah, kewajarannya untuk disembah, dan keharusan mengikuti agama yang ditetapkan-Nya. Jelas pula sebelumnya bahwa kekuasaan-Nya tak terbendung, sehingga–seperti juga dijelaskan di ayat-ayat lain (Al-Ma’idah: 48) bahwa–Dia bisa saja memaksa manusia untuk mengikuti jalan yang telah ditentukan-Nya. Namun, Dia tegaskan bahwa Dia sama sekali tak melakukan itu dan ayat ini juga menampik orang-orang yang mungkin menduga bahwa Dia akan melakukan itu. “Apakah kamu akan memaksa manusia hingga mereka beriman?,” sindiran Allah dalam Surat Yunus: 99.
Alih-alih menurut Quraish Shihab, Islam berarti damai. Dia menghendaki kedamaian bagi kita. Karenanya, Dia tak mau memaksa, sebab kedamaian tak bisa diraih oleh jiwa yang terpaksa.
Allah juga tahu bahwa sebenarnya kita ingin sekali setiap orang masuk dalam jalan keselamatan yang kita yakini adalah Islam. Namun, keinginan itu harus dikelola dan dicukupkan dengan menyampaikan kebenaran.
Adapun hasilnya sama sekali itu bukan menjadi penilaian Allah atas kita. Sebagaimana Syekh Nawawi al-Bantani jelaskan dalam Tafsir Al-Munir ketika menafsir ayat tersebut, yakni bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui tentang Nabi yang menginginkan Ahlul Kitab masuk Islam. Itulah rasa kasih hati Nabi. Namun, justru karena kasih itu, ia tak mau memaksa.
Begitulah teladan Nabi. Padahal, seperti kita tahu, posisi ayat ini adalah ayat yang turun di Madinah. Artinya, ia turun dalam kondisi Nabi menang dan berkuasa. Namun, tetap saja Nabi tak mau memaksa atas nama kekuasaannya. Sebagaimana takwil Imam al-Razi bahwa ayat itu terkait dengan mereka yang memeluk Islam setelah peperangan. Karenanya, salah satu posisi ayat ini semacam konfirmasi bahwa mereka yang menjadi Muslim bukan karena takut, tapi karena pilihan sadar dan bebas mereka.
Lebih jauh, Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Wasith menegaskan posisi ayat ini sebagai ayat pendukung kebebasan beragama dalam Islam dan pelarangan memaksakan agama. Penyebaran adalah dengan memberi kepuasan dan bukti, dengan hujjah dan penjelasan, bukan penindasan dan paksaan. Selaras dengan takwil Imam al-Razi atas ayat tersebut yang menurutnya juga menegaskan bahwa keimanan dibangun bukan di atas paksaan, melainkan pengetahuan.
Wahbah az-Zuhaili, melalui ayat ini, juga mengkritik slogan kaum orientalis bahwa Islam tegak dengan pedang. Baginya, pedang hanya alat membela diri dalam Islam, bukan menyebarkan agama. Karena itu, ayat ini adalah pondasi dari visi Islam bagi kerukunan antar umat beragama.
Suasana yang ingin dibangun dalam kebaikan (termasuk dakwah Islam, tentunya) adalah suasana kompetitif, sesuai tuntunan Al-Baqarah: 148. Tak ada unsur paksaan. Tak ada prestasi bagi mereka yang memaksa, sebagaimana tak ada ketulusan pada mereka yang terpaksa.
Kolom Terkait: