Kamis, Maret 28, 2024

Tak Ada Dalil Hukuman Pindah Agama

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

Baru-baru ini berita pindah agama Salmafina Sunan dan Deddy Corbuzier menimbulkan kehebohan. Yang pertama dicemooh dan yang kedua dielu-elukan. Salmafina, yang anak seorang pengacara kondang dan sebelumnya berjilbab, memilih memeluk agama Kristen. Sementara Deddy, seorang artis/seleb Kristen, pindah ke Islam.

Tak sulit dipahami kenapa pindah agama Deddy disambut meriah di kalangan kaum Muslim. Detik-detik Deddy masuk Islam pun diliput media. Sementara itu, Salmafina menghadapi penolakan, termasuk dari orang tuanya sendiri. Di sebagian umat Islam masih kuat anggapan bahwa pindah agama dari Islam punya konsekuensi hukuman.

Tulisan ini hendak mempertegas, tidak ada hukuman (duniawi) bagi kasus pindah agama. (Diskusi teoritis bisa dibaca dalam tulisan berikutnya.) Memang, buku-buku fikih klasik menjelaskan hukuman pindah agama secara detail. Tapi, bila ditelaah teliti, dalil-dalil yang digunakan sama sekali tidak berdasar.

Fikih dan Konsekuensi Hukum Pindah Agama

Mazhab-mazhab fikih bersepakat soal hukuman berat bagi orang yang meninggalkan Islam (apostasy), bahkan sebagian besar menyebut hukuman mati. Kenyataan ini menggiring banyak pihak untuk menyimpulkan bahwa pindah agama (dalam hal ini, dari Islam ke agama lain) harus menghadapi konsekuensi hukuman.

Sebenarnya, dalam rinciannya, terdapat banyak perbedaan pandangan di kalangan fuqaha klasik soal hukum pindah agama. Bahkan, terkait hal sangat mendasar seperti bagaimana seorang bisa dikatakan pindah agama, tidak ada kesepakatan. Ketika seorang sudah memeluk Islam, maka ia tidak boleh murtad (keluar dari Islam).

Pertanyaannya, siapa orang murtad itu? Bagaimana seseorang bisa divonis tidak lagi Muslim? Ketidakjelasan identifikasi ini menyebabkan tuduhan murtad menjadi alat politik ampuh untuk menyingkirkan orang atau kelompok yang berbeda pandangan keagamaan.

Misalnya, seorang bisa dengan mudah dituduh menistakan Islam dan karenanya murtad. Atau dituduh zindiq atau munafiq atau kafir, kategori-kategori longgar yang menempatkan seseorang berada di luar Islam. Ambiguitas definisi murtad telah memakan banyak korban, termasuk dari kalangan Muslim sendiri.

Jika soal definisi murtad saja tidak ada kesepakatan, kita bisa bayangkan persoalan lebih rumit. Misalnya, kapan seorang yang dianggap murtad harus dikenakan hukuman? Apakah perlu diberi waktu untuk bertobat?

Empat mazhab fikih Sunni berbeda pendapat. Ulama mazhab Hanafi berpendapat, sebaiknya orang murtad diberi waktu untuk bertobat. Jika tetap menolak, baru dihukum mati. Menurut mazhab Maliki, kesempatan bertobat itu harus dibuka lebar.

Lalu, berapa lama kesempatan untuk tobat? Lagi-lagi mereka berbeda pendapat. Ulama mazhab Syafi’i menyebut tiga hari adalah waktu yang cukup untuk mempertimbangkan apakah tetap murtad atau kembali ke Islam. Sebagian ulama mazhab Hanbali tidak menetapkan durasi tertentu. Jika sudah disarankan supaya kembali ke Islam tapi tetap menolak, dia harus menghadapi hukuman mati.

Apakah hukuman mati itu sendiri termasuk ketetapan al-Qur’an dan/atau Sunnah (hudud), atau semata diskresi hakim (ta’zir)? Muncul jawaban berbeda-beda. Juga soal bentuk hukuman bagi perempuan yang murtad. Bagi mazhab Hanafi, perempuan tidak dihukum mati tapi dipaksa kembali ke Islam. Tiga mazhab lain (Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) memperlakukan perempuan sama dengan kaum laki-laki.

Di sini tampak jelas, para ulama tidak satu pendapat soal detail hukuman bagi orang yang pindah agama. Mengambil satu pendapat mereka berarti mengabaikan yang lain. Ini salah satu problem bagi upaya formalisasi syariah karena mensimplifikasi pandangan yang beragam. Dan keragaman pandangan ulama  ini juga mengindikasikan mereka tidak berpijak pada dalil yang konklusif (qath’i).

Dalil yang Tidak Berdalih

Sekarang mari kita kaji dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama untuk mendukung pandangan irtidad (menjadi murtad) dihukum mati. Ada dua bentuk dalil sebagai landasan argumentasi: tekstual (Qur’an dan hadits) dan historikal (praktik Muslim awal). Kita akan tunjukkan, dalil-dalil tersebut bukan hanya tidak qath’i, tapi juga tidak beralasan.

Beberapa ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar argumen adalah QS 2:217; 5:54; 16:106; 22:11 dan 47:25. Para fuqaha dan mufasir (klasik dan modern) biasanya merujuk pada ayat-ayat tersebut ketika berbicara soal irtidad/riddah atau apostasy. Kata “irtadda” (bentuk pelakunya disebut “murtad”) muncul di dua ayat pertama dan ayat terakhir.

Jika dibaca secara teliti, kita akan tahu bahwa semua ayat tersebut sama sekali tidak menyebutkan hukuman duniawi bagi orang yang pindah agama. Dalam ayat pertama (2:217), misalnya, disebutkan “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Konsekuensi ukhrowi (bukan duniawi!) tersebut diulang di semua ayat. Silakan cek dan baca sendiri. Dalam ayat-ayat tersebut, sama sekali tidak disebutkan hukuman duniawi, apalagi hukuman mati. Justifikasi hukuman berat dapat ditemukan dalam hadits, “Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah” (man baddala dinahu fa-uqtulhu).

Hadits ini cukup terkenal dan dikutip oleh Bukhari dalam Shahih-nya. Dalam studi silsilah transmisi (isnad/sanad), hadits ini tergolong otentik/sahih. Namun, aplikasinya pada kasus murtad bermasalah.

Masalah pertama ialah lafaz hadits yang bersifat generik: “Berangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah.” Bukan khusus mengganti Islam. Jika mau diaplikasikan secara konsekuen, mestinya setiap orang yang pindah agama (dari agama apa pun, termasuk non-Muslim yang masuk Islam) dihukum bunuh. Dalam perspektif hukum Islam, hal itu jelas absurd. Maka, hadits tersebut perlu dipahami dalam batasan-batasan tertentu. Misalnya, bukan hanya mengganti agama, tapi juga melakukan aktivitas memerangi komunitas agama sebelumnya.

Kedua, hadits di atas muncul dalam berbagai versi. Dalam riwayat Baihaqi disebutkan, “Barangsiapa yang meninggalkan Islam menuju kekufuran.” Versi ini jelas membatasi sifat generik lafaz hadits terdahulu, walaupun dari perspektif HAM juga bermasalah karena beragama atau tidak adalah urusan pribadi, dan tidak boleh dipaksakan dari luar.

Versi lain ialah riwayat A’isyah, istri Nabi Saw.: “Dan seorang yang meninggalkan Islam dan terlibat dalam peperangan melawan Allah dan rasul-Nya, maka dia hendaknya dibunuh, disalib, atau diasingkan.” Hadits ini jelas mempersyaratkan aktivitas peperangan, bukan sekadar pindah agama.

Setelah argumen tekstual tidak cukup kuat, para ulama merujuk pada praktik Muslim awal, yakni saat pembukaan Mekkah dan perang riddah di zaman Khalifah Abu Bakar. Misalnya, perintah Nabi untuk mengeksekusi Abdullah bin Khatal dan Miqyas bin Sabahah. Setelah diteliti ternyata perintah Nabi tersebut karena keduanya membunuh Muslim lain, bukan karena pindah agama.

Demikian juga perang riddah yang dilancarkan Abu Bakar. Walaupun dikenal dengan istilah harb riddah (perang karena pindah agama), situasi yang sebenarnya adalah mereka diperangi lebih karena membangkang dan melawan negara sah di Madinah.

Semoga menjadi jelas, baik dalil tekstual maupun rujukan sejarah sama sekali tidak menjustifikasi hukuman duniawi apa pun bagi orang yang pindah agama. Sebaliknya, teks al-Qur’an terkait kebebasan beragama sangat eksplisit (e.g. QS 2:256; 6:104; 88:21; 109). Kitab Suci ini juga mendorong dan merayakan pluralitas agama (QS 2:62/5:69; 5:48; 49:13).

Tuntunan Qur’ani ini terlalu penting untuk disubordinasikan oleh pandangan fikih klasik yang diformulasikan dengan semangat keagamaan supremasis. Ayat-ayat di atas menempatkan agama sebagai konfesi yang amat personal. Berdasar tuntunan al-Qur’an, kita persilakan Salmafina dan Deddy menyelami keyakinannya secara bebas dan tenang. Tidak perlu heboh! Cukup disarankan, keduanya tidak boleh menjelek-jelekkan “mantan” agamanya.

Kolom terkait

Tak Ada Paksaan dalam Agama. Titik!

Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir

Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga?

Siapakah Orang Kafir Itu? Telaah Kronologi dan Semantik Al-Qur’an

Tuhan Tidak Menghendaki Olok-olok

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.