Minggu, November 10, 2024

Tahun Baru, Filosofi Waktu, dan Kita yang Rugi

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
- Advertisement -

demi-waktu

Sejatinya, waktu bukan tentang detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan seterusnya. Waktu bukan kalender. Kalender itu imanen, dibuat manusia. Adapun waktu itu transenden, ciptaan Tuhan.

Karenanya, jika waktu bersifat universal, maka tak begitu dengan kalender. Ada Kalender Masehi, Kalender Jawa, Kalender Thailand, Kalender Cina, dan Kalender Hijriyah. Karena sifatnya yang parsial, ketika kita merayakan Tahun Baru Masehi 2017 saat ini, maka tahun ini punya bilangan angka yang berbeda dalam kalender-kalender lainnya. Juga memiliki Tahun Baru yang berbeda waktu.

Alih-alih mengejar apa yang dimaksud dengan waktu transenden tersebut, kita justru membangun mitologi tentang waktu dalam arti kalender. Ada tanggal sial, tanggal keberuntungan, dan lainnya. Begitu pula masyarakat modern perkotaan, punya “mitos” tersendiri tentang itu. Senin adalah hari menyebalkan, karena Senin adalah hari aktif pertama setiap pekan untuk bekerja. Sehingga, sebuah penelitian kesehatan di Inggris melaporkan sebuah fakta menarik yakni bahwa serangan jantung yang berakibat kematian meningkat setiap Senin pagi.

Adapun yang kita selalu harapkan adalah akhir pekan (weekend) atau “tanggal merah”, karena di hari itu kita libur dan bebas melakukan aktivitas yang menghibur. Padahal, sindir Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “rekreasiku adalah kerja.”

Mengenai tradisi berlibur weekend itu sendiri, Herbert Marcuse (filsuf Teori Kritis Mazhab Frankfurt) mencibirnya sebagai “masturbasi budaya”. Ia mengkritik masturbasi budaya yang di era Marcuse (sekitar tahun 1970-an) mulai terasa geliatnya akibat proses industrialisasi yang begitu menggairahkan di Barat pasca-Revolusi Industri di Inggris dan Prancis.

Budaya berlibur akhir pekan merupakan konsekuensi dari kenikmatan yang ditunda-tunda ketika manusia tak lagi berkuasa atas waktu karena mesin kapitalis. Karenanya, mereka rela menukar uang yang telah mereka dapat dengan jerih payah dan keringat selama weekday dengan kenikmatan sesaat dan semu saat weekend.

Maka, akibat dari liburan weekend yang sesaat dan semu serta rutinitas kerja yang juga menjemukan karena dijalani sebatas sebagai kegiatan kapitalistik (mencari uang semata, tanpa nilai dan makna). Bekerja tak dipahami dalam konteks panggilan batin (work as a calling) melainkan tuntutan untuk sekadar mendapat upah dan bertahan hidup (work as a job).

Selain itu, berlibur juga telah direduksi secara maknawi, dari sebagai bentuk kesatuan antara studi, kontemplasi, dan rekreasi menjadi sebatas rekreasi semata. Sehingga, efeknya pun secara otomatis juga tereduksi, dari kemampuan memberi kebahagiaan insani yang eksistensial, menjadi sebatas pemberi kenikmatan inderawi yang banal.

Jangankan untuk jauh-jauh berharap agar berlibur ke pantai bisa memantik kita untuk merenung akan keagungan Pencipta-nya. Bahkan, berliburnya kaum industri kapitalis ke pantai tak menumbuhkan apresiasi mereka kepada pantai hingga menumbuhkan kesadaran untuk menjaga kelestariannya. Setelah liburan, sampah bertumpuk di mana-mana di Ancol.

- Advertisement -

Problem utamanya kembali pada soal waktu. Merujuk pada Martin Heidegger (filsuf Jerman tersohor itu) dalam Sein und Zeit (Ada dan Waktu, 1927), titik pangkal permasalahannya adalah kegagalan manusia (modern) dalam menghayati keberadaannya secara eksistensial yang kemudian menjebak mereka dalam samudera banalitas.

Ada dan waktu mereka menjadi banal. Bahkan, bagi masyarakat industri kapitalis, ada dan waktu dipahami dalam skema ala Benjamin Franklin: “time is money”. Sehingga, segala kegiatan yang mereka lakukan (bekerja, berlibur dan seluruh varian dalam hidup mereka) terjebak dalam banalitas (kesemuan).

Maka, masih merujuk pada Heidegger, untuk menghindari banalitas waktu, setiap manusia patut terus menyadari waktu otentik. Seperti seorang anak yang sedang berada di dalam ambulans yang sedang mengantar ibunya yang sedang sekarat ke rumah sakit. Setiap detik menjadi sangat penting dan berarti. Atau, dalam Islam diajarkan, untuk terus menyadari mati, sehingga kita takkan melewati waktu kecuali untuk sesuatu yang otentik dan bermakna.

Kesadaran akan waktu otentik itu patut dijaga. Heidegger menyebutnya dengan kecemasan (sorge). Begitu pula Soren Kierkegaard, filsuf Denmark yang juga Bapak Eksistensialisme, juga menyebut kecemasan sebagai perasaan yang bersifat ontologis. Ia bisa menggiring manusia pada samudera makna dan menyelamatkannya dari banalitas waktu, sehingga keberadaannya begitu bermakna.

Kesadaran akan waktu otentik itu yang kian kerap hilang dari diri kita. Seorang ibu rumah tangga di pedesaan dulu bisa menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangganya dalam sehari dengan tangannya: menyapu, mengepel, mencuci, memasak, mengurus anak, dan lain-lain. Namun, ibu-ibu modern perkotaan, meski telah dilengkapi fasilitas mesin cuci, vacuum cleaner, rice cooker, baby sitter, dan lainnya masih kerap kerepotan atau bahkan gagal menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya sehari-hari.

Filosof atau ulama-ulama Muslim terdahulu dikisahkan kerap menyelesaikan karya-karyanya yang berjilid-jilid dalam beberapa hari atau bulan saja, itu pun dalam perjalanan (safar). Sedangkan saya, dengan laptop dan segala fasilitas canggih masa kini, justru begitu sulit menyelesaikan sekadar kolom-kolom untuk Geotimes.

Begitu pentingnya kesadaran waktu itu, sehingga Allah bersumpah atas nama waktu untuk membuka QS. Al-‘Ashr dan menyebut bahwa banyak kita menjadi manusia yang rugi. Sebab, tanpa kesadaran akan waktu otentik, pastilah kita terjebak dalam kerugian: hidup dalam banalitas, teralienasi dari diri kita sendiri. Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan: “Seandainya manusia mencermati surat ini (Al-‘Ashr) secara seksama, niscaya surat ini akan mencukupi mereka.” Selamat Tahun Baru!

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.