Jumat, April 26, 2024

Surat Cinta Muslim tentang Perempuan Pembawa Anjing ke Masjid

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.

Namanya juga orang kalut. Sangatlah wajar ia mengalami “kegilaan,” sementara. Tindakan-tindakannya akan menerobos kekaprahan yang ada dalam sebuah komunitas.

Video berisi seorang perempuan bersepatu masuk masjid viral di sosial media. Bersama seekor anjing, ia terlihat beradu mulut dengan orang-orang di masjid. Kabarnya, ia meyakini suaminya tengah melakukan prosesi perkawinan di masjid tersebut. Sangat mungkin ia tidak terima dengan hal itu, meski pihak masjid mengklaim tidak ada perkawinan saat itu.

Kenekatannya menerobos “kekaprahan” dengan keyakinan seperti ini mengingatkan apa yang pernah terjadi di desa saya beberapa tahun silam.

Seorang perempuan, tetangga saya, keluar rumah sembari menghunus pisau dapur. Ia menuju sebuah rumah di gang sebelahnya, rumah seorang “janda kompeni,” yang dianggap bermain mata dengan suaminya. Sumpah-serapahnya menyembur ke sana-sini saat ia berjalan. “Awas koen, senengane kok nglirik lanangane wong liyo. Koen tah aku sing mati!” (Awas kamu, sukanya kok melirik suami orang. Aku atau kamu yang mati)!” Dia begitu sungguh sembari mencengkeram erat pisau. Untung peristiwa buruk tidak terjadi karena bisa dicegah warga.

Kesetiaan atas perkawinan kerap membuat banyak orang merasa perlu mempertahankan “miliknya” bahkan hingga rela mempermalukan diri sendiri di hadapan publik. Semakin kuat ketidakrelaannya, semakin kuat ekspresinya.

Dulu sebelum Islam datang, para perempuan Arab dikenal paling ekspresif saat mendengar kabar ada keluarganya mati di medan perang. Mereka meraung dan bergulung, menampari pipinya, merobek-robek pakaiannya sendiri, bahkan hingga meraupi wajahnya sendiri dengan debu.

Tak jarang mereka turun gelanggang perang menuntut balas. Saat Islam datang, “kebinalan” yang membahayakan dominasi laki-laki ini dinetralisir dengan berbagai stigma, misalnya kesurupan. Padahal, hanya perempuan pilih tanding saja yang mampu berbuat demikian.

Kini, perempuan Bogor itu sedang berurusan dengan polisi karena sangat mungkin ia akan dianggap menista Islam, sebagaimana yang dialami Meliana di Tanjungbalai dalam kasus toa masjid. Bagi saya, persekusi atas Meliana, kala itu, merupakan cerminan ketidakdewasaan sebagian (besar) orang Islam dalam menerima kritik.

Peristiwa perempuan Bogor adalah ujian kedewasaan bagi umat Islam Indonesia. Kita diuji apakah telah naik kelas “menjadi rahmat” setelah puasa 30 hari atau tetap sebagai Muslim yang bertemperamen tinggi. Pilihan yang kedua akan mendorong perempuan ini dipidanakan karena dianggap menghina simbol Islam. Bahkan, jika perlu, kerusuhan dan demo berjilid-jilid akan dilakukan untuk menunjukkan “keseriusan” kita dalam berislam.

Sedangkan pilihan pertama, mendorong Muslim bersikap lebih lembut; memaafkan perempuan tadi dan meminta polisi segera melepaskannya. Saya sendiri memilih posisi ini karena kata rahmat sendiri sepadan dengan diksi “mercy,” dalam bahasa Inggris. Mercy, artinya lebih memilih mengampuni padahal punya kemampuan besar untuk menghancurkan.

Bagi saya, lantai masjid bisa dengan mudah dibersihkam kembali karena masih utuh, tidak luluh lantak akibat bom bunuh diri. Perempuan ini hanya kalut. Ia lebih butuh diampuni ketimbang dipaksa masuk jeruji. Contoh paling konkret adalah sebagaimana yang dipraktikkan Nabi Muhammad, sebagaimana direkam Sahih Bukhari, Kitab 78 Hadits 56.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ أَعْرَابِيًّا، بَالَ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَامُوا إِلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ “‏ لا تُزْرِمُوهُ ‏”‏‏.‏ ثُمَّ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصُبَّ عَلَيْهِ‏

Nabi melarang para sahabat marah pada orang Badui yang kencing di masjid. Alih-alih Nabi menunggu kencingnya tuntas kemudian membersihkannya dengan air. Yang ada hanyalah ampunan dan kedewasaan berislam, tanpa cerita kemarahan.

Bagi saya, dengan mengampuni perempuan tersebut, tidak ada satu pun kehormatan Islam yang hilang. Al-Qur’an tidak pernah meminta kesalahan seperti ini dihukum pidana, baik hadd maupun ta’zir. Sebab, sangat mungkin Allah ingin menjadikan peristiwa ini sebagai ujian; sejauhmana kita bisa memaafkan. Bebaskan ia!

Saya yakin kita mampu untuk itu.

Aan Anshori
Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD), aktifis GUSDURian.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.