87 tahun telah berlalu sejak Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 1928. Dahulu, ia berperan penting dalam menegaskan cita-cita bangsa di era pergerakan menuju kemerdekaan. Kini, ia hanya sebentuk peringatan seremonial sesaat jelang pesta Halloween.
Alhasil, kepedulian kita pada Hari Sumpah Pemuda pun kerap hanya sebatas menulis status dan berbagi artikel bagus di media sosial. Dengan satu klik di tombol “share” kita seakan bisa jemawa mencitrakan diri sebagai seorang nasionalis sejati.
Memangnya apa, sih, nasionalisme itu? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ia didefinisikan sebagai paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan.
Max Lane, seorang Indonesianis sekaligus peneliti politik dari Universitas Victoria, Melbourne, Australia, sempat menjabarkan karakterisitik sebuah nasion atau bangsa. Menurutnya, nasion adalah komunitas yang terbentuk dalam proses perkembangan sejarah nan stabil. Di komunitas tersebut, orang-orangnya mesti memiliki wilayah yang dihuni bersama, bahasa yang dipakai bersama, kehidupan ekonomi bersama, dan watak psikologis yang tercermin dalam satu kebudayaan bersama.
Keempat sifat tersebut bisa didapat melalui sebuah proses panjang. Ia bukan hal instan. Bila dilihat, Sumpah Pemuda pun merupakan hasil dari sebuah pergolakan panjang di masa penjajahan. Ia adalah perwujudan nasionalisme para pemuda dalam bentuk pengakuan akan satu bangsa, tanah air, dan bahasa, yaitu Indonesia.
Masalahnya, setelah merdeka, Indonesia mesti berulang kali menghadapi tembok besar yang menghalangi pembangunannya sebagai sebuah bangsa. Misalnya di bidang ekonomi. Di bawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia muda seakan belum menemukan strategi pembangunan yang tepat. Perekonomian nasional kala itu masih banyak dibumbui defisit anggaran belanja, inflasi, dan sebagainya. Saat itu sempat muncul Program Benteng untuk melindungi pengusaha pribumi dan memperketat persaingan mereka dengan pengusaha keturunan Cina.
Saat kestabilan belum diraih, datanglah tragedi 1965. Soeharto naik takhta dan kehidupan ekonomi berubah 180 derajat. Modal asing masuk, kontrol devisa dilonggarkan, serta keran ekspor dan impor dibuka lebar. Indonesia mendadak jadi begitu bersahabat dengan dunia Barat. Pada masa Orde Baru, orang-orang Cina diyakini mengendalikan 70 persen sektor perekonomian negeri, walau jumlah mereka hanya minoritas dari total jutaan penduduk Indonesia saat itu. Ini sukses menimbulkan kecemburuan sosial dari pribumi terhadap Cina.
Belum lagi propaganda anti-komunis yang dilakukan secara masif oleh Soeharto. Orang-orang Cina kerap dikaitkan dengan komunis dan jadi sasaran diskriminasi. Lalu, muncullah program asimilasi yang melarang segala hal yang berhubungan dengan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina untuk ditampilkan di depan umum. Sekolah-sekolah berbahasa Mandarin ditutup, nama orang-orang Cina juga diimbau untuk diganti dengan nama Indonesia. Ini dilakukan dalam nuansa pemerintahan yang otoriter dan penuh nepotisme.
Maka, bisa dikatakan karakter nasion yang ada di zaman Orde Baru, entah bahasa, kehidupan ekonomi, hingga watak psikologis masyarakat, dibentuk secara searah oleh pemerintahan bertangan besi. Siapa berani melawan, niscaya ia akan segera disingkirkan.
Konsekuensinya, warisan budaya dan ekonomi dari zaman Orde Baru pun bersifat artifisial. Segalanya bermuka dua. Bilangnya demokrasi, tapi pers dibungkam. Katanya menjunjung tinggi hak asasi, tapi penembak misterius alias petrus berkeliaran di mana-mana. Bikin program asimilasi, tapi justru kian meruncingkan sentimen antara warga pribumi dan keturunan Cina.
Watak seperti itu, mau tak mau, terus terbawa hingga masa reformasi. Apalagi di era digital seperti ini, saat banjir informasi bisa bikin orang jadi sangat pandai atau sangat dungu sekaligus. Segalanya bermuka dua. Bilangnya mau rekonsiliasi, tapi minta maaf pada korban tragedi 1965 saja susahnya setengah mati. Katanya menjunjung tinggi kebebasan pers, tapi majalah pers mahasiswa saja bisa diberedel di Salatiga. Bikin program bela negara, tapi membela korban bencana asap saja belum becus.
Boro-boro bicara nasionalisme, pembangunan Indonesia sebagai sebuah nasion saja terus mengalami kemunduran. Ia bagai Benjamin Button yang terlahir tua, lalu tumbuh semakin muda, dan akhirnya mati sebagai bayi tanpa bisa mengingat apa-apa.
Alhasil, jangan heran bila banyak anak muda kini lebih sibuk mencari pinjaman kostum Halloween dibanding mencari tahu soal apa yang pernah terjadi pada 28 Oktober 1928. Nasionalisme di Indonesia kini hanya berupa candaan tak lucu yang terlalu sering diulang dari waktu ke waktu. Salah satunya di Hari Sumpah Pemuda.