Andai Sukarno masih hidup saat ini, saya yakin ia akan berada di garis depan dalam menolak gerakan khilafah. Andai Bung Karno masih ada hari-hari ini, pastinya ia akan menentang manuver para aktivis Hizbut Tahrir seperti Felix Siauw yang tak henti-henti merongrong Negara Pancasila dan menyebarkan ideologi khilafah.
Sikap Sukarno yang tegas menolak khilafah jelas terekam dalam tulisannya yang terbit sekitar tahun 1930-an, di masa ketika kekhilafahan Turki Usmani sudah dibubarkan oleh Kemal Ataturk beberapa tahun sebelumnya.
Dalam “Surat-Surat Islam dari Ende” yang terbit pada tahun 1936, Sukarno menulis demikian:
“Islam harus berani mengejar jaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun. Islam ketinggalan jaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat mengejar seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glory yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar jaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toch kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi ‘zaman chalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toch tahun 1936 dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900?”
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa alasan Sukarno menolak khilafah adalah karena sebagai Muslim, ia tak mau umat Islam menjadi mundur dan terbelakang. Baginya, khilafah sebagai lembaga politik sudah tidak relevan lagi di zaman modern yang dicirikan dengan sistem demokrasi dan nasionalisme.
Sukarno mengkritik pendukung khilafah yang justru tenggelam di masa silam yang mereka anggap sebagai masa kebesaran, padahal hakekatnya terperosok dalam ketertinggalan. Dan itu bertentangan dengan spirit Islam yang diyakini Bung Karno sebagai spirit kemajuan.
Bung Karno menegaskan api Islam bukanlah Islam yang kuno. Api Islam bukanlah Islam yang ‘ngotot’ kembali ke zaman Khalifah. Dalam istilah Bung Karno, api Islam bukanlah “dupa dan kurma dan jubah dan celak mata.” Melainkan kemajuan.
Islam is progress, kata Bung Karno. Islam adalah kemajuan. Bagi Bung Karno, watak progresif Islam mesti ditampilkan dengan menolak sikap taklid yang mengagungkan masa lalu dan mengidolakan “zaman chalifah.”
Bung Karno menyerukan agar umat Islam mampu membedakan antara aspek yang substantif dan saripati dalam ajaran Islam dan aspek yang merupakan bentuk formal dan kulitnya.
Pertama adalah spirit dan api Islam yang sifatnya permanen, sedangkan yang kedua adalah ekspresi kongkret yang substantif tersebut dalam kenyataan sejarah tertentu, seturut dengan konteks zamannya. Kalau zaman berubah, bentuknya pun bisa berubah, asalkan substansinya tetap.
Sikap ngotot mempertahankan bentuk formal tertentu dari ajaran Islam padahal konteks zaman sudah berubah adalah pertanda tak mampu membedakan antara substansi ajaran Islam dengan kulit luarnya. Gagal mengambil jiwa dan ruh agama yang merupakan api Islam, dan bersikukuh dengan abu dan asapnya.
Itulah yang terjadi manakala ada orang Islam bersikukuh mendirikan sistem khilafah di zaman modern. Di mata Bung Karno, khilafah sebagai institusi politik sejatinya tidak khas Islam dan juga tidak sepenuhnya orisinil dari Islam, melainkan hasil sinkretisme peradaban. Campuran dari sistem politik dari Peradaban Yunani, Bizantium, Arab, dan Persia.
Di zaman pra modern, institusi politik di kawasan luar Islam juga bentuknya mirip kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Yakni kerajaan dan dinasti. Karena institusi khilafah adalah produk peradaban manusia, maka ia bisa berubah dan bisa diganti dengan lembaga politik lain manakala dianggap tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman.
Di mata Bung Karno, institusi politik apapun termasuk khilafah adalah produk peradaban manusia, ranah kreativitas manusia. Upaya mengubah atau mangganti satu bentuk politik ke bentuk lain adalah wilayah mubah/jaiz dari perspektif hukum Islam. Tolok ukurnya ditentukan oleh seberapa efektif dan berhasil institusi politik tersebut dalam mewujudkan kemaslahatan publik.
Bung Karno menulis:
“Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita, bahwa hukum Syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau yang jaiz ini! Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru…asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul!”
Persoalannya, bagaimana dengan pendukung khilafah yang mengklaim bahwa khilafah adalah bagian dari ajaran Islam? Bagi mereka, penegakan khilafah adalah upaya menerapkan Islam secara komprehensif, menyeluruh, secara kaffah.
Jawaban saya begini:
Islam memang mengatur semua aspek kehidupan. Aturan dan hukum dalam Islam memang bersifat komprehensif atau kaffah. Tapi harap diingat, cara ajaran Islam mengatur kehidaupan itu berbeda-beda, tergantung domainnya.
Ada hal-hal dari ajaran Islam yang berlaku baku, tetap, dan tidak berubah-ubah, disebut al-tsawabit). Ada hal-hal yang bisa berubah-ubah dan sesuai dengan perubahan konteksnya, namanya Al-mutaghayyirat.
Yang pertama meliputi prinsip tauhid, iman kepada Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, dan percaya pada hari pemmbalasan. Juga rukun Islam seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Ini adalah hal-hal yang tetap dalam Islam, al-tsawabit. Tidak mengalami perubahan di mana pun dan kapan pun.
Sedangkan al mutaghayyirat atau yang berubah-ubah meliputi aturan-aturan mengenai hubungan manusia dalam keluarga, sosial, ekonomi, politik, dan pergaulan antar bangsa dan lain-lain. Singkatnya, hal-hal yang bertaut erat dengan kebudayaan dan peradaban manusia, yang bisa berubah, dan harus berubah.
Aturan Islam dalam domain al muaghayyirat adalah dengen menepatkan mabadi’, prinsip-prinsip umumnya saja, yang bersifat tetap dan berlaku universal. Tapi bagaimana pengejawantahan prinsip-prinsip ini dalam realitas sosial, manifestasi kongkretnya bisa beruba-ubah sesuai konteks dan perubahan zaman.
Dengan kerangka berpikir semacam ini, kita bisa melihat bahwa menurut Sukarno, khilafah adalah institusi politik yang masuk dalam ranah mutaghayyirat, yang bisa berubah dan berganti sesuai dengan perubahan zaman, karena institusi khilafah adalah produk peradaban manusia.
Menarik untuk dicatat, pandangan keislaman Sukarno semacam ini justru sejalan dengan konsepsi “Islam Berkemajuan” yang saat ini diusung oleh Muhammadiyah. Yakni paham keislaman yang mampu beradaptasi, mengakomodasi, serta menyesuaikan secara tegas dengan dinamika zaman.
Juga sejalan dengan konsepsi “fikih sosial” dalam perspektif ulama besar NU KH Sahal Mahfudz. Menurutnya, fikih harus mampu menampilkan dinamisme dan fleksibilitasnya berhadapan dengan perubahan sosial yang melaju kencang.
Bagi Kyai Sahal, fikih selalu merupakan hasil ijtihad yang tak bersifat kaku dan sakral, melainkan lentur dan kontekstual. Putusan fikih yang pada suatu zaman dan tempat tertentu dianggap valid bisa saja tak lagi relevan di era lain atau di tempat lain.
Yang terpenting adalah bagaimana agar prinsip-prinsip utama dalam kehidupan sosial politik seperti prinsip musyawarah, keadilan sosial dan kemaslahatan umum bisa tercapai. Pada masa kini, cara terbaik untuk merealisasikan prinsip-prinsip tersebut bukanlah dengan menghidupkan kembali sistem khilafah, melainkan dengan demokrasi. Dengan demikian, Islam tidak dipahami melalui pendekatan legal-formalistik atau membenturkannya dengan realitas secara frontal, melainkan luwes dan fleksibel.
Dalam arti semacam inilah kita bisa menangkap adanya watak progresif dari agama Islam yang didengungkan Sukarno, pemahaman Islam yang mampu merengkuh api Islam. Bukan seperti pengusung khilafah yang gagal meraih api Islam, dan hanya mendapatkan abu dan asapnya belaka.
Muhammad Abduh, ulama dan tokoh reformisme Islam mesir abad 19 yang dikagumi Bung Karno pernah mengatakan, al islam mahjubun bil muslimin. Islam terhalang/tertutup oleh kaum muslim sendiri. Ungkapan Abduh ini pas sekali menggambarkan watak pendukung khilafah.
Kalangan yang ngotot kembali ke sistem khilafah pada hakekatnya membawa umat Islam dalam kemunduran. Islam terhalang jalan menuju kemajuan karena ulah mereka. Padahal bagi Bung karno, Islam is progress. Itulah kenapa Bung Karno dengan keras menentang khilafah.