Mustahil membayangkan Barack Obama mencela sebuah novel karena dianggap berbahaya bagi masyarakat. Tapi hal berbeda berlaku di Perancis sebab kiprah seorang penulis amat penting. Maka, manakala Perdana Menteri Perancis Manuel Valls mengecam novel Submission (2015) karya Michel Houellebecq kareana berbau intoleransi, kebencian, dan ketakutan yang ditampilkan menyangkut Islam, ia sebetulnya menegaskan bahwa kehidupan intelektual masih menyala di Perancis.
Penulis masih berperan mempengaruhi opini publik. Houellebecq adalah novelis terkemuka Perancis bahkan sebelum penerbitan “Submission”. Novel ini cepat dengan cepat menjadi best-seller sensasional di Eropa. Lewat terjemahan bahasa Inggris yang apik dan hidup oleh Lorin Stein, karya ini layak mendapatkan jumlah pembaca yang besar di benua ini.
Novel ini bercerita tentang masa depan Perancis pada tahun 2022, di saat Presiden Perancis saat ini François Hollande berada di akhir petualangannya setelah dua kali terpilih. Dalam novel diceritakan, dua partai besar yakni partai sayap kanan Front Nasional dan Partai Persaudaraan Muslim, saling bertarung untuk mengambil alih kekuasaan dari Hollande. Akhir cerita menunjukkan bahwa Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood) berhasil memenangkan pemilihan presiden dengan bersekutu dengan sosialis dan sentris.
Kontroversi novel ini kembali menyuguhkan Islamofobia yang berlebihan di Eropa. Persoalan kian runyam ketika para kritikus tidak menunjukkan objektivitas menyangkut gambaran Islam secara nyata. Novel ini menunjukkan bahwa Islam bercita-cita untuk membawa seluruh dunia ke dalam pelukannya, benarkah demikian?
Islam dengan tegas tidak digambarkan sebagai “agama perang.” Sebaliknya, ia ditampilkan sebagai sistem keyakinan yang lebih rasional dan kurang mistis dibandingkan Kristen, bahkan menyerupai praktik-praktik Abad Pencerahan dengan campuran unsur-unsur bernubuat. Agaknya, dalam pengertian ini, tanpa banyak upaya, Voltaire sendiri mungkin telah menjadi seorang Muslim yang baik.
Houellebecq tidak menunjukkan kebencian kepada Islam. Sebagaimana terbaca dalam novelnya itu, Islam tampak lebih unggul dari Kristen dan sekularisme. Kristen menuntut agar manusia melampaui sifat alamiah mereka, misalnya dengan pilihan hidup di biara. Islam mengambil pandangan yang jauh lebih realistis menyangkut kemampuan manusia biasa, seperti terlihat dari karakter Francois. Islam mengatur dan menyalurkan gairah dan kasih sayang, seperti nafsu seksual laki-laki atau hasrat keintiman, bukan membunuh kebutuhan itu. Ia berbanding lurus dengan sifat manusia dan tidak berusaha untuk menggantikannya.
Untuk alasan yang sama, Islam disajikan sebagai bentuk yang jauh lebih baik sebuah manajemen hidup daripada ketidakpercayaan sekuler. Ini menjawab kebutuhan manusia untuk diserahkan kepada sesuatu yang lebih tinggi. Ia mengerti bahwa kebebasan tidak bisa menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, bahwa manusia membutuhkan hirarki dan arah.
Alih-alih memungkinkan manusia untuk mengejar nafsu tanpa batas—sebagai tempat membiaknya kesepian dan keputusasaan—Islam menunjukkan bahwa hasrat harus bergerak pada saluran yang lurus. Hasrat individu harus dipenuhi, namun hanya dalam kerangka untuk memenuhi kebutuhan yang lebih agung dari masyarakat. Oleh karena itu, seksualitas harus secara benar disalurkan untuk kelahiran anak-anak dan pemeliharaan keluarga.
Dengan jalan cerita demikian, bagaimana mungkin novel ini dicap mengampanyekan hal-hal dianggap Islamofobia? Keluhan para kritikus juga sama sekali berbeda. Novel ini menunjukkan kepada kita apa makna dekadensi di zaman ini. Untuk banyak para dekaden di antara kita, pesan ini amat dekat dengan rumah mereka yang selama ini mencuap-cuap sebagai simbol kebebasan.
Secara kebetulan, segera setelah serangan ISIS di Paris pada bulan November 2015, Perdana Menteri Valls bergegas untuk mengadopsi substansi usulan yang sampaikan oleh pemimpin Front Nasional Marine Le Pen untuk mengusir orang-orang asing yang mengkhotbahkan kebencian dan mencabut kewarganegaraan Muslim Perancis yang punya dua kewarganegaraan.
Presiden Prancis Hollande lalu menaikkan taruhan dengan mengusulkan untuk melepaskan kewarganegaraan siapa pun yang lahir di bumi Perancis karena keterlibatan mereka dengan terorisme. Surat kabar terkenal Prancis Le Monde menulis bahwa pemerintah sosialis ini telah melakukan perubahan gerak 180 derajat lewat sikap mereka terhadap Islamofobia.
Houellebecq, 59, adalah seorang sinis yang menjalankan pisau bedah sastranya di bawah kulit seorang Perancis kontemporer dengan ketepatan yang tajam sehingga mengantarkannya sebagai figur fenomenal secara internasional lewat fiksinya. Setiap karya yang ditelorkannya menohok peristiwa nasional, mulai dari analisis suram tentang narsisme kaum hippy dalam Atomised, pariwisata seks yang kontroversial, terorisme Platform, hingga penghapusan dunia seni dalam The Map and the Territory, yang akhirnya mengantarkannya memenangkan hadiah sastra terkemuka Perancis, Prix Goncourt, pada tahun 2010. Namun belum ada repertoir Houllebecq yang dinilai dahsyat, nihilistik serta menimbulkan badai kesusastraan melebihi novel terbarunya ini, Submission.
Michel Houellebecq bukanlah seorang Muslim. Ia adalah sastrawan Perancis yang boleh jadi mewartakan bagaimana rusaknya intelektualitas publik Perancis untuk memahami Islam sebagai anacaman alih-alih bagian integral dari peradaban Eropa.