Betapapun mulianya keyakinan individu, maslahatnya sebuah niat, juga tujuan yang dicita-citakan, tapi ketika dipaksakan untuk berlaku pada yang lain, maka ujungnya adalah kebiadaban. Sia-sia.
AILA (Aliansi Cinta Keluarga Indonesia), dalam upayanya menolak zina (seks bebas) dan LGBT (homoseksualitas), tampil dengan nuansa pemaksaaan ide seperti itu. Parahnya, ia menjelmakannya di ruang publik, di tempat yang semestinya menjamin kedinamisan, dengan gelontoran klaim-klaim yang nyaris tak bisa dipertanggungjawabkan sama sekali.
Berlandas pada keyakinan kelompoknya saja, meski disertai temuan survei yang menurutnya komprehensif, mereka lalu ingin jika penolakannya itu berlaku bagi segala warga. Semua, katanya, diupayakan dalam rangka meredam lingkungan yang sudah tidak sehat lagi ini.
Di Indonesia Lawyers Club (ILC), 19 Desember 2017, upaya yang demikian itu sangat nyata. Dengan paparan data bahwa ada eskalasi kejadian-kejian dan data yanga sangat meningkat terkait penyimpangan seksual seperti zina dan cabul sesama jenis, seorang wakil AILA, Euis Sunarti, lalu mengklaim bahwa betapa data ini luar biasa, sangat menyedihkan.
“Ini kemudian menakutkan kita semua. Karena lingkungan begitu tidak aman,” ujarnya.
Dari segi niat, tentu adanya sudah sangat mulia. Maka, kita pun patut berbangga karena ada orang-orang yang mau prihatin pada lingkungan sekitar kita. Harus kita apresiasi sebesar-besarnya sebab mereka rela mendedikasikan diri dan kelompoknya demi kemaslahatan bersama.
Tak kalah mulianya lagi, aktivis AILA yang bergelar profesor ini juga menghendaki bahwa nilai-nilai luhur, yakni norma agama (Islam), mesti tertuang penuh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tiap hak beragama warga negara harus dihormati. Negara harus menjamin para orangtua membesarkan anak-anaknya menjadi saleh dan salehah. Negara wajib mencipta lingkungan kondusif tanpa “penyimpangan seksual”.
“Niat kita untuk melindungi keluarga Indonesia, generasi muda, peradaban bangsa. Kita berusaha merangkul orang-orang menyimpang. Soal ketercelaan begitu rupa dalam agama kita, hukum harus mengikuti nilai-nilai yang jauh lebih tinggi. Karena kita negara yang berketuhanan. Maka harusnya (permohonan judicial review mereka) ini diterima. Itu adalah aspirasi orangtua yang menginginkan kehidupan yang baik. Itu kemuliaan hidup.”
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ketua AILA, Rita Soebagio. Bahkan ia mengklaim bahwa pihaknya benar-benar sudah mewakili kegelisahan berbagai kalangan. Ia pun sebutkan temuan survei di mana 93% warga menolak bentuk-bentuk perzinahan dan homoseksualitas di Indonesia.
Karenanya, negara wajib melakukan terobosan dalam hukum. Pilihan bentuk kebijakan senantiasa harus berdasarkan norma, budaya ketimuran, nilai agama. Inilah yang baginya harus didahulukan Mahkamah Konstitusi: berdiri menegakkan yang haq, melawan kebatilan.
Sayang, niat baik tak melulu harus berujung baik. Niat baik sepihak mereka ditolak mentah-mentah oleh mayoritas hakim di MK sana. Alasannya, MK tak mau membuat norma baru atau memperluasnya.
Terhadap putusan itu, pihak AILA pun menilai negara tidak menjamin norma luhur yang dicita-citakan untuk berlaku. Hak untuk hidup nyaman tidak negara penuhi. Tidak memberikan kemuliaan hidup. Padahal itu diyakini sebagai aspirasi orangtua yang menginginkan kehidupan yang baik bagi keluarga dan anak-anaknya kelak.
“Kalau kemudian ada 2 (dua) pilihan, MK menolak atau menentang, kenapa MK tidak mendahulukan pilihan itu berdasarkan nilai-nilai norma, nilai-nilai ketimuran, nilai-nilai agama? Dari hasil keputusan MK ini, sebetulnya pihak mana yang diuntungkan? Di posisi mana kita harus berdiri? Berdiri di depan kebatilan atau berdiri untuk menegakkan yang haq?” simpul Ketua AILA.
Tak Perlu Paksakan Keyakinan
Sekali lagi, betapapun luhurnya keyakinan kita, tapi ketika dipaksakan untuk berlaku pula pada yang lain, maka keluhurannya akan gugur. Bukan datangkan maslahat, melainkan kebiadaban.
Tak hanya dari pihak pemohon, bahkan pengacaranya pun punya laku yang tiada beda. Feizal Syahmenan, Koordinator Tim Pengacara Pemohon, melakukan upaya pemaksaan ide demi meraih dukungan. Ia lalu menggeneralisasi apa-apa yang diyakininya sebagai hal yang sudah umum berlaku.
“Nusantara ini tanah berkah. Dari ujung Aceh sampai Papua, semua (individunya) percaya tuhan. Tidak ada satu pun suku bangsa di republik ini, sampai pedalaman, yang tidak percaya tuhan. Itulah kenapa founding fathers kita bilang, ‘negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa.’ Karena semua orang di Nusantara ini percaya tuhan. Tidak ada yang tidak percaya tuhan.” Begitu katanya.
Saya tak habis pikir, bagaimana bisa seorang terdidik sampai berujar sedangkal itu? Pernahkah Feizal melakukan survei satu per satu tiap individu warga negara republik ini? Bukan rasa-rasanya lagi, tapi memang tidak pernah. Ia telah melakukan pembohongan publik demi meraih dukungan bagi gerakannya sebanyak-banyaknya.
Pun demikian ketika ia mengklaim bahwa semua hukum-hukum yang ada di Nusantara, hukum-hukum adat, tak satu jua yang bisa menerima praktik seks bebas. Upaya pembuktiannya hanya ditarik berdasar keterangan para ahli di persidangan saja. Sungguh over-generalisasi yang akut.
Taruhlah bahwa semua hukum yang hidup dalam masyarakat kita itu benar-benar menolak praktik zina atau seks bebas ini. Tapi hukum, seperti keyakinan individu, betapapun mulianya, tetap tak bisa mendiskriminasi keyakinan individu lainnya. Hukum harus berada di bawah masing-masing keyakinan individu, bukan satu-dua orang, apalagi kelompok tertentu, tetapi semua.
Terima Kasih, Cania
Untung saja ada seorang Cania Citta Irlanie. Ia tampil dengan mematahkan satu per satu argumen kolot dari para pemohon itu. Kebanalan-kebanalan pikir aktivis-aktivis AILA di ILC, jika bukan karena Karni Ilyas, pasti akan dibabatnya habis tiada ampun. Sayang sekali.
Dimulai dari argumen medis. Bagi Cania, dan memang benar adanya, tiap hubungan seks itu punya potensi jadi jalur infeksi menular seksual. Mau itu dilakukan antar kekasih di luar nikah, atau suami-istri dalam pernikahan, semua punya potensi yang sama. Tak ada yang beda.
Meski Cania dan Dewi Inong Irana, Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (AILA), sama-sama tak menampik konsekuensi logis dari zina berupa infeksi menular seksual, tapi kesimpulan yang ditarik keduanya sangat berbeda. Sang dokter menyebut bahwa pelarangan seks, atau melakukan dalam status pernikaha sah, adalah solusi menangkal infeksi menular seksual itu.
Ketika dokter menyebutkan bahwa perilaku seksual menyebabkan infeksi menular seksual, tentu solusinya bukanlah dengan melarang seks itu sendiri, tidak melakukan seks bebas dalam arti di luar pernikahan. Ini, kata Cania, sama saja dengan mengatakan bahwa kita akan melarang orang naik motor untuk mencegah kecelakan. Fallacy of causation.
Kalaupun sang dokter sempat mengungkap bahwa gonta-ganti pasangan seks adalah juga pemicu utamanya, tapi yang dituntut dalam putusan MK bukanlah soal safe sex atau unsafe sex, melainkan prakti-praktiknya di luar nikah.
“Ini, kan, fallacy of causation? Apakah menikah membuat seks menjadi safe? Tidak. Menikah itu, Anda membuat seks menjadi legal, bukan membuat seks menjadi safe,” papar Cania.
Ya, kalau hanya untuk menghindari infeksi menular seksual seperti gumam dokter dari pihak AILA itu, membuat seks jadi aman, tentu solusinya bukan dengan melarang perilakunya. Yang paling layak dilakukan adalah dengan memperbaiki cara-caranya. Cara-caranya pun bukan dengan melakukannya setelah menikah, melainkan harus pakai kondom, misalnya, atau mengikuti standar-standar seks yang sehat.
“Pencegahan infeksi menular seksual, ya harus lewat pencegahan penyakitnya itu sendiri, bukan pencegahan seksnya, apalagi dengan soal urusan menikah atau tidak menikah. Kalau kita mau mencegah seks yang menular itu, penyakit menular seksual, maka kita harus melakukan seks yang sehat, bukan seks yang legal.”
Inilah yang tidak mampu dipahami oleh aktivis-aktivis AILA. Mereka tahunya hanya bahwa pernikahan membuat seks jadi aman. Padahal seks dalam pernikahan itu sendiri bisa jadi penyebaran penyakit.
“Yang membedakan seks dalam pernikahan dengan di luar pernikahan hanyalah soal status hitam di atas putih saja, sebuah dokumen negara. Tidak ada hubungannya dengan fakta medis.”
Untuk itulah, khususnya saya pribadi, patut berterima kasih pada Cania. Datang dengan argumen-argumen nan ilmiah, ia betul-betul mewakili orang-orang seperti saya yang tidak/belum berani mempercakapkan hal sesensitif itu di ruang publik. Cania benar-benar sudah menjadi corong, penyambung suara yang sebelumnya hanya berkutat di ruang-ruang sempit dan terbatas seperti diskusi.
Namun, yang disayangkan, Cania tak segera menuangkan ide-ide dan argumentasinya yang sarat rujukan dan riset itu dalam sebuah artikel/kolom/opini yang utuh dan komprehensif. Untuk apa? Ya, agar publik lebih luas bisa membaca utuh dan membedah gagasan dan argumentasi detailnya lebih serius. Terlepas setelah itu tetap muncul pro dan kontra terhadap ide-idenya. Jika perlu, publik bisa menanggapinya lewat tulisan serius juga. Ini lebih fair dan memang begitulah tradisi ilmiah yang baik, bukan? Bukan asal tuding ini dan itu: liberal, pro-LGBT, pro-zina, dan sejenisnya.
Detailnya begini. Cania bisa saja menulis gagasannya lebih rinci dan mendalam di portal Geotimes. Apalagi saat manggung di ILC itu dia berstatus jurnalis Geotimes. Singkatnya, bukan cuma keberanian, gaya, dan bacot yang dibutuhkan merespons isu-isu sekontroversial apa pun di ruang publik, tapi juga tulisan nan komprehensif. Apalagi merespons balik para haters, misalnya, tentu tak cukup hanya melalui akun sosial media semacam Facebook, Twitter, dan lainnya.
Bagaimanapun, terima kasih tak terhingga, Cania. Kebebasan individu memang harus digaungkan terus. Pun wewenang negara, di sisi lainnya, mesti terus harus orang batasi. Hanya dengan begitu, apa yang dicita-citakan founding fathers negeri ini, yakni jaminan hak tiap-tiap warga negara, benar-benar dapat terealisasi. Siapa pun, bahkan negara, tak boleh membatasi atau melarangnya.
Kolom terkait:
Tuhan Pelangi di Mahkamah Konstitusi