“SEKALI bayar pajak, pasti ketagihan. Jika tidak, biar saya yang menagih,” seru Ken Dwijugiasteadi. Kontan saja, celetukan Dirjen Pajak itu disambut tawa kecut para penulis dan pekerja seni yang berkumpul di Gedung Mar’ie Muhammad, Kantor Direktorat Jenderal Pajak – Kementerian Keuangan, Jakarta.
Di Auditorium Cakti Buddhi Bhakti, Ken mengundang mereka berdialog dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kepala Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) Triawan Munaf, Rabu malam, 13 September.
Tere Liye tidak datang. Namun, nama-nama besar seperti Goenawan Mohamad, Todong Mulya Lubis, Debra Yatim, Butet Kartaredjasa, dan Frans Sartono, hadir di antara ratusan penulis lain. Pengurus inti Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) duduk di baris depan, menyimak setiap penjelasan Sri Mulyani. Di antara orang-orang itu, ada pula penulis cum musisi Dewi “Dee” Lestari, Glen Fredly, Baron, musisi cum politisi anyar Giring Ganesha, dan Bondan Prakoso. Banyak pekerja film di situ, terutama orang-orang produksi.
Saya tidak benar-benar ingin datang ke tengah kerumunan orang-orang kreatif tersebut, sebenarnya. Selain karena tak mengerti uang, juga karena saya lebih tidak mengerti pajak. Tapi, toh akhirnya saya tidak menyesal bertemu teman-teman, apalagi teman yang sudah lama tak bertemu.
“Wah, bagaimana menarik pajak untuk sufi?” tukas Nirwan Ahmad Arsuka ketika asyik ngopi dan ngobrol. “Gampang, Bung. Saya tinggal bilang, ini rezeki langsung dari Allah. Tidak dari gaji, tidak pula honor dan royalti,” ujar saya.
Malam itu, saya berjumpa dengan duo Nirwan. Yang satu Nirwan Arsuka, yang satu lagi Nirwan Dewanto. Keduanya tak perlu lagi diragukan jam terbangnya di dunia literasi. Nirwan yang Dewanto tak malu menceritakan betapa ia membuka amplop honornya sebagai pembicara di depan panitia. “Siapa tahu tidak sesuai jumlah yang tertera. Siapa tahu sudah dipotong pajak tapi kita tidak diberitahu dan tidak menerima bukti potong pajak,” ungkapnya. Ya, soal pajak ini memang sedang sensitif dibicarakan para penulis.
Saya tak hendak menceritakan paparan Menteri Keuangan di sini. Sebab, Anda niscaya bisa menemukannya di tempat lain, dan Bu Sri juga pasti sudah bicara soal ini dalam banyak kesempatan. Saya cuma mau mengatakan, suasana batin para penulis sedang tidak enak. Misal, ketika melihat Goenawan Mohamad di deret belakang, bukan duduk di depan, saya spontan mendekatinya. “Mas Goen, silakan duduk depan,” ucap saya, demi menjaga adab kepada penulis yang jauh lebih senior, bahkan layak disebut empu.
Namun, tak diduga, tanggapan Mas Goen tak enak di telinga. “Kata siapa saya harus duduk di depan? Anda orang Kementerian Keuangan?” Ya sudah, saya kembali ke bangku depan.
Maksud hati memberikan rasa hormat, apa daya yang hendak diberi menunjukkan rasa rendah hati. Hanya saja, memang tak setiap penulis yang hadir hendak angkat suara dalam forum dialog ini. Selain karena waktu yang tak memadai, mereka lebih ingin mendengar paparan Bu Sri soal pajak penulis yang dirasa mencekik. Mengapa mencekik?
Dee mengungkapkan, penulis seperti petani yang baru bisa menikmati masa panen setelah menunggu waktu yang lama. Bahkan, lebih lama masa tunggu daripada masa panen. “Bisa lebih 18 bulan kemudian, sejak penulis mulai menulis, barulah kami menikmati panen,” jelasnya. Itu pun jika panen: Ia menyebut nama Eko Endarmoko yang membutuhkan 23 tahun untuk menyelesaikan Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, buku yang sangat penting untuk merawat kata-kata. Pendeknya, Dee minta pengertian dari negara atas penetapan pajak penulis.
Butet Kartaredjasa, aktor film dan teater cum penulis, bahkan lebih keras–meski dengan gayanya yang sak enak udele dewe. “Pak Ken itu selalu mengawasi tayangan saya di televisi dan menagih pajaknya. Padahal, itu tayangan re-run,” seloroh aktor Teater Gandrik itu. Lebih dari itu, dia mempersoalkan keharusan menunjukkan bukti potong pajak. “Duite sudah telanjur jadi tahi,” tukasnya. Tak pelak, suasana menjadi riuh oleh tawa hadirin, termasuk Bu Sri dan Pak Triawan di podium. Kejujuran Butet memang deh.
Bagi Butet, dan bisa jadi bagi sebagian besar penulis dan pekerja seni, tertib administrasi dengan menyimpan kertas-kertas bukti potong pajak itu kerepotan tersendiri. Dengan menunjukkan bukti potong pajak dalam Surat Pajak Tahunan (SPT), penulis mungkin saja mendapat uang kembalian karena Pajak Penghasilan (PPh) yang dipotongkan penerbit dari penghasilan bruto ternyata lebih besar dari seharusnya atau terjadi kelebihan pembayaran pajak. Namun, kita tak sadar perlu meminta dan menyimpan nota-nota royalti dari penerbit, kan?
Bu Sri mengatakan, penulis bisa memilih Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) jika penghasilan bruto di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. Tinggal kalikan saja penghasilan bruto dengan 50 persen, maka diperoleh penghasilan netto. Jika penghasilan netto itu di bawah Rp 54 juta per tahun, maka penulis bebas pajak. Ya, bebas pajak! Hore! Sebab, penghasilan netto di bawah Rp 54 juta dikategorikan sebagai Penghasilan Tak Kena Pajak (PTKP). Jika di atas itu, maka kurangilah penghasilan netto dengan Rp 54 juta. Nah, ketemu angka yang harus dipajaki.
Seumpama penghasilan bruto Rp 100 juta per tahun. Langkah pertama, kalikan angka itu dengan 50 persen. Diperoleh hasil Rp 50 juta. Selesai urusan. Belum perlu bayar pajak. Penghasilan netto sebesar itu masih termasuk Penghasilan Tak Kena Pajak. Jika penghasilan bruto Rp 1 miliar, maka penghasilan netto Rp 500 juta. Nah, kena pajak. Berapa yang harus dipajaki? Rp 500 juta – Rp 54 juta = Rp 446 juta. Penghasilan Kena Pajak itulah yang dihitung pajaknya dengan Tarif Progresif. Pajaknya Rp 81,5 juta. Sudah? Belum tentu.
Jika dalam sistem royalti penulis telah terjadi pembayaran PPh hingga Rp 150 juta–yang dibayarkan penerbit kepada pemerintah–misalnya, maka kredit pajak itu ternyata lebih besar daripada pajak seharusnya yang dihitung dengan “rumus norma”. Jika itu terjadi, penulis berhak untuk menerima kembalian uang Rp 68,5 juta.
“Cuma, petugas pajak itu ditugasi menarik pajak. Mungkin mereka cemberut kalau justru disuruh memberikan uang kembalian kepada subyek pajak,” seloroh Bu Sri, disambut tawa hadirin.
Oleh karena itu, proses pengembalian kelebihan bayar pajak bisa lama karena subyek pajak diminta menunjukkan bukti potong pajak dari penerbit atau pihak-pihak lain yang langsung memotongkan PPh dari penghasilan bruto.
Pak Triawan memahami kegelisahan penulis dan pekerja seni dalam urusan pajak. Ia meminta Dirjen Pajak untuk membikin sistem yang otomatis setiap kali terjadi pemotongan pajak oleh penerbit atau pihak lain terhadap penghasilan bruto penulis dan pekerja seni. Supaya kita tidak lagi ribet dengan kertas-kertas.
Untung, saya tidak mengerti duit. Dan, tidak paham soal urusan pajak begini. Saya tak bisa membayangkan bagaimana cara menghitung PPh kiai yang tidak tampak bekerja secara lahiriah, namun berpenghasilan min haitsu la yahtasib, dari sumber yang tidak disangka-sangka. Karena istiqamah mengamalkan wirid atau doa tertentu, ia dimudahkan Allah untuk memperoleh kemurahan rezeki. Bisa membangun pesantren tanpa merengek pada pemerintah dan sponsor, bisa sedekah setiap waktu, dan bisa pula mengabdi kepada kemanusiaan
Kolom terkait:
Nawa Cita: Pak Jokowi Perlu Membaca Buku Usang Ini