Rabu, April 24, 2024

“Ndeso” itu Pujian, Bukan Penistaan

Ibrahim Ali-Fauzi
Ibrahim Ali-Fauzi
Pelancong yang kadang cuma ngupi-ngerumpi di pojok @geotimes dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Kasir di Kepiting++ Management: ngejepit tanpa jeda.

Kaesang Pangarep dan Presiden Jokowi [Foto: © 2016 storibriti.com/Dok. YouTube]
Sebelum jauh-jauh bicara soal kata “ndeso” dan penistaan, mari bicara soal kata “ndeso” itu sendiri dulu. Perkara ulasan ini nanti akan atau takkan ikut dipertimbangkan dalam pembicaraan soal kasus Kaesang, Si Anak Presiden, itu urusan belakang.

Secara bahasa, “ndeso” itu bahasa Jawa. Artinya, “desa”. Itu saja! Dari segi arti, ia netral. Ia merupakan kata benda, bukan kata sifat, yang bisa positif atau negatif. Maka, jelas tak ada unsur penistaan–juga pujian–pada kata itu sebagai kata.

Lalu, secara sosio-kultural, ada konotasi negatif yang telanjur dilekatkan pada kata “ndeso” itu. Konotasinya kira-kira: terbelakang, kuno, bodoh, tempramen, dan semacamnya.

Yang pertama dan kedua disebut sebenarnya bahkan tak negatif. Tak sedikit orang suka barang-barang kuno, desain kuno (klasik), dan lain-lain. Juga tak jarang orang ingin kembali ke belakang lantaran romantika masa lalu yang nyaman: dulu ingin maju dan ketika maju baru tahu bahwa ternyata kemajuan itu justru keterbelakangan, yang disebut zaman pencerahan itu justru zaman kegelapan yang sejati.

Contoh lain, tak sedikit orang mengira urbanisasi ke kota mencari harta karena bakal ada jaminan kebahagiaan. Tapi baru sadar di kota bahwa kebahagiaan bukan diukur dengan uang, dan karenanya ingin kembali ke desa lantaran justru di sanalah dulu itu dirinya menemukan kebahagiaan sejati tapi tak sadar.

Kemungkinan besar konotasi negatif itu muncul di kota lantaran tingkah pola negatif oknum orang-orang desa yang merantau ke kota tanpa tujuan jelas seperti mau kerja tapi tak punya skill alias modal nekat. Jika benar, konotasi itu berarti salah sejak dasar: menilai orang desa kok di kota. Kalau mau tahu orang desa ya pergi ke desa, teliti pola hidup, paradigma, dan lain-lainnya, baru simpulkan.

Yang di kota itu hanya sedikit dan bisa jadi tak merepresentasikan “kedesaan”-nya. Yang di kota itu, tentu tak semua karena ada juga yang karena mau belajar, misalnya, ada yang memang KW-2 di desa, tak mampu bersaing dan membangun bisnis di desa, maka merasa harus merantau ke kota.

Padahal, di desa saja tak mampu dan tak punya mental bersaing, apalagi di kota. Maka, terbentuklah oknum orang desa yang negatif itu: mental inferior, dan semacamnya. Disebutlah mereka yang oknum, sedikit, dan sama sekali tak representatif itu sebagai “ndeso”.

Tapi, kalau Anda hidup di desa, justru kata “kota” yang konotasinya negatif. Kira-kira konotasinya: sombong, egois-individualis, dan semacamnya. Karena memang konotasi itu produk lingkungan sosio-kultural.

Kembali ke soal “ndeso”, kalau kita survei, orang ndeso itu berkiprah, berprestasi, dan unggul, baik mereka yang sudah tinggal di kota maupun yang tetap di desa. Yang di kota, misalnya kita lihat para Presiden RI saja: Sukarno, orang Kampung Pandean (Surabaya), Suharto, orang Dusun Kemusuk (Yogyakarta), BJ. Habibie adalah orang Dusun Lanrae, Gus Dur, orang Kampung Denanyar (Jombang), Megawati orang Kampung Ledok Ratmakan (Yogyakarta), SBY orang Desa Treman (Pacitan), dan Jokowi adalah orang Desa Kragan (Karanganyar).

Atau, dari sisi lain, lihatlah mudik. Tradisi itu ada karena rata-rata yang di kota itu ya orang desa. Dan setiap tahun mereka mudik: kembali ke udik, mengingat, dan menyerap kembali kearifan-kearifan “ndeso”-nya untuk dibawa sebagai pegangan di kota. Maka, kita bahkan bisa menyangsikan “entitas” kota itu sebenarnya apa? Adakah? Kalau toh yang di kota itu ya sebenarnya orang-orang desa juga, hanya saja berjas dan tidur di kamar ber-AC.

Adapun yang di desa: mereka yang bertani menjaga isi bakul nasi orang-orang kota, mereka yang nelayan menjaga lauk orang-orang kota, mereka yang menjaga kelestarian gunung dan alam secara keseluruhan, dan lain-lain.

Soal Islam? Orang-orang “ndeso” itu jangan ditanya komitmen dan kiprahnya dalam menjaga ajaran dan tradisi Islam. Kata Gus Dur, yang jaga NU itu ya kiai-kiai kampung. Jadi, kalu soal Islam, Islam yang ndeso itu unggul ketimbang Islam perkotaan.

Kata Emha Ainun Najib alias Cak Nun, yang kemudian jadi salah satu judul karyanya, Indonesia Bagian dari Desa Saya. “Modernisasi” yang menjadi ciri paling khas per-kota-an, sering cuma jadi kedok penjajahan: menggulung dan memorak-porandakan bangunan harmonis masyarakat Indonesia. Justru desa yang tata, titi, tentrem dalam budaya kebersamaan, kerukunan, dan kebersahajaanlah yang menjadi pilar Indonesia.

Karena itu, dengan ungkapan “Indonesia Bagian dari Desa Saya”, Cak Nun mengajak masyarakat Indonesia untuk sadar kembali bahwa desa yang memiliki pola hidup bersahaja, rukun dalam kebersamaan, toleran dalam keberagamaan, tidak mudah mengumbar keserakahan adalah wujud otentik masyarakat Indonesia. Maka, sesungguhnya desalah yang sanggup menampung Indonesia, bukan kota.

Simak juga pengakuan Mustofa Bisri alias Gus Mus, orang-orang seperti Gus Dur sukses membangun Indonesia di kota karena “ke kota ia membawa kemanusiaan, kerendahan hati, kerukunan, atta’awun, solidaritas kemanusiaan seperti di desa. Tempat minumnya terbuat dari kendi. Kendi terdiri dari tanah dan air. Orang desa seperti Gus Dur tidak pernah melupakan Tanah Air”.

Maka, “ndeso” itu sejatinya pujian, bukan penistaan atau hinaan. Kalau peradaban kota mengkonotasikannya negatif, ya itu justru akan jadi masalah tambahan bagi paradigma oknum orang-orang kota itu sendiri: mencerabut yang sejati, menanam yang palsu.

Lalu, apa orang desa harus dan akan marah? Tentu tidak! Karena orang desa sangat paham pada masalah-masalah paradigmatik oknum orang kota, orang desa itu terlalu sibuk ngurusi dan membenahi diri mereka sendiri. Orang desa itu tak gampang marah (karena kalau marah hanya perkara konotasi gitu berarti membenarkan konotasi negatif tersebut), dan orang desa itu mudah memaafkan.

Baca juga:

Kaesang Sayang, Kaesang Malang

Mengenal Muhammad Hidayat, Sang Pelapor Kaesang

Ibrahim Ali-Fauzi
Ibrahim Ali-Fauzi
Pelancong yang kadang cuma ngupi-ngerumpi di pojok @geotimes dan Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Kasir di Kepiting++ Management: ngejepit tanpa jeda.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.