Fenomena pemahaman keagamaan yang ekslusif dan cenderung radikal sudah masuk ke dunia pendidikan. Sekolah-sekolah (khususnya SLTA) dan kampus-kampus ternama di tanah air—termasuk di dalamnya para guru, siswa, dosen, dan mahasiswa—menjadi target utama penyebaran paham tersebut secara sistematis.
Hal itu jelas merupakan tamparan keras bagi kelompok Islam moderat. Bahkan kelompok Islam moderat tertinggal jauh beberapa langkah. Hemat saya, pesan kuatnya adalah: generasi medsos—anak-anak muda milenial atau dalam istilah Rhenald Kasali strawberry generation—menjadi sasaran empuk pelbagai kelompok keagamaan untuk menancapkan benih-benih pengaruhnya.
Generasi medsos adalah primadona dan sekaligus target-audiens. Kelompok mana pun yang bisa meraih “simpati” seluas-luasnya di kalangan mereka akan menentukan wajah, arah, dan nasib umat Islam Indonesia ke depan, bahkan eksistensi negeri ini secara keseluruhan.
Dalam konteks inilah, gagasan “Muslim Ngefriend” hadir. Ia didesain sebagai sebuah strategi kreatif tentang cara memperkenalkan corak keislaman yang toleran dan inklusif dengan bahasa gaul khas anak-anak muda kiwari.
Anatomi “Muslim Ngefriend”
Dalam kamus gaul anak muda, kata ngefriend bermakna ngakrab, dekat, hangat, bersahabat, dan asyik; gaul tapi ngakrab, gue banget; generasi gaul nggak mesti ngawur. Kata ngefriend juga acapkali dimaknai dalam konteks pendidikan: guru itu harus ngefriend sama murid, berarti asyik-ngakrab dan nemenin, tak jaim dan kaku. Artinya, seorang guru harus senantiasa menemani murid-muridnya menyelami hidup secara tulus, antusias, penuh cinta.
Namun, secara filosofis, istilah ngefriend tak sekadar berkonotasi ngakrab, dekat, dan asyik, tapi lebih dari itu mengandung makna “keintiman” (intimacy). “Keintiman” adalah sebuah karakter yang dinamis: bergerak, mengalir, interaktif, rukun, bahagia, perekat, bergairah untuk maju (antusias), kemerdekaan ide, dan mudah beradaptasi dengan realitas sosio-kultural yang kompleks dan beragam; menyelusup relung-relung waktu, menembus spektrum.
Nah, Muslim Ngefriend berarti sosok anak muda Muslim yang gaul sekaligus Islam banget. Itu berarti energi ruhaniah keislaman yang mereka wujudkan dalam kehidupan sehari-hari selalu menyejukkan. Mereka bangga menjadi Muslim, tapi pada saat yang sama urusan “primordial”-nya sudah tuntas.
Mereka terbang melampaui semesta (passing-over); mencari makna dalam setiap dimensi kehidupan. Mereka adalah laskar muda yang sangat menyelami betul secara emik makna hadis Nabi Muhammad SAW ini: “Hikmah adalah barang hilang si Mukmin, maka pungutlah di mana pun kau temukan.” Di sini hikmah bermakna kearifan sekaligus pengetahuan sebagai sebuah energi positif.
Dengan demikian, Muslim Ngefriend acapkali menyelami agama secara asyik-masyuk (eros-oriented-religion), bukan sekadar “hamba-tuan” (nomos-oriented-religion) yang menuntut ketaatan absolut seorang manusia dengan penuh ketakutan kepada Tuhan-nya. Muslim Ngefriend adalah barisan anak-anak muda yang selalu—meminjam istilah filsuf Bertrand Russell—diinspirasi cinta dan dibimbing ilmu dalam memaknai setiap nafas kehidupan.
Mereka selalu merindu pada Sang Pencipta yang Mahacinta. Sifat-sifat keagungan Tuhan yang kerap disimbolkan oleh kekuatan Mahaangker tunduk pada kelembutan cinta-Nya. Puncak dari proses itu, tiada lain, adalah akhlak mulia: berdamai dengan alam, menebar kebajikan, merawat keragaman, memuliakan manusia.
Lalu, apa makna esensial menjadi Muslim? Secara singkat,menjadi Muslim itu, ya ngefriend! Muslim Ngefriend keren abis. Idolanya adalah Nabi Muhammad SAW, sang nabi cinta. Mereka adalah generasi “tengah-tengah” (wasathon). Di benaknya hanya memancar sifat-sifat tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), adil, dan tasamuh (toleran). Mereka tak pernah ekstrim, baik dalam pikiran maupun tindakan. Muslim Ngefriend selalu memaknai Islam dalam konteks kebangsaan; merawat dan menghargai eksistensi kelompok lain. Apa pun latar belakangnya!
“The Architect of Visual”
Everything is digital. Ungkapan ini terasa nendang. Petanda bahwa teknologi digital telah berfungsi—meminjam istilah Straubhaar & LaRose (2004)—sebagai media drive culture. Artinya, munculnya teknologi digital otomatis mengubah gaya hidup dan budaya masyarakat secara drastis. Puncaknya saat ini adalah digitalisasi dan internet.
Dalam konteks inilah generasi medsos—sebutan paling akrab bagi generasi milenial—lahir. Generasi medsos adalah sebuah generasi yang oleh Don Tapscott dalam Grown Up Digital (2008) digambarkan sebagai “… a new generation who, in profound and fundamental ways learn, work, play, communicate, shop, and create communities very differently than their parents.”
Revolusi digital menandai lahirnya generasi medsos. Cara mereka berkomunikasi melahirkan “revolusi konten”. Model konten yang mereka gandrungi tidak lagi bersifat “teks”, tapi lebih bersifat visual. Maka, budaya medsos berikut kekuatan spectacle-nya dirayakan secara suka-cita di ruang publik.
Di sinilah “the architect of visual” beserta seluruh turunannya menjadi jangkar gerakan Muslim Ngefriend. Visualisasi dan kreasi (creative content digital) nilai-nilai keislaman yang asyik dalam pelbagai bentuk (platform) media menjadi kebutuhan zaman yang sangat mendesak. Jika tidak adaptif, bagi generasi medsos, Islam tampaknya akan menjadi barang “antik” dan “jadul”. Apalagi salah satu ciri mendasar generasi medsos adalah lemahnya “self-defense” terhadap pelbagai pengaruh paham modern sehinga nilai-nilai keagamaan cenderung memudar.
Selain itu, generasi medsos lebih percaya pada “user generated content” dibandingkan dengan informasi yang bersifat searah. Dengan begitu, generasi medsos lebih tertarik pada dialog ketimbang monolog; lebih memilih pola pembelajaran keislaman yang bersifat interaktif ketimbang satu arah (broadcast). Bahkan tipikal generasi medsos memiliki kecenderungan tidak mudah tunduk dan patuh terhadap garis instruksi, apalagi yang bersifat doktriner.
Generasi medsos tetap merindukan figur ideal sebagai panutan. Namun, fokus perhatian mereka tidak hanya pada figur itu sendiri. Tapi lebih pada kualitas nilai kepribadian sang tokoh tersebut. Sayangnya, generasi medsos kini kehilangan figur atau ustadz panutan yang bisa menyampaikan pesan-pesan keislaman secara inklusif dan toleran sesuai cita-rasa dan laku dirinya: kreatif, interaktif, dan fun. Ruang kosong ini jelas menjadi tantangan serius dan sekaligus “PR” mendasar bagi para pegiat Muslim Ngefriend.
Namun demikan, generasi medsos juga memiliki titik lemah. Kelemahan tersebut, misalnya, tampak dari cara mereka bermedsos yang masih berpijak pada budaya lisan. Artinya, aspek budaya literasi mereka masih sangat lemah. Di sinilah justru pangkal masalahnya: mereka cenderung menjadi kurang kritis, mudah dihasut, dan dipecah-belah.
Akibatnya, mereka tampak tak begitu hati-hati dalam menyikapi arus lalu-lintas informasi di ruang medsos. Padahal berpikir kritis itu kunci literasi informasi dan kecakapan berkomunikasi. Dengan demikian, langkah penguatan literasi dan penciptaan kanal-kanal positif-kreatif sebagai wahana aktualisasi diri para insan medsos sangat krusial, supaya mereka tumbuh menjadi generasi Muslim tangguh dan beradab.
Baca juga:
Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?
Generasi Milenial: Pancasila, Semangat Toleransi, dan Kebhinnekaan