Akhir pekan lalu Nahdlatul Ulama (NU) baru saja selesai menggelar Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar di Lombok, NTB. Acara yang ditutup oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla ini merekomendasikan berbagai hal menyangkut perbaikan bidang perekonomian, pendidikan, politik hingga soal perlunya mencegah dan menanggulangi paham radikalisme.
Tim rekomendasi ini diisi oleh beragam ahli, mulai para kiai, politisi, pendidik, sampai pegiat sosial yang terdiri dari 6 orang: Masduki Baidlowi, Alissa Wahid, Ahmad Suaedy, M. Kholid Syeirazi, Anggia Emarini, dan Arifin Junaidi.
Salah satu poin yang menarik dalam rekomendasi ini adalah soal ujaran kebencian dan pencegahan serta penanggulangan radikalisme yang disebutkan harus tetap mengedepankan aspek pendekatan secara kemanusiaan.
Sejauh ini, aspek pencegahan dan penanggulangan radikalisme memang seringkali bermasalah, terutama karena kebijakan yang dijalankan oleh aparat penegak hukum. Hebohnya soal pemberlakuan UU Ormas dan mekanisme pembubaran ormas yang dianggap “radikal” ternyata banyak menyisakan masalah kemanusiaan, terutama ihwal diberangusnya kebebasan dan hak berpendapat dan berorganisasi masyarakat.
Pendekatan kemanusiaan bagi yang terindikasi “radikalis” seharusnya dapat dijalankan melalui serangkaian penyelesaian masalah dengan cara “soft power”, melibatkan tokoh-tokoh agama, penguatan pendidikan karakter, atau melalui cara-cara kekeluargaan yang dapat diupayakan melalui kerjasama pemerintah dan masyarakat.
Melalui rekomendasi Munas di Lombok, NU menawarkan alternatif di mana pemerintah dapat menggunakan berbagai akses kultural dalam pencegahan radikalisme, baik melalui pendekatan agama, pendidikan, politik, kebudayaan, sosial-ekonomi, dan bahkan upaya kekeluargaan. Di sinilah saya kira, setiap penanganan persoalan yang muncul di masyarakat harus mampu meminimalisasi persoalan-persoalan baru yang bisa memicu persoalan lain yang lebih besar.
Penting untuk menelusuri dan memahami lebih jauh, kenapa seseorang menjadi radikal. Sebab, ini akan terkait dengan banyak aspek, termasuk minimnya pemahaman keagamaan, pendidikan, atau merasa terisolir dari lingkungan keluarga. Aspek-aspek ini justru dapat membantu mengubah mindset seseorang yang tiba-tiba menjadi radikal, tentu saja dengan cara-cara yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan.
Penanganan radikalisme melalui pendekatan kemanusiaan sangatlah penting untuk menghindarkan ekses lebih jauh kepada aksi terorisme. Kejadian pengeboman yang diduga dilakukan kelompok militan ISIS di Sinai, Mesir, adalah bukti nyata penanganan cara-cara “militeristik” aparat setempat yang terlampau berlebihan sebelumnya. Alih-alih memberangus paham radikal, tindakan tersebut justru menumbuhkan kekuatan-kekuatan “laten” yang setiap saat bisa saja melakukan aksi balas dendam atas perlakuan kurang manusiawi yang dijalankan aparat.
Sebagai ormas yang mengusung nilai-nilai moderatisme, NU mencoba manawarkan konsep “jalan tengah” dalam merespons beragam persoalan yang muncul di tengah masyarakat. Penanggulan dan pencegahan radikalisme sudah sepatutnya dijalankan sesuai batas-batas kemanusiaan. Jika tidak demikian, Indonesia bisa saja seperti Timur Tengah yang dilanda konflik sektarianisme berkepanjangan yang mendorong aksi-aksi anarkisme.
Selain merekomendasikan agar pemerintah merevitalisasi ideologi Pancasila sebagai pandangan hidup dan falsafah kebangsaan, NU juga mengkritik cara-cara tak bermartabat yang kadang dijalankan para politisi dan partai politik yang mengangkat sentimen keagamaan demi tujuan-tujuan kepentingan politik. Agama sejauh ini memang masih menjadi isu paling laku yang kerapkali “diperdagangkan” dalam arena pertarungan kekuasaan politik.
Bagaimana tidak, hampir bisa dipastikan ketika sentimen agama ini dipaksa masuk dalam arena kontestasi, ia sepertinya terjun bebas serendah-rendahnya dan kehilangan elan-vital-nya sebagai sebuah keyakinan suci yang begitu dihormati dan disakralkan masyarakat, bercampur dengan aksi kotor kepolitikan.
Bagi saya, keyakinan atau agama merupakan wilayah “privat” yang dapat mempengaruhi keyakinan pilihan politik seseorang, tanpa harus “dipaksa” atau “diarahkan” melalui sentimen keagamaan yang dipolitisir oleh para politisi atau partai politik. Mengusung “politisasi agama” justru bukanlah sebuah wujud tanggung jawab politik yang bermartabat, tetapi akan memicu konflik keagamaan yang pada akhirnya rentan perselisihan lebih besar.
Sikap NU jelas bahwa Indonesia negara berbhineka tunggal ika dengan beragam keyakinan, tradisi, dan budaya yang dianut ratusan juta penduduknya. Karenanya, sentimen keagamaan tertentu dalam rangka pencapaian tujuan kekuasaan hanya akan meninggalkan konflik dan perpecahan yang berdampak pada kondusivitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bagian penting yang menarik dari rekomendasi Munas NU adalah kajian tentang prilaku ujaran kebencian (hate speech) dan hasutan untuk melakukan kekerasan (incitement to violence) yang belakangan semakin sulit dikendalikan. Bahtsul Masaail ad-Diniyyah al-Maudluiyyah menyepakati ujaran kebencian termasuk perbuatan akhlaq madzmumah (perilaku tercela) yang seharusnya dihindari oleh setiap orang (lihat: www.republika.co.id, 24/11/2017).
NU merekomendasikan agar penegakan hukum soal ini lebih serius sehingga mampu menimbulkan efek jera kepada masyarakat. Saya sepakat atas penegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar yang disebut dalam bahtsul masail yang tidak mentolerir ujaran kebencian, walau bertujuan untuk mengajak kepada kebaikan. Mengajak kebaikan harus dengan kebaikan, bukan dengan keburukan, seperti ujaran kebencian yang ditujukan demi kebaikan jelas perbuatan buruk.
Bagian krusial pembahasan bahtsul masaail mengenai ujaran kebencian dan soal radikalisme ini bahkan hingga mendapatkan tanggapan secara luas dari masyarakat. Pasalnya, ada tweet yang mengatasnamakan Presiden Joko Widodo yang diunggah pihak Sekretaris Kabinet yang seolah-oleh “menekan” NU agar membuat fatwa sesuai pesanan penguasa.
Bagi saya, hasil bahtsul masail merupakan produk ijtihadi yang setingkat dengan ijma’, tidak mungkin “dipolitisir”, diarahkan atau dibuat sesuai “pesanan”. Tidak mungkin sebuah “kesepakatan” diatur sedemikian rupa, apalagi disepakati bersama, untuk membuat sebuah kebohongan publik.
Banyak pihak yang mengkritik hasil ijtima’ ulama, padahal—sebagaimana ungkapan Imam Syafii—hasil ijma’ ulama itu lebih dahsyat ketepatannya dibanding sekadar pendapat pribadi. Pendapat pribadilah yang mudah diarahkan dan disesuaikan dengan “pesanan”, mengingat hawa nafsu dan egoisme secara pribadi lebih mendominasi dibanding sebuah konsensus (ijma’) bersama.
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” (QS Ar-Rahman: 60). Saya kira penting untuk merenungkan ayat Al-Quran ini, karena dengan selalu mengedepankan sikap bijak, apalagi mengajak kepada kebaikan, tentu saja balasannya adalah kebaikan pula. Berbeda halnya jika kemudian mengajak kepada kebaikan, tetapi melalui jalan keburukan—termasuk cara-cara kekerasan, fitnah atau ujaran kebencian—tidak saja melanggar konsep amar ma’ruf nahi munkar, tetapi malah menyemai kemungkaran itu sendiri yang jelas-jelas dilarang oleh agama.
Penting untuk dipertegas di sini bahwa konsep nahi munkar (mencegah dari kemunkaran), harus didahului dan dicegah melalui perbuatan baik, bukan menciptakan kemunkaran yang baru. Lagi pula amar ma’ruf harus didahulukan daripada nahi munkar, sebab berbuat baik adalah perintah dan setiap kemunkaran hendaklah dicegah.
Bacaan terkait:
Khutbah: Antara Kebebasan dan Ujaran Kebencian
Ulama Sejati dan Ulama Penebar Kebencian
Mewaspadai Radikalisme Islam di Media Sosial