Sejak adanya layanan angkutan (umum) online lewat aplikasi teknologi (per 2014-2015), muncul desakan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Desakan tersebut justru muncul dari Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemy Francis.
Komisi V melalui Badan Keahlian DPR RI sedang melakukan road show untuk menjaring masukan mengenai rencana revisi terhadap UU LLAJ tersebut. Ada dua substansi yang ingin disampaikan melalui revisi tersebut: memasukkan angkutan online roda empat (taxi online) ke dalam UU LLAJ dan melegalkan sepeda motor sebagai sarana angkutan umum, sehingga keberadaan ojek online (ojol) itu resmi.
Desakan untuk merevisi UU LLAJ pernah dilakukan oleh Jakarta Transportation Watch (JTW, 2015), dengan alasan UU LLAJ tidak mengatur penggunaan motor dan bajai sebagai sarana transportasi umum. Namun, desakan itu langsung dijawab oleh Menteri Perhubungan Ignatius Jonan (saat itu), bahwa UU LLAJ belum perlu direvisi.
Jika dicermati, yang diperlukan sekarang ini bukan revisi, melainkan implementasi dari seluruh amanat UU LLAJ yang belum terimplementasi, baik menyangkut soal pengembangan angkutan umum yang selamat, aman, nyaman, terjangkau, dan tepat waktu; pengembangan angkutan umum massal, maupun pengembangan angkutan tidak bermotor dan pejalan kaki.
Mendukung Angkutan Umum
Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ) No. 22/2009 sebetulnya telah memiliki semangat untuk mendukung pengembangan angkutan umum yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau (pasal 138); adanya jaminan ketersediaan angkutan umum antardaerah maupun dalam satu wilayah yang dilaksanakan oleh badan hukum (pasal 139); jaminan adanya ketersediaan angkutan umum massal (pasal 158); adanya komitmen untuk memberikan subsidi bagi angkutan umum ekonomi (Pasal 185 ayat (1).
Selain itu, termaktub juga jaminan kepada pengguna jasa angkutan umum untuk mendapatkan pelayanan (pasal 197 ayat 1 butir a); adanya perlindungan kepada perusahaan angkutan umum (pasal 197 ayat 1 butir b), dan adanya SPM (Standar Pelayanan Minimun) Angkutan Umum (pasal 198 ayat 2 butir b).
UU LLAJ No 22/2009 ini juga memiliki semangat terhadap keselamatan transortasi (pasal 138, 200, 203, 204, 205, dan 208), perlindungan terhadap pejalan kaki (pasal 25 ayat (1) butir g, pasal 45 ayat (2) butir a dan c, pasal 93 ayat (2) butir b, pasal 106 ayat (2), pasal 11 ayat (2) butir f, pasal 131-132, serta pasal 275 dan 284), perlindungan terhadap angkutan tidak bermotor : pasal 25 ayat (1) butir g, pasal 45 ayat (1) butir b, pasal 62, 63, dan 116 ayat (2) butir b; keberpihakan terhadap kaum difable: pasal 25 ayat (1) butir g, pasal 45 ayat (2) butir e, pasal 93 ayat (2) butir e, pasal 142, 143, dan 244; serta perlindungan terhadap konsumen angkutan umum (pasal 141, 167, 168, 187, 188, 189, 192, 193, dan 201).
Sayang, amanat UU LLAJ No. 22/2009 ini banyak yang belum diimplementasikan, meski usianya sudah sembilan tahun. Di lapangan, kita dapat melihat kondisi angkutan umum di perkotaan maupun pedesaan seluruh wilayah tanah air mati suri. Hanya di beberapa kota dan daerah saja yang angkutan dengan menggunakan bus kecil (angkot) atau sedang masih bertahan dan mampu menghidupi pengemudinya.
Masyarakat makin sulit mendapatkan akses transportasi umum. Hanya kota Jakarta saja yang memiliki program pengembangan angkutan umum secara baik dan didukung dengan pendanaan yang besar. Kota-kota lain berjalan secara sporadik, ada yang memiliki perencanaan transportasi umum secara baik, namun 99% daerah tidak memiliki perencanaan transportasi yang baik.
Kita juga belum melihat strategi jitu untuk penyelamatan angkutan umum di seluruh wilayah tanah air. Padahal, itu amat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi, utamanya sepeda motor. Program pengembangan angkutan umum massal yang dijalankan oleh Kementerian Perhubungan masih bersifat fisik dengan bagi-bagi bus saja, belum disertai dengan pendampingan teknis dan kelembagaan agar daerah dapat mengoperasikan kendaraan tersebut.
Replikasi sistem bus rapid transit (BRT) seperti di Jakarta yang dijalankan oleh sejumlah kota juga mengalami perkembangan yang beragam di setiap kota akibat komitmen pemerintah kota/pemerintah kabupaten yang beragam pula. Pergantian pimpinan daerah setiap lima tahun sekali berkontribusi besar dalam penentuan kebijakan transportasi di wilayah tersebut, terlebih bila komitmen pimpinan baru tidak setinggi pimpinan daerah sebelumnya.
Kecuali itu, kemampuan finansial daerah juga berbeda-beda untuk mewujudkan layanan transportasi umum yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau.
Anomali Sistem Transportasi
Mengingat amanat UU LLAJ yang bagus itu belum diimplementasikan di lapangan, yang diperlukan sekarang adalah implementasi, bukan justru merevisi UU LLAJ.
Keberadaan taxi online cukup diatur dengan PM 108/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Ini mengingat taxi online atau yang dalam PM No. 108/2017 disebut Angkutan Sewa Khusus (ASK) itu bukanlah moda baru yang memiliki konsekuensi hukum perlu pengaturan tersendiri, melainkan hanyalah sistem mendapatkan penumpang saja.
Betapa kita sebagai bangsa akan capek kalau setiap inovasi teknologi harus diatur dalam UU. Adapun teknologi informasi dua dekade terakhir berkembang sangat cepat, siklusnya setiap lima tahun sekali berubah. Jika setiap ada perubahan teknologi harus diakomodasi oleh UU, tentu energi kita habis untuk mengubah UU.
Karena itu, hal yang sifatnya teknis cukup diatur dalam Peraturan Menteri, sedangkan yang diatur dalam UU adalah hal-hal yang sifatnya strategis, bukan yang teknis administratif.
Demikian pula kehadiran ojek online (ojol) tidak perlu mengubah UU. Secara hukum, posisi ojol itu sama dengan ojek pangkalan (opang), sama-sama mempergunakan sepeda motor sebagai sarana transportasinya. Keberadaan ojek di kota-kota di Indonesia sudah lebih dari 40 tahun. Pada saat pembahasan RUU LLAJ, status ojek motor sudah dibahas, tapi semua (legislatif dan eksekutif) sepakat bahwa UU LLAJ tidak mengatur keberadaan ojek motor dengan alasan keselamatan.
Data Korlantas mencatat bahwa rata-rata 85 orang per hari meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Dan dari jumlah tersebut, 72% (55,5 orang) melibatkan sepeda motor. Ini artinya sepeda motor bukan moda transportasi yang berkeselamatan, sebaliknya menjadi mesin pembunuh (jalanan) terbesar di Indonesia, mengalahkan narkoba yang membunuh rata-rata 50 orang per hari.
Jadi, sangat tidak fair ketika masih opang tidak didengarkan suaranya, tapi setelah menjadi ojol, yang di belakangnya ada topangan kapital besar (yang dimiliki oleh aplikator), kemudian akan dilegalkan menjadi angkutan umum.
Fakta bahwa ojek motor, baik opang maupun ojol, diperlukan masyarakat tidak dapat ditolak. Tapi, perlu diketahui, itu merupakan anomali (penyimpangan) dalam sistem transportasi yang disebabkan oleh buruknya layanan transportasi umum.
Karena itu, yang perlu dilakukan bukan melegalkan ojek motor sebagai sarana angkutan umum, melainkan memperbaiki layanan angkutan umumnya. Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah perlu memiliki komitmen yang sama untuk memperbaiki layanan angkutan umum di daerah masing-masing.
Tahap pertama yang bisa dilakukan adalah memberikan layanan angkutan pelajar yang berkeselamatan, aman, nyaman, terjangkau, dan tepat waktu. Hal ini penting untuk mengurangi ketergantungan pelajar pada sepeda motor.
Di Bandung, Pontianak, Tulung Agung, Kebumen, Kediri, dan Tabanan Bali, pemerintah daerahnya menyediakan angkutan pelajar gratis, sehingga sedikit pelajar yang menggunakan motor untuk sarana transportasi ke/dari sekolah.
Tahapan berikutnya adalah memperbaiki layanan angkutan di perkotaan. Jika para penumpang KRL Jabodetabek bisa mendapat subsidi dari negara, mengapa penumpang bus kota di daerah-daerah tidak disubsidi? Subsidi untuk layanan angkutan umum itu suatu keniscayaan yang tidak terhindarkan. Sebab, layanan transportasi yang baik membutuhkan biaya besar, dan bila dibebankan pada tarif, masyarakat tidak akan menjangkaunya.
Tidak ada transportasi publik di dunia yang tanpa subsidi (kecuali MRT di Hongkong dan Seoul, karena mereka mengembangkan TOD/Transit Oriented Development). Maka, berikanlah subsidi untuk angkutan umum. Bila layanan angkutan umumnya bagus, orang secara otomatis akan meninggalkan ojek (opang maupun ojol), sehingga tidak perlu dilegalkan dalam UU LLAJ.
Kolom terkait:
Saat Pemerintah Takluk pada Driver Online
Ketika Regulator Galau Mengatur Angkutan Online
Putusan MA, Sepeda Motor, dan Keruwetan Transportasi Jakarta