Berita terbaru mengiris hati ialah tercatat 61 anak meninggal dunia akibat kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk selama empat bulan terakhir di Kabupaten Asmat, Papua. Siapa pula yang tega melihat para tunas muda bangsa ini semestinya mengisi hari-harinya dengan penuh keceriaan dan berceloteh lucu, justru tutup usia. Hati pun tergerak, dan bantuan berdatangan. Misalnya, dari Surabaya mengulurkan tangan dengan mengirim obat, makanan untuk mempercepat pemulihan seperti vitamin, susu, mintak sayur, dan biskuit bayi.
Kasus ini mengingatkan saya pada kisah sejarah lokal yang pernah ditenun Sukinem, simbah saya yang bercokol di Wonogiri, Jawa Tengah. Riwayat ini yang bikin bulu kuduk merinding. Yakni, larang pangan di Wonogiri bagian selatan, Pacitan, dan Gunung Kidul periode permulaan 1960-an.
Saat itu, musim ketiga ngerak melanda. Gerombolan tikus putih berfisik besar tiba-tiba menyerang tetumbuhan pekarangan dan tanaman sawah tanpa sisa. Mulai padi, kelapa, mangga, jambu, ubi, hingga pisang disapu bersih lewat aksinya pada siang dan malam hari. Keberadaan tikus masih menjadi teka-teki lantaran jumlahnya hampir mencapai ribuan. Seumpama warga mengeluarkan sumpah serapah atau hujatan kepada tikus, maka polah mereka kian menjadi.
Menurut warga, rombongan tikus bersembunyi di dekat laut. Memang, fenomena tikus ini ora tinemu nalar (tak logis), tapi realitasnya sanggup mengguncang stabilitas pangan penduduk: paceklik pada titik gawat. Masa yang cukup mengerikan dan menimbulkan suatu kenangan sangat pahit bagi masyarakat setempat dinamai zaman “Pegaber”.
Dalam riset kuliner yang saya kerjakan, terjawab perihal asal-usul istilah tersebut. “Gaber” merupakan sejenis bahan makanan yang berasal dari ampas singkong selepas diperas diambil patinya. Tempo itu gaber dikirim dari telatah Purworejo demi mengganti gaplek dan beras yang tandas akibat serangan hama tikus. Diperparah musim penghujan terlampau lama belum menampakkan batang hidungnya. Puncaknya, warga rela makan gaber.
Makanan baru tersebut rasanya hambar sekali atau sepah. Saking sepahnya, bila dikasihkan ternak, bakal “nggaber” (bahasa Jawa: menyemburkannya kembali dengan menggetarkan bibirnya tanda menolak dengan jengkel dan terpaksa). Rasa “gaber” tiada bedanya seperti gedebok (batang pisang), bahkan lebih hambar lagi. Dapat kita bayangkan, barang semacam itu mesti dilahap manusia supaya merawat nyawa!
Ekses larang pangan demikian dasyat dan memilukan. Sampai-sampai khalayak ramai tersayat hatinya, karena banyak manusia sudah digambarkan seperti “mayat hidup”. Barisan jurnalis daerah dan ibu kota menyingsingkan lengan baju turut membantu sesuai kemampuan. Gambar manusia kelaparan itu dipajang di halaman koran guna mengetuk nurani saban pembaca dan melahirkan empati. Foto tersebut dibubuhi predikat: “mayat hidup” untuk dimintakan dana dari pembaca koran kala itu.
Alih-alih melunasi kebutuhan perut keluarga, untuk makan sak warekan bagi dirinya saja sukar bukan kepalang. Selain ke pasar menjual rajabrana dan rajakaya sebelum mati gara-gara juga krisis pakan ternak, jalan lain yang ditempuh ialah nglemboro (merantau) ke daerah lain demi mencari pekerjaan. Wilayah yang didatangi antara lain Baturetno, Batuwarno, dan Surakarta.
Pekerjaan apa pun bakal mereka kerjakan asal dikasih imbalan sesuap gaplek sekadar pengganjal perut. Warga yang dikunjungi tidak semuanya langsung merespons bagus. Unsur belas kasihan era itu menipis mengingat kondisi ekonomi dan pangan sangat sulit. Stok bahan pangan dieman-eman.
Menurut penuturan Mariko (90 tahun), suami Sukinem, tiada yang lebih menyedihkan dari perpisahan antara ibu-bapak dengan buah hati. Anak harus dijual kepada seseorang yang berbaik hati serta menaruh belas kasihan terhadap bocah yang belum tahu dosa itu. Jika anak “dilego” tersebut masih bayi abang, situasinya tidak begitu pelik. Paling banter sang ibu bermandi air mata dibarengi perasaan berat kudu melepaskan anaknya. Sedangkan si bayi barangkali hanya tidur dengan pulasnya waktu berpindah tangan.
Jagat cilik desa ikut goncang ketika pihak “pembeli” menjatuhkan pilihan pada anak termanis dan sedang lucu-lucunya di antara kakak dan adiknya. Kejadian ini sangat dramatis. Tidak hanya diiringi cucuran air mata dari pihak si ibu saja, tapi diwarnai pula raungan meronta yang menyayat hati dari anak yang emoh berpisah dari ibu dan saudaranya.
Dari kesaksian Trim Sutidja (1969) dari Jakarta datang menjenguk keluarganya di Gunung Kidul diketahui, arus manusia bergelandangan memadati saban pojok kota, terutama di kota yang berdekatan dengan kawasan paceklik itu. Anehnya, muncul kelompok misterius yang mengangkuti mereka dari daerah paceklik ke kota sekitarnya dengan mengerahkan truk-truk setiap harinya.
Sampai sekarang pun orang tidak tahu pasti siapa sebenarnya yang telah mengerahkan truk itu. Mereka, rombongan pengemis itu, diangkut begitu saja dari jalan di daerah asalnya, kemudian didrop di daerah tertentu. Bagi yang tak kuat pergi mengemis gara-gara penyakit hongerudeem yang parah, ditampung di balai kelurahan dan poliklinik. Tak ayal, setiap kelurahan dan poliklinik di seluruh Gunung Kidul bersalin menjadi rumah sakit tempat merawat penderita H.O. yang jumlahnya ratusan dan berserakan di serambi atau di luar rumah.
Masyarakat cemas dengan persoalan baru, yakni “kawanan perampok” berkeliaran. Mereka berjumlah 20-30 orang datang mendadak di malam hari mendobrak rumah penduduk guna minta makan secara paksa. Kebanyakan warga yang pernah kedatangan gerombolan semacam ini, tiada jalan lain kecuali memasakkan mereka saat itu juga. Bayangkan saja bila dalam waktu seketika harus memasak sampai untuk tiga puluh orang banyaknya. Sudah jatuh, tertimpa tangga.
Kisah di atas merupakan riak-riak kecil dari gelombang sejarah kelam mengenai pangan di Indonesia. Selain memperkaya kajian sejarah lokal, cerita pahit ini “dipanggil pulang” sebagai bahan refleksi bersama: betapa persoalan beras (pangan) tidak bisa diremehkan. Demikian gizi buruk yang menerpa barisan tunas bangsa, yang hari-hari ini terjadi di Kabupaten Asmat. Juga jangan sampai para begundal bersama mafia pasar memainkan impor beras dan menari di atas perut wong cilik bila tidak mau kuwalat.
Baca juga:
Jokowi dan Politik-Ekonomi Impor Beras
Beras Maknyuss dan Maknyusnya Nasi dalam Kosmologi Jawa