“Huuu… pernah dengar Indonesia
Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Sayangnya semua adil sudah terbeli oleh yang mampu membeli
huuu… begitu
huuu… begitu.”
Sajak di atas merupakan penggalan dari kelompok musik Nosstress yang juga menjadi soundtrack dalam dokumenter “Kala Benoa” produksi WatchdoC. Dan tentu saja sangat relevan untuk menggambarkan konteks Indonesia sekarang. Yang paling terbaru dan sangat menyentuh nurani adalah aksi “Dipasung Semen Jilid II” oleh para petani Rembang di depan Istana Negara, Jakarta, sejak 14 Maret 2017 lalu.
Bentang permasalahan di Indonesia sebenarnya hampir memiliki pola yang serupa seperti di wilayah lainnya. Deretan konflik tanah serta sumber daya alam adalah beberapa catatan penting yang harus segera diselesaikan. Misalnya, warga Pegunungan Kendeng secara tegas menolak pembangunan pabrik semen di daerah mereka. Hal ini sangat beralasan karena kehadiran pabrik semen akan mengganggu, merusak, dan mengancam pertanian serta keberadaan mata air di sana.
Penolakan ini terus berlanjut. Pada dasarnya warga Kendeng memiliki hak penuh atas tanah mereka. Ini diperkuat lagi dengan keputusan hukum yang telah final, yakni putusan Mahkamah Agung yang meminta pencabutan izin lingkungan kepada pemerintah daerah. Akan tetapi, geliat elite politik menampakkan wajahnya yang lain. Respons Gubernur Jawa Tengah yang mencabut izin lingkungan lalu menerbitkan yang baru sungguh di luar nalar sehat!
Dalam ajang lima tahunan, para politisi selalu hadir dengan senyum menawan hingga merangsek ke pelosok desa. Tak lupa juga penyampaian visi, program, dan sepakat janji yang kelak akan direalisasikan atas nama pembangunan. Namun, hal ini tentu sangat kontras dengan peristiwa yang terjadi di Kendeng.
Para petani yang melakukan aksi menyemen kaki tepat di depan Istana Negara belum mendapatkan respons yang baik dari pemerintah. Sejauh ini baru sebatas pertemuan dengan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki di kantornya kemarin (Senin, 20/3). Dan patut dicatat, aksi ini adalah bukan yang pertama kali digelar di sana.
Menyaksikan warga Kendeng yang menyemen kaki rasanya pilu sekali. Bisa dibayangkan, bagaimana sakitnya organ kaki ketika dilumuri semen bercampur pasir di dalam kotak kayu berukuran 60×40 cm!
Nalar yang Menjalar
Pada 15 Maret 2017 para warga Kendeng terus berdatangan dan bersolidaritas untuk tetap menolak pabrik semen di tanah mereka. Dan mereka menyerukan ajakan kepada warga daerah lain yang ada di Indonesia untuk bersolidaritas dan terus berjuang menyelamatkan Kendeng. Semangat seperti ini patut ditiru dan diteruskan.
Dalam konteks sosial, warga kadang diposisikan hanya sebagai obyek pembangunan dan bukan subyek pembangunan. Merujuk kajiannya yang terkenal, Political Action, Barnes, Kaasse, dan Allerbeck (1979) berpendapat bahwa kita seharusnya membedakan dua macam partisipasi politik yang berbeda. Di satu sisi, partisipasi politik konvensional adalah aktivitas yang terjadi dalam konteks institusi politik mainstream, seperti partai politik. Tetapi, selain itu, warga negara juga memiliki akses ke berbagai bentuk partisipasi lain yang jauh lebih menantang elite.
Contoh-contohnya, antara lain, penandatanganan petisi dan ikut serta dalam aksi. Barnes dan rekannya jelas menunjukkan bahwa keikutsertaan dalam bentuk partisipasi politik nonkonvensional ini bukanlah indikasi alienasi total dari sistem politik. Sebaliknya, warga negara yang ambil bagian dalam satu bentuk partisipasi tampaknya juga ambil bagian dalam bentuk-bentuk yang lain. Sebagai contoh, anggota partai, jika merasa perlu, mungkin ikut ambil bagian dalam aksi di atas.
Secara ringkas, Barnes dan rekannya menyimpulkan bahwa tindakan partisipasi, baik yang konvensional maupun nonkonvensional, mempunyai tempat dalam sistem politik demokrasi dan bahwa negara jelas memilih tindakan partisipasi yang mereka anggap paling efektif untuk keadaan spesifik. Konteks ini bisa dilihat ketika sekitar 50 perwakilan warga Kendeng akan menemui Jokowi dan membawa tanah dari 27 kabupaten yang ada di Jawa Tengah.
Perjuangan para bapak dan perempuan Kendeng kini telah mendapatkan sorotan dari media internasional. Asian Correspondent pada 17 Maret 2017 merilis narasi cukup panjang dan detail perihal aksi solidaritas tersebut. Para intelektual, mahasiswa, dan elit politik seharusnya ikut berpartisipasi dan segera mengambil langkah solutif untuk menyelesaikan masalah ini.
Di sisi lainnya, ada aksi lain yang sampai hari ini belum juga mendapatkan respons dan menunggu untuk segera diselesaikan, Aksi Kamisan. Pada 9 Maret 2017 lalu, telah berlangsung Aksi Kamisan ke-484 untuk menuntut pemerintah mengusut dan menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia. Dan yang terpenting adalah mengungkap fakta kebenaran, mencari keadilan, dan melawan lupa.
Aksi Semen Kaki dan Aksi Kamisan merupakan kepingan dan manifestasi sebuah omerta yang menuntut keadilan kepada para pengambil kebijakan. Juga usaha membongkar klandestin yang ada di dalamnnya. Mereka yang bertahan di garis depan adalah katalis yang senantiasa rela berjuang melawan rezim dan akan mewarisi cerita kepada para generasi untuk mempertahankan ruang hidupnya.
Solidaritas dan nalar yang menjalar harus ditransformasikan agar kewarasan tetap terjaga. Mengutip Doyle Paul Johnson, salah satu karakteristik fakta sosial adalah bahwa fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan.