Saya heran mengapa para dokter berdiam diri dengan nasib dokter Fiera Lovita di Solok yang dikejar-kejar Front Pembela Islam (FPI). Atau dokter Otto Rajasa di Balikpapan yang kini ditahan atas tuduhan penistaan agama. Dalam hati, saya bertanya, masak para dokter itu kalah dengan pengemudi ojek online yang solidaritasnya sangat tinggi ketika rekan satu profesinya tertimpa masalah.
Ini beda sekali bagaimana reaksi para dokter ketika rekannya dihukum malpraktek, kasus vaksin palsu atau gebrakan Gubernur Jambi Zumi Zola yang dengan kasar membangunkan para perawat yang tidur.
Tidak Ada Solidaritas Profesi
Saya kemudian menelusuri banyak artikel di Facebook para dokter yang mengomentari nasib dokter Fiera dan dokter Otto. Hasilnya mengejutkan. Tidak satu pun dokter yang membela dua rekan profesi tersebut, termasuk Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
Dimulai dari para rekan sejawat dokter Fiera di Solok dan Padang. Penelurusan saya menunjukkan sejumlah dokter ramai-ramai menghujat dia. Tidak ada solidaritas profesi di antara para dokter dalam menanggapi kasus Fiera. Bahkan ada dokter yang mengunggah foto dokter Fiera dan memberikan komentar yang bernadakan mengecam dan setuju dengan langkah FPI mencari-cari dokter itu.
Dan ini juga terjadi pada kasus dokter Otto Rajasa yang kini ditahan. Komentar para dokter atas kedua rekan seprofesinya itu dianggap masalah pribadi yang tidak terkait profesi, jadi harus diselesaikan sendiri sekaligus membenarkan tuduhan bahwa dokter Otto menista agama.
Fakta ini membuat saya berusaha mencari tahu mengapa hal ini terjadi. Penelurusan saya sampai pada fanpage Persatuan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB). Dan saya menemukan fakta yang lagi-lagi mengejutkan. Telah terjadi polarisasi tajam antara para dokter seputar isu Pilkada Jakarta, Aksi Bela Islam, dan penistaan agama.
Dokter Bhineka Tunggal Ika
PDIB dalam fanpage-nya tengah membincangkan munculnya kelompok baru yang bernama Dokter Bhineka Tunggal Ika (DBTI) yang dideklarasikan sekitar awal Mei. Dr. FX. Wikan Indrarto, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, di fanpage PDIB menulis alasan berdirinya DBTI :
“Ada lho dokter yang menginginkan pendirian Khilafah, mengganti Pancasila menurut Piagam Jakarta, yang suka mengkafirkan orang lain, termasuk yang terakhir menganggap peristiwa jatuhnya korban meninggal maupun luka2 di halte Kampung Melayu adalah akibat bom rekayasa. Hal ini menimbulkan keprihatinan yang sangat mendalam bagi kami Dokter Bhinneka Tunggal Ika.”
Sebagian dokter yang mendeklarasi DBTI diketahui mengikuti sejumlah aksi solidaritas untuk Ahok, termasuk di Tugu Proklamasi. Nampaknya pembentukan aksi DBTI adalah konter dari postingan sejumlah dokter yang selama ini berada di kubu yang berseberangan, yakni dokter yang bersimpati pada Aksi Bela Islam dan anti Ahok.
Ambil contoh sejumlah postingan para dokter, termasuk di Facebook Sekretaris Jenderal PDIB, dokter Patrianef, dan juga dokter Yogi Prawira. Dokter yang terakhir ini secara aktif mengecam apa yang dia disebut sebagai pembunuhan karakter dokter Dalimunthe yang disebut di media sosial sebagai “dokter rasis.”
Dokter Yogi yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan tidak salah dokter mengungkapkan pendapat keagamaannya soal penistaan agama. Tapi dia memastikan pandangan keagamaan tidak mempengaruhi kinerja para dokter dalam menangani para pasien tanpa memandang agama, ras dan suku.
Sementara dokter Patrianef juga memposting banyak artikel anti Ahok, Aksi Bela Islam dan mengecam aksi seorang wanita yang menyalakan lilin di Padang.
Isu Bubarnya IDI
Keberadaan DBTI ditentang keras oleh PDIB dengan alasan tidak sesuai dengan visi dan misi organisasi tersebut. Ketuanya, Dr. James Allan Rarung, meminta anggotanya untuk memilih ikut PDIB aau DBTI. Yang tidak menyatakan dukungannya akan dihapus dari keanggotaan fanpage PDIB. Sekitar 800 dokter menyatakan dukungannya. Tidak cukup dengan “ikrar kesetiaan” yang diminta melalui media sosial, PDIB nampaknya juga mendesak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mengeluarkan sikap.
Hasilnya keluar surat edaran IDI No. 0077 62/PB/A.3/05/2017 tanggal 24 Mei 2017 yang pada intinya PB IDI tidak terlibat dan tidak mendukung segala bentuk perserikatan yang mengatasnamakan dokter, kecuali yang diakui IDI melalui muktamar. Surat edaran itu meminta para dokter menjaga kesejawatan dalam menggunakan media sosial menghindari ucapan kebencian yang dapat memicu permusuhan dan perpecahan internal profesi.
PB IDI diketahui juga telah mengadakan pendekatan kepada DBTI yang keputusannya, antara lain, tidak melarang keinginan setiap dokter sebagai warga negara untuk berserikat. Tapi sebaiknya forum-forum berdiskusi dilakukan di IDI, tanpa perlu mendeklarasikan adanya kelompok baru dokter.
Dua keputusan itu ditanggapi DBTI. Dokter FX Wikan Indrarto di fanpage PDIB mengatakan sikap PB IDI terkesan berlebihan dan tidak adil. Tulisnya:
“… sepanjang pengetahuan kami, adalah sebuah reaksi moral para dokter,yang mengkawatirkan dampak buruk polarisasi dalam masyarakat, yang berpotensi terjadinya perpecahan bangsa.
Oleh sebab itu, kami pribadi mengusulkan: PB IDI juga menyoroti dan menegur secara seimbang, seandainya ada dokter yang terlebih dahulu terlibat langsung maupun tidak langsung, dalam menciptakan polarisasi dalam masyarakat, meskipun dengan alasan ‘bela agama’.”
Oleh PDIB, tanggapan ini nampaknya tidak mengenakkan. Ketuanya dokter James Allan Rarung mengatakan PDIB akan mengawal kesepahaman ini agar DBTI tunduk dan patuh atas keputusan IDI. Dia menambahkan PDIB konsisten mengakui IDI sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter di Indonesia.
Pernyataan “PDIB mengakui IDI“ ditulis berulang-ulang oleh dokter James. Nampaknya ketua umum PDIB ini lebih mengkawatirkan kemunculan DBTI bisa berdampak buruk pada kasus PB IDI yang sedang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi ketimbang polarisasi pandangan para dokter terkait isu keagamaan.
Sebagaimana diketahui, PB IDI digugat oleh anggotanya sendiri sebagai bukan satu-satunya organisasi profesi dokter dan dokter gigi. Jika MK menyetujui gugatan ini, maka IDI tidak lagi berwenang mengeluarkan surat izin praktek dan sebagainya.
Nampak jelas disini, berbagai macam kepentingan berbaur baik di tingkat personal maupun organisatoris para dokter. DBTI sendiri nampaknya akan terus jalan dan bakal mendeklarasikan keberadaannya pada 1 Juni 2017 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta.
Jadi, jangan heran jika ke depan kita menyaksikan para dokter saling berargumen ihwal kebhinekaan, Hizbut Tahrir Indonesia, PKI, Rizieq Shibab, asuransi ribawi bahkan Jokowi yang selama ini menjadi porsi orang-orang bodoh seperti saya.
Baca juga