Malam ini ada yang aneh. Entah kenapa, dedaunan di pekarangan rumah berguguran tanpa jelas pasal sebabnya. Seolah ingin ditemaninya Ibu Patmi menghadap Sang Khalik. Sepertinya, dia tak rela air mata Gunarti berlinang sendiri. Perempuan, yang terpasung oleh kepentingan laba, tak sanggup menahan isak tangisnya. Air matanya seolah menjerit kala membayangkan mata air di desa akan diperkosa oleh segerombol begundal korporasi modal.
Jujur, respons Bapak Presiden memang mengecewakan. Citranya sebagai Presiden “wong cilik” sekejap sirna. “Ya, itu kalau mengenai izin harus tanyanya sama Gubernur. Selama ini sudah komunikasi sama Gubernur atau belum?” Jawaban sederhana nan birokratis. Para petani Kendeng tampaknya tak cukup terpasung. Mereka pun harus rela dijadikan bola pimpong. Ah, keadilan naga-naganya tak akan pernah bisa tegak tanpa kekuasaan.
Walau mengecewakan, respons beliau sebenarnya tidak mengejutkan. Gelagatnya sudah tercium kala “Sang Ibu Besar” harus “berhalangan” menerima para petani yang hendak mengadu pada bunda. Pada era kebangkitan perempuan, rupanya bukan hanya bapak yang ingin senang; ibu juga.
Ada masalah besar sedang bersembunyi cekikikan di balik fenomena ini. Runtuhnya otoritas negara sebagai pelindung segenap bangsa Indonesia. Supremasi hukum dikangkangi. Kedaulatan rakyat dicabuli. Bagian yang paling menyakitkan, justru sang mandataris rakyatlah si pengkhianat keadilan sosial. Intinya, semua sikap dan perilaku negara sedang menyimpul pada satu kata: gagal. Tulisan ini ingin membuktikan itu.
Masalah Otonomi Daerah
Otonomi daerah, pada dasarnya, kandas membuktikan diri sebagai solusi pemerataan pembangunan. Rencana itu nyatanya tidak semanis seperti yang dicita-citakan. Alih-alih melancarkan arus kemajuan, program ini malah meringkas birokrasi penghisapan. Profitisasi oligarki semakin garang menunjukkan batang hidungnya. Kalau pada masa Orde Baru, korupsi terpusat di Jakarta, sekarang terdesentralisasi ke daerah-daerah.
Kapitalisme mensyaratkan penguasaan atas ruang. Sebab, di dalamnya ada sumber daya alam sebagai bahan utama mengeruk laba. Sifat abadi yang tak pernah puas untuk menghisap mewajibkannya menjadi rakus. Untuk memuaskan watak kemaruknya, dia dibantu oleh akses perizinan kilat otonomi daerah. Tidak seperti dulu, para pemodal tak perlu lagi mencari restu Jakarta untuk menggagahi alam. Dia hanya perlu anggukan kepala daerah, maka memperkosa perut bumi jadi sah dan halal.
Dalam situasi ini, perzinahan antara pemangku kebijakan pembangunan dan perserikatan konglomerat sukar terelakkan. Peran-peran mereka bagaikan pinang dibelah dua. Kekuasaan menjadi sebuah tesis penting antara pemilik modal dan politikus. Orientasi yang sama berupa akumulasi keuntungan ekonomi jadi mas kawin pesta perselingkuhan mereka. Namanya juga selingkuh, desah lenguh persenggamaan harus ditahan diam-diam agar tak sampai ke luar. Dalam situasi inilah drama segitiga antara petani Kendeng, Ganjar, dan Jokowi bisa dimengerti.
Masih Percaya pada Teori Pembangunan?
Ada kejadian menarik ketika aksi memasung kaki di depan Istana berlangsung (20/3/2017). Kira-kira pukul 15.00 WIB, massa pro-semen tiba-tiba hadir berhadap-hadapan dengan para pejuang Kendeng. Situasi, ketika itu, sempat sedikit tegang. Polisi, sebagai petugas keamanan, langsung membentuk barikade untuk memisah dua kelompok aksi. Itu mungkin dilakukan sebagai tindakan preventif menghindari bentrokan. Kedua kubu sama-sama mengangkat panji merah-putih. Sontak, anak bangsa terbelah menjadi dua.
Politik devide et impera diaktifkan. Semua kita tahu, cara licik “belah dan kuasai” adalah taktik usang kolonialisme. Skenario ditulis sebagai agenda melestarikan dominasi. Caranya adalah mengeksploitasi perbedaan. Represi terhadap pemikiran tertentu sengaja ditumbuhkan untuk mempertentangkan nilai. Sifatnya ingin melemahkan semua lini perjuangan. Sementara, para drakula, dalang di balik semua, duduk tenang di ruang sejuk dengan secangkir teh atau kopi hangat.
Strategi pecah belah kontras terlihat dalam film dokumenter Sikep Samin Semen (3S); film tandingan Samin vs. Semen garapan WatchDoc. Agama, sebagai sentimen manusia terdalam, lagi-lagi dijadikan katalisator perpecahan.
Sudah itu, rendahnya tingkat kesadaran ekonomi-politik pun tak luput dari sasaran. Kesaksian Mbah Lasiyo, dalam film 3S, bisa dijadikan contoh. Beliau mengatakan, “Pabrik itu kalau menghidupi banyak orang itu yang silakan saja.” (subtitle menit 25.49). Beliau tampaknya tidak mampu melihat korporasi besar di balik pabrik semen. Dia luput mengamati potensi mengerikan dari komplotan itu. Bukan kehidupan yang mereka tawarkan, tapi kematian. Dia tidak tahu kalau kenikmatan pabrik itu hanya diperuntukkan bagi segelintir orang. Selebihnya, hanya makan remah-remah. Itu pun kalau ada tersisa.
Sesungguhnya, argumentasi massa pro-semen sangat menggelikan. Pabrik harus berdiri, kata mereka, agar bisa mengentaskan kemiskinan. Jika beton dan mesin sudah gagah tertanam, mereka yakin kesejahteraan masyarakat meningkat. Mereka akan hidup bahagia, aman, dan sentosa seperti kisah dalam komik. Saya ternganga melihat kenyataan ini. Ternyata masih ada orang yang menaruh iman pengharapannya pada teori pembangunan (developmentalisme). Apakah artefak peninggalan sejarah Orde Baru belum cukup jadi bukti kegagalannya?
Teori pembangunan mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Sisi pendapatan jadi variabel utama untuk mengukur tingkat perubahannya. Capaian kemajuan diukur dari titik ini. Teori ini, akhirnya, hanya akan mengarahkan pada satu alternatif dalam pencapaian target. Solusi itu terwujud melalui proses industrialisasi. Semakin kencang roda mesin pabrik berputar, itu diklaim identik dengan kemajuan masyarakat. Alhasil, segala upaya dan kebijakan dilaksanakan hanya demi kemajuan sektor ini. Sukses tidaknya pemerintahan ditentukan oleh jumlah menara corong pembuang limbah asap ke udara.
Ada beberapa patologi mendasar dari proses industrialisasi masif ini (Benny Denar, 2015). Pertama, terjadi kerusakan ekologis yang merusak keutuhan ciptaan. Karakter utama kapitalisme adalah mengejar laba sebesar-besarnya. Itu memaksanya berproduksi sampai tingkat maksimal. Eksploitasi sebagai alat hisap utama. Alhasil, perut bumi akan dibor sampai menembus “langit terbawah”. Dia akan menggilas apa pun yang dilewatinya. Material berguna dipakai. Sementara yang tidak, jadi ampas.
Kedua, pelemahan dan bahkan penghilangan budaya dan kearifan lokal. Sekali waktu, saya pernah bercakap dengan para pejuang Kendeng di LBH Jakarta (18/3/2017). Salah seorang pejuang petani Kendeng menegaskan itu. Di desanya, banyak orang sudah mulai meninggalkan budaya gotong royong. Segala sesuatu sudah dihitung berdasarkan uang. Artinya, ada identitas yang tergerus. Industrialisasi berhasil mengganti watak masyarakat kolektif menjadi berorientasi laba.
Ketiga, terjadi pemiskinan jati diri. Manusia dilihat hanya sebagai alat produksi untuk menghindari rugi. Kolonialisasi dimensi ekonomi justru melanggengkan dehumanisasi berlipat-lipat. Alhasil, manusia tak lagi bebas dalam mendefinisikan sendiri tentang arti sejahtera, bahagia, dan cukup. Dimensi moral-spiritual terpaksa digadaikan. Subjek akhirnya mengalami kematian.
Negara adalah Penjamin Kemerdekaan: Sebuah Ilusi
Jika melihat sikap Ganjar dan Jokowi, ada indikasi kuat kalau mereka adalah pengikut setia teori pembangunan. Kerangka yang pernah dikritik oleh Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998. Sen sama sekali tidak percaya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah kunci utama pembangunan. Ekonom India ini berusaha memaknai kemajuan dari sisi lain. Pertumbuhan harus dilihat utuh untuk membangun manusia bebas. Karenanya, proses dan kesempatan harus terbuka dengan leluasa (Development as Freedom, 2000).
Jujur, saya bukan ahli untuk mendefinisikan negara. Segala terminologi politiknya jelas akan berhasil memaksa saya mengonsumsi obat sakit kepala. Satu-satunya sumber pemahaman saya terhadap negara hanyalah Pembukaan UUD 45.
Pada alinea pertama, tersirat syarat utama berdirinya sebuah negara adalah kemerdekaan. Penghuni negara adalah makhluk bebas dari segala bentuk penjajahan. Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Negara berperan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Dia harus menjaga seluruh tumpah darahnya. Pemerintah, sebagai aparatus, harus menjamin kesejahteraan umum. Kehidupan berbangsa harus dicerdaskan. Sampai puncaknya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tergapai.
Tapi, kenyataan apa yang kita lihat? Di Pegunungan Kendeng, negara malah hilang. Dia membiarkan rakyatnya dijajah oleh korporasi modal. Dia acuh-tak-acuh ketika perikemanusiaan dan keadilan diinjak-injak. Benteng perlindungan kepada anak bangsa bolong di mana-mana. Nyawa Ibu Patmi melayang karena dibiarkannya. Negara memonopoli definisi kesejahteraan. Rendahnya mutu kecerdasan dipeliharanya agar ditunggangi sebagai alat memecah belah. Ujungnya, keadilan sosial hanya fatamorgana.
Kenapa negara mengizinkan tanah air diganti jadi tanah semen? Apa sebabnya mata air harus berubah jadi air mata? Apakah betul untuk pertumbuhan ekonomi atau keuntungan oligarki?
Negara ada dengan asumsi untuk mengurus kepentingan bersama. Tapi, di Kendeng, kenyataan malah sebaliknya. Negara justru semakin meradikalkan semangat untuk mendominasi satu sama lain. Fakta ini sedang mementaskan bahwa pedang negara sebagai pelindung rakyat adalah ilusi semata.
Persoalan Kendeng adalah persoalan ekosistem. Karena dia bersifat sistem, artinya apa yang terjadi di sana akan mempengaruhi di sini. Alam akan selalu mencari titik seimbang. Jika di sana rusak, maka di sini pun akan terkena dampaknya. Maka, perjuangan petani yang memasung diri bukanlah persoalan mereka sendiri. Itu adalah persoalan kita; umat manusia.
Negara seharusnya berperan sebagai ibu. Dia adalah tempat mengadu ketika hak asasi anaknya dicuri. Semestinya dia memancarkan kehangatan perlindungan dan kasih sayang. Ibu yang baik harus menjaga buah hatinya, apa pun risikonya. “Negara harus begitu. Kalau tidak, bubarkan saja atau ku adukan pada Sang Sepi,” kata Iwan Fals.