Aksi protes yang dilakukan oleh puluhan petani Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, adalah jeritan ketidakadilan yang selama ini menggumpal di negeri ini. Mereka kembali mengecor kakinya menggunakan semen di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (16/3).
Dalam aksi di hari ke empat, petani yang terlibat bertambah banyak, yang awalnya 20 menjadi 41 orang. Mereka menjerit karena diperlakukan “budak” oleh pemilik modal yang menggurita dengan kepentingan lainnya. Mereka terus menggugat izin lingkungan baru bagi PT Semen Indonesia.
Dalam kasus Kendeng ini, 3 poros kekuasaan yang perlu dicermati adalah komunitas, pasar, dan negara (Banawiratma, 2003 : 5-10). Kita bisa melihat ketika kepentingan pasar berkelindan dengan negara, yang notabene adalah pemangku kebijakan di negeri ini, yang terjadi adalah eksploitatif dan kesewenang-wenangan. Meskipun mereka menegaskan bahwa apa yang dikerjakan adalah pembangunan ekonomi (infrastruktur industri), eksesnya adalah penyakit lapar tanah/land hunger. Sekali lagi korbannya adalah wong cilik, yaitu petani dan buruh tani.
Dalam pandangan Yudeo Kristiani, tanah tidak hanya bermakna ekonomis, tetapi juga spiritual. Selain mencerabut jati diri dan kearifan lokal kehidupan Kendeng, industri semen juga mencabut keluhuran spiritual masyarakat di lereng gunung yang harmoni dengan alam.
Merujuk kajian-kajian di bidang agraria dan ekologi, kolonialisme mengubah status tanah dari tanah milik komunal (adat) menjadi milik pribadi. Tanah menjadi perebutan politik dan ekonomi para bangsawan/raja. Sehingga piramida kekuasaan menjadi jelas bahwa pemilik uang menjadi kasta paling tinggi. Tuan tanah kecil bersaing merebutkan tanah. Akhirnya, tanah dijadikan komoditas pembangunan. Kehidupan dan kesejahteraan menjadi timpang.
Manfaat lebih banyak disedot di pusat daripada menetes kepada penduduk setempat sendiri. Dalam hal ini, petani dan buruh tani Kendeng menjadi korban atas pengerukan keuntungan alam atas nama pembangunan industri.
Ekoteologi dan Panggilan Keadilan
Bagi kami, orang Kristiani, diam atau bungkamnya pengikut Yesus terhadap eksploitasi dan dominasi alam adalah dosa. Merampas secara paksa sumber daya alam adalah merampas alam yang notabene adalah milik Tuhan.
Iman tidak mati dalam doktrin dan kitab suci, tetapi ia hidup di tengah jeritan korban yang dirampas oleh aparat dan korporasi yang sewenang-wenang. Thomas Berry mengatakan, “We should be clear about what happens when destroy the living forms of this planet. First consequence is that we destroy modes of divine presence.” (Thomas Berry, 2002: 25)
Jurgen Moltmann, teolog abad ke 18-19, pernah mengatakan, “Nature is not our property, neither are we only the part of nature.” Ungkapan keras bahwa alam bukan properti yang bisa diperlakukan dengan semestinya. Superioritas manusia atas alam menghancurkan ekosistem. Prinsipnya adalah “non-human world out there”.
Pijakan dan kacamata antroposentris yang menguat menjadikan manusia seperti predator buas. Bahkan pijakan teks Alkitab pun menjadi pembenaran untuk “berkuasa” atas alam ini. Tafsir yang keliru dari tahun ke tahun Kejadian 1:26, lebih kepada “Subduer rather than cake taker”.
Bahkan Kwok Pui Lan dalam artikelnya, Ecology and Christology, melihat bahwa kajian Kristologi yang antropologis tidak cocok dengan budaya Asia, khususnya Indonesia. Bagi dia, penekanan di Asia adalah kosmologi. Manusia menyatu dengan alam (Kwok Pui Lan, 2004: 15)
Jalan yang ditempuh adalah konsep panentheisme, yaitu Allah ada di dalam segala alam semesta ini. Allah tinggal bersama dengan kosmos, tetapi transendensinya tidak hilang. Cara pandang ini membentuk ciptaan adalah bagian dan hidup bersama dengan Allah (Alive with God).
Salli Mc Fague berpendapat bahwa dunia sebagai tubuh Allah, jadi ketika Yesus menjadi manusia/menjadi daging. Itu juga tubuh dari alam semesta (Body of the universe).
Hidup Bersama Komunitas Ciptaan
Dengan melihat kasus perebutan dan pertarungan sumber daya alam ini, kehidupan manusia harus beralih dari individualisme menuju “person in mutual relationship”. Manusia yang berkelindang dengan semua ciptaan, termasuk alam.
Hanya dengan berpartisipasi di dalam komunitas ciptaan, manusia menjadi entitas yang bermartabat. Perjuanganya adalah membela keutuhan ciptaan. Karena basis semua etika adalah perhormatan terhadap hidup (the reverence for life).
Komunitas ciptaan adalah komunitas biotik yang diserukan oleh Aldo Leopold dalam A Sand Country Almanac, yaitu komunitas keluarga yang berjejaring saling mengedepankan “interdependensi”.
Hanya dengan membangun persaudaraan dengan komunitas bumi, maka panggilan kita adalah menolak diskriminasi dan hirarki absolut atas alam. Seperti Kwok Pui Lan ungkapkan bahwa menyatu dengan realitas alam, yang tidak ada “the inner” dan “the outer”
Manusia menjadi utuh, satu kesatuan dengan alam, karena diciptakan dari debu tanah. Dalam bahasa Ibrani adalah adamah, tetapi di pihak lain, manusia juga lahir dari rahim ibu. Oleh sebab itu, perempuan-perempuan Kendeng disebut sebagai ibu bumi.
Saya masih ingat ujaran guru waktu kecil, yang mengatakan bahwa Fransiskus dari Asisi adalah seorang rahib, teolog dan pemuka agama yang terkenal. Ujarannya, “Biaranya adalah seluruh dunia ini, tempat setiap ciptaan Allah ada dan tinggal.”
Tugas kita adalah melawan budaya kematian dan membangun budaya kehidupan. Kalau dulu didengungkan gereja adalah extra ecclesiam nulla sallus (di luar gereja tidak ada keselamatan), sekarang gagasannya berubah, yaitu extra solidaritatem victimarum nulla sallus (di luar kesetiakawanan terhadap korban, tidak ada keselamatan)
Gerakan civil society, termasuk gereja, harus kritis terhadap 3 poros kekuasaan (komunitas – pasar – negara). Hanya dengan transformasi spiritual, kita menyadari sepenuhnya kerusakan alam adalah tanggung jawab kita bersama. Seruan pertobatan ekologis harus didengungkan setiap saat, di mana pun berada bahwa perbuatan dosa adalah karena melawan lingkungan hidup.
Gagasan teologis kita harus berubah dari soteriologi antroposentris menjadi soteriologi kosmik universal. Karena Kristus menjadi jalan rekonsiliasi kosmik (Lihat Kol 1:20, Ef 1:10 dan Why 21:1). Dengan demikian, kita menjadi manusia yang bertindak dan bekerja untuk ekologis. Merawat dan menjaga bumi, seperti petani-petani Kendeng.
Semoga petani petani Kendeng diberi kekuatan dan ketabahan untuk berjuang membela keutuhan ciptaan. Karena Yesus juga hadir di tengah jeritan mereka (Lihat Luk 7:22). “…. Aku (Allah) mengetahui penderitaan mereka” (Kel. 3:7), seperti orang Israel yang ditindas oleh Firaun di Mesir. Mereka menjerit kepada Tuhan atas dominasi yang eksploitatif dan Tuhan mendengar mereka.
Voc victimarum voc Dei, jeritan para korban (petani/buruh tani/wong cilik) menggemakan panggilan Allah.