Tawa perempuan itu mengembang memperlihatkan gigi putih bak keramik. Bulu matanya yang panjang dan lentik tak tampak layu. Beberapa kali tangannya melambai ke arah kamera-kamera yang membuntuti.
Agak mustahil menangkap ekspresi resah perempuan berkemeja oranye itu ketika digiring beberapa petugas kepolisian di Ditres Narkoba Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (2/1/2018). Sebetulnya, mungkin harusnya Jennifer Dunn—nama perempuan itu—cemas karena itu adalah kali ketiga ia diamankan pihak kepolisian karena penyalahgunaan narkoba.
Alasan cemas pertama, karena kemungkinan besar ia akan kembali mendekam di hotel prodeo dan harus menjalani rehabilitasi. Kedua, tak menutup kemungkinan namanya akan (kembali) menjadi bahan gunjingan dan cacian akibat barang terlarang itu—setelah sebelumnya sempat tertangkap masing-masing tahun 2005 dan 2009.
Tentu bukan hanya Jejedunn—nama beken selebritis itu—yang pernah mampir di daftar selebritis pengguna narkoba. Belum lama berselang, aktor kawakan Tio Pakusadewo juga ditangkap akibat alasan yang sama pada 19 Desember 2017. Ia ditangkap setelah sebelumnya sempat mengaku telah berhenti dari ketergantungan terhadap narkoba selama 10 tahun.
Mungkin, pola keberulangan penggunaan narkoba Jejedunn dan Tio Pakusadewo itu terdapat pula pada catatan 1 sampai 5 juta pengguna narkoba lain—sudah tertangkap maupun belum. Seolah tahan banting, nikmatnya fly sanggup mengembalikan mereka ke jerat narkoba.
Siapa pun yang menggunakan narkoba tentu akan merasakan sakit. Di internet dapat dengan mudah ditemukan bahwa penggunaan narkoba kemungkinan besar dibarengi dengan rasa sakit. Ditambah lagi kalau tertangkap. Tentu akan panas di hati. Padahal mungkin sedang enak-enaknya dan stok sedang banyak-banyaknya. Setelahnya, badan terpenjara pula. Belum lagi tuntutan rehabilitasi yang identik dengan sakitnya sakau.
Tapi apalah makna sakit itu serta sakit-sakit kecil—akibat luka suntikan, lecet di hidung, dan lain sebagainya—jika dibandingkan dengan betapa nikmat ketika hormon dopamin dan serotonin yang dilepas otak melonjak tajam. Segala susah dan sakit hilang. Manusia bisa merasa sangat tenang, semangat berkarya, ke mana pun mata tertuju, segalanya terang.
Para pecandu narkoba itu mirip dengan para pejuang. Candu terhadap narkoba adalah penghindaran diri dari rasa sakit dan beban kehidupan. Mereka memilih untuk digelitiki kenikmatan daripada menghadapi sakit.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sakit adalah perasaan tidak nyaman di tubuh atau bagian tubuh karena menderita sesuatu. Makna itu tentu dialami oleh semua manusia, terutama terkait ketidaksempurnaan dunia ini mempersembahkan diri di hadapan manusia. Meski semua manusia merasakan, namun dampak yang dihasilkan tentu berbeda-beda. Beda pecandu yang mengejar halusinasi dan kegembiraan sesaat, beda pula Nietzsche. Sebagai seorang filsuf—melalui relasi dengan sakit—ia justru menghasilkan pemikiran filosofis yang abadi.
Filsuf antikemapanan itu dalam beberapa paragraf pembuka di The Gay Science menyatakan bahwa penerimaan dan pengolahan atas rasa sakit akan menghasilkan kegembiraan tertentu, atau harapan baru (konsolasi). Ketika biasanya manusia memilih menghindari rasa sakit, ternyata menurut Nietzsche, sakit justru dapat menjadi peluang untuk menemukan poin-poin anyar dalam kehidupan.
Para pecandu biasa menggunakan narkoba untuk menghindari sakit. Beban hidup berat dan segala ketidaksempurnaan. Itu semua memang kesakitan yang tak bisa dianggap remeh. Manusia bisa kehilangan harapan dan berpikir untuk mati saja. Sebab, karena beban berat itulah, para pecandu narkoba dengan sangat rela menukarnya dengan efek samping penggunaan narkoba.
Siapa pun bisa lihat dengan mudah di mesin pencari apa saja efek dari kecanduan narkoba terhadap tubuh. Mencandu narkoba akan memupus nafsu makan—yang berarti menyebabkan lapar dan menjahati lambung; mengganggu pola tidur—badan jadi lelah; senantiasa merasa mual. Itu dalam jangka waktu pendek. Dalam jangka waktu panjang, ada kesakitan lebih merusak lagi yang bisa diterima. Tapi, ya, asal kesusahan hilang, tak apalah “sedikit” efek samping narkoba ditanggung.
Namun meski berat, sesungguhnya rasa sakit yang membebani hidup ini adalah sang hasard (chance, kesempatan). Ia adalah apa yang datang begitu saja; yang seharusnya tidak dihadapi dengan hasrat mencari sebab datangnya. Kecenderungan manusia adalah untuk mencari penyebabnya, kambing hitam yang pantas untuk dipersalahkan atas sakit—sekaligus jadi obat.
Maka, mengenal rasa sakit itu sendiri sesungguhnya adalah penting. Dalam menghadapinya, dibutuhkan kewaspadaan—sering disebut sebagai aktivitas meng-iya-kan sekaligus menidak. Sakit tidak pantas didewakan tapi pun tak boleh disumpahserapahi. Poin ini merupakan khas perspektif Nietzschean dalam mengambil posisi ketika memandang realitas.
Jika manusia menyelami pengalaman sakit dengan rasa ingin tahu yang memenuhi diri, keberadaan pengetahuan akan lebih dimungkinkan. Manusia bisa mengambil jarak untuk lebih ingin tahu. Ketika dunia terasa tak adil dan orang-orang terkesan memusuhi, benarkah perasaan sakit disebabkan oleh kehidupan? Lalu, akankah narkoba akan memperbaiki situasi dan mengobati sakit dalam diri? Alih-alih menyalahkan dunia melulu, manusia bisa lebih dalam mengenal dirinya. Jangan-jangan, sakit dan segala beban yang bergelayut di pundak justru berasal dari diri sendiri.
Pergulatan dengan sakit memungkinkan manusia membuka diri dengan pengalaman berpikir yang ambigu dan kontradiktif. Semakin sering menghadapi sakit dengan perspektif itu, semakin banyak pula manusia mencicipi asam garam kehidupan.
Kalau ada kini, Nietzsche sekarang mungkin tidak akan sepenuhnya menyalahkan Jejedunn yang akrab sekali dengan narkoba yang dianggap membebaskannya itu. Narkoba hanyalah sebuah metafisika; sebuah kebutuhan mendasar dalam diri manusia untuk mencari sebab dan obat.
Barangkali benar pengakuan Jejedunn bahwa di kali ketiga ini ia menyesal,
“Maaf, semuanya. Aku menyesal,” ujarnya di Mapolda Metro Jaya.
Berkat hari-hari kemarin lari berkali ke pelukan narkoba, bolehlah ia diberi maaf—dengan hukuman dan rehabilitasi pula, tentu. Namun esok hari, tak ada salahnya para pecandu mencoba mulai bergulat dengan sakitnya masing-masing—paling tidak untuk mempersempit ruang penyesalan.
Baca juga:
Guru Spiritual dan Candu Popularitas