Sabtu, April 20, 2024

Jangan Ganggu Banci

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.

Saya marah dan terkejut atas razia yang dilakukan oleh Pemerintah Lhoksukon dan Pantonlabu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, terhadap waria dan anak punk dengan nama operasi Razia Penyakit Masyarakat alias Pekat. Razia ini menangkap 12 waria dan juga pengunjung salon.

Kapolres Aceh Utara AKBP Ahmad Untung Surianata mengatakan, “Ini (waria) ancaman yang lebih jahat dari teroris, jadi mohon maaf apabila yang berhubungan dengan banci saya sikat.” (baca: kumparan.com/12-waria-terjaring-razia-operasi-penyakit-masyarakat-di-aceh) Kapolres Aceh Utara melakukan razia dengan dalih terus bertambahnya populasi waria di Aceh Utara.

Sial betul nasib masyarakat Aceh Utara yang punya Kapolres yang seharusnya melindungi hak-hak warga tetapi justru mengancam dan melanggar undang-undang melalui razia dan penangkapan tersebut.

Ada tiga hal yang telah dilanggar oleh Kapolres dalam melakukan razia tersebut. Pertama, pelanggaran hak berekspresi warga negara yang sesuai hati nurani, mempermalukan, dan mencederai kehormatan waria sebagai warga negara dengan pemotongan rambutnya di depan umum dengan alasan ketertiban dan merampas hak untuk melakukan tindakan ekonomi yang tidak melanggar hukum.

Oleh karena itu, yang telah dilakukan pemerintah Aceh Utara sangat fatal dan mengancam tidak hanya minoritas seksual, tetapi juga potensi penggerebekan dengan alasan agama bagi seluruh warga.

Mempertanyakan Hukum Negara Indonesia

Sebagai negara hukum, Indonesia selalu didengungkan dan dielu-elukan oleh elite-elite dan kelompok berpunya, tetapi kelompok miskin dan masyarakat tanpa kekuasaan sulit mengakui bahwa hukum di Indonesia melindungi seluruh warganya. Dengan peristiwa razia yang disertai pemotongan rambut di depan umum secara paksa, Kapolres Aceh Utara bertanggungjawab telah melanggar hak-hak dasar warganya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke- II, Pasal 28 E ayat (2), yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

Selanjutnya dalam ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Waria adalah warga negara yang mempunyai hak untuk berekspresi, menyatakan pikiran dan sikap yang sesuai dengan hati nuraninya, yakni sebagai perempuan. Dengan berpenampilan dan berprilaku feminin, mereka tidak merugikan siapa pun dan tidak juga melakukan tindakan kriminal dan kekerasan.

Oleh karena itu, waria memiliki hak untuk berekspresi sesuai dengan panggilan hati nuraninya, berkumpul, dan bahkan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk bertahan hidup. Lantas, mengapa pemerintah Aceh Utara melakukan tindakan yang jelas-jelas mencederai hak warga negaranya? Dengan dalih keagamaan dan penyakit masyarakat, tindakan homofobik semacam ini telah melanggar hak dasar waria sebagai manusia dan warga negara untuk berekspresi.

Kedua, selain menjamin kemerdekaan berekspresi, ternyata negara juga menjamin dan memberikan perlindungan terhadap hak individu atas kehormatan atau reputasi (right to honour or reputation) setiap warga negaranya. Kriminalisasi terhadap setiap serangan atau perbuatan yang merampas atau merusak integritas setiap orang, mulai dari perbuatan pencemaran nama baik (defamation), penghinaan (insult), hingga kepada fitnah dan menista (libel).

Perbuatan-perbuatan ini dalam hukum pidana dinyatakan sebagai tindak pidana yang antara lain diatur dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, dan Pasal 316 dan 207 KUHP. Tindakan pemotongan rambut secara paksa di depan umum dengan alasan “kerapihan” bukan kewenangan pemerintah Aceh maupun polisi. Tindakan tersebut telah merampas dan melukai kehormatan/penghinaan terhadap identitas waria.

Menjadi waria adalah pilihan mereka karena identitas gender yang kaku berdasarkan jenis kelamin tidak membuat mereka bahagia dan menerima dirinya. Polisi seharusnya memberikan jaminan keamanan atas ekspresi dan identitas pilihan warga, dan bukan justru mempermalukan mereka atas pilihan identitas yang mereka pilih sendiri dan mereka bertanggungjawab untuk itu.

Ketiga, pemenuhan ekonomi melalui bekerja dan berwirausaha dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Penggerebekan yang dilakukan di salon-salon milik mereka adalah sebuah tindakan yang kejam dan tidak berbasis hukum. Salon tersebut adalah tempat mereka mencari rezeki dan pemenuhan kebutuhan penghidupan yang legal dan layak.

Apa yang dilakukan para waria dengan membangun usaha salonnya dengan modal dan kemampuan sendiri guna pemenuhan hidup tidak merugikan siapa pun dan justru membantu warga sekitar. Salon adalah sarana mereka untuk berdaya secara ekonomi dan pemerintah tidak berhak merampasnya. Pemerintah sendiri saja sulit menyediakan lapangan pekerjaan bagi angkatan kerja pada umumnya dengan pekerjaan dan gaji yang layak, tapi mengapa harus merampas usaha yang dilakukan oleh warga negara atas keringatnya sendiri?

Apalagi pekerjaan adalah hal yang menjadi hambatan bagi mereka. Waria mengalami diskriminasi atas pilihan identitas gendernya yang minoritas. Seumur hidup saja sulit menemukan akuntan, guru, hakim ataupun dokter yang waria. Mereka tidak memiliki kesempatan bekerja yang sama dibandingkan orang pada umumnya. Karena kesempatan pekerjaan yang terbatas tersebut, sedikit sekali pilihan pekerjaan yang menerima identitas dan penampilan seorang waria.

Selama pemerintah belum mampu menjamin hak-hak hidup layak dan memberikan kesempatan lapangan pekerjaan, sangat kurang ajar apabila pemerintah dengan seenaknya merampas usaha mereka.

Kesimpulan

Jangan ganggu banci sebagai judul tulisan ini adalah juga menjadi pesan. Seringkali kita merendahkan minoritas, apalagi jika mereka tidak berdaya secara ekonomi dan tidak memiliki kekuasaan di masyarakat. Waria menjadi kelompok yang sangat rentan karena mengalami eksklusi sosial berlapis dalam masyarakat. Menjadi waria adalah sebuah panggilan dari hati nurani sejak kecil, dan sejak kecil pula mereka bertarung melawan masyarakat yang kesulitan menerima diri mereka.

Mereka mengalami eksklusi berlapis akibat identitas dan ekspresi gendernya. Untuk pendidikan saja mereka sulit mengaksesnya dan banyak waria muda yang lari dari rumah karena tekanan lingkungan. Sangat sempit akses ekonomi kepada waria, selain di dunia hiburan, pelacuran atau kecantikan. Berbagai institusi dan kelompok masyarakat yang perlu diberikan edukasi atas pengakuan eksitensi dan pemenuhan hak-hak mereka baik hukum, sosial dan ekonomi.

Selama pemenuhan hak-hak mereka sebagai warga negara belum dipenuhi, mengapa negara berhak merampasnya?

Kolom terkait:

Belajar Gender dan Orientasi Seksual dari Pernikahan Aming

Ketika LGBT Dibenci Lebih dari Yahudi [Catatan Gender 2016]

Kisah Aming dan Bunda Dorce yang Tak Terungkap

Tolaklah Zina dan LGBT dengan Cara yang Waras

LGBT Tidak Pernah Memilih

Mengapa LGBT Begitu Dibenci?

Nadya Karima Melati
Nadya Karima Melati
Coordinator and Researcher, Support Group and Resource Center on Sexual Studies, Indonesia. Menyukai belajar feminisme seperti menyukai dirinya sendiri.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.