Pada April 2016, stasiun televisi Aljazeera menayangkan program yang bernama Head To Head dengan menghadirkan narasumber utama Prof. Tariq Ramadan dari Oxford University. Topik diskusi saat itu adalah Has Political Islam Failed? Ada banyak hal penting yang disampaikan dalam diskusi berdurasi hampir satu jam tersebut.
Salah satu yang menarik adalah di penghujung acara, Prof. Tariq Ramadan menyampaikan tiga hal yang semestinya bisa dilakukan oleh umat Muslim sebagai wujud berkontribusi di kehidupan sosial dengan masyarakat Eropa.
Pertama, “help your country to reconcile itself with the values of plularism, equality and to aginst racist” (bantulah negara anda untuk menyelesaikannya dengan nilai-nilai pluralism, kesetaraan dan melawan rasis).
Indonesia merupakan lokus penelitian yang telah dilakukan oleh banyak akademisi lintas keilmuan dari seluruh dunia. Keberagaman suku bangsa dan potensi sumber daya alam yang membentang dalam belasan ribu pulau mendorong perhatian ilmuwan tentang Indonesia cukup besar. Bahkan, tema-tema seputar dinamika sosial dan politik yang terjadi dalam sejarah Indonesia masih menjadi daya tarik.
Salah satu ilmuwan terkemuka yang sangat melekat dengan kajian keindonesiaan adalah Ben Anderson. John Roosa di sini menulis dengan cukup lengkap perihal besarnya ketertarikan Ben Anderson terhadap Indonesia. Salah satu karya monumental Anderson dan menjadi bacaan wajib untuk memahami konsep nasionalisme adalah Imagined Communities. Identitas mungkin saja bisa menjadi kata kunci untuk memahaminya.
Sebagaimana yang juga disampaikan oleh John Roosa, bahwa, “buku Anderson menempatkan diri dengan baik dalam zeitgeist: ia membahas bangsa, bukan kelas, mengusulkan bahwa nasionalisme memiliki ‘akar budaya’ yang mendalam, dan mempresentasikan identitas nasional sebagai terkonstruksi secara historis di masa modern.”
Lebih tegas, Anderson berpendapat bahwa nasionalsime biasanya mendorong perilaku baik dan tanpa pamrih. Sebuah pesan yang sangat mendalam dan sekiranya selaras dengan apa yang disampaikan oleh Tariq Ramadan di atas.
Kedua, sisi spiritual. “giving some meaning to our life. This is the good contribution. Life is not about being economically or socially successful.” (memberikan arti bagi kehidupan kita. Ini adalah kontribusi yang bagus. Hidup bukan tentang sukses secara ekonomi atau sosial). Salah satu hal penting yang harus dipahami di sini adalah harus adanya tanggung jawab yang tertanam dari setiap individu. Khususnya tanggung jawab sosial sebagai individu yang menjadi bagian dari masyarakat.
Partisipasi aktif dan juga pemberdayaan terhadap komunitas dan keterlibatan dalam kegiatan advokasi terhadap kelompok minoritas seharusnya menjadi agenda dalam kehidupan sosial. Tentu saja hal ini harus dibangun secara kolektif melalui wadah pendidikan dan penyadaran tentang pentingnya keadilan untuk semua agar tercipta kesejahteraan sosial, yang juga menjadi agenda utama hak asasi manusia.
Dalam perspektif yang sangat sederhana, terpenuhinya akses di bidang pendidikan, kesehatan, dan kepemilikan rumah adalah aspek yang bisa dijadikan parameter untuk mengukur pencapaian kesejahteraan sosial.
Ketiga, “to bring ethics into the discusion” (membawa etika dalam berdiskusi). Beberapa pekan yang lalu, peristiwa pendudukan kantor LBH Jakarta https://tirto.id/gedung-lbh-jakarta-kembali-jadi-sasaran-pendemo-cwMZ menjadi perbincangan publik. Kejadian ini tentu saja menjadi salah satu catatan penting dalam kalender dinamika isu-isu sosial yang beredar di masyarakat kita.
Demokrasi idealnya dan selalu memberikan ruang untuk berdiskusi sekaligus berdialog untuk menemukan pembuktian perihal masalah yang ingin disampaikan. Ada mekanisme yang harus dilalui tanpa harus mengedepankan dugaan yang jauh dari fakta dan kebenaran.
Sebagai penutup dalam acara debat yang dimaksudkkan di atas, Tariq Ramadan mengutarakan hal yang sangat penting untuk direnungkan bersama, “I am done with any discourse about integration. I’m opening the door for contribution.”
Pengakuan Asli Bangsa Ini
Sementara itu, pada Juli 2012 ada sebuah buku kumpulan puisi yang sangat menarik. Zeffry Alkatiri adalah penulis buku tersebut. Sembilanpuluh enam sajaknya tertulis dengan sangat rapi di sana dengan judul utama, Post Kolonial & Wisata Sejarah dalam Sajak. Ia merekam memori sejarah yang membentang hampir di seluruh dunia. Salah satunya adalah tentang Indonesia.
Dalam puisi yang keduapuluh satu, ia mencoba menyajikan potret tentang Indonesia. Yang mungkin saja masih sangat relevan untuk kita renungkan bersama di hari ini.
Kami bangsa yang kalah
Yang sadar akan kekayaan alam,
Tapi tak mampu mengolah
Kami bangsa yang lemah
Yang sadar akan luas tanah,
Tapi tak mampu menahan penjarah
Kami bangsa yang parah
Yang sadar akan masa depan,
Tapi tak mampu membuat arah
Kami bangsa yang terlalu ramah dan terlalu mengalah
Yang sadar akan dikunyah,
Tapi tak mampu menolak penjajah
Kami bangsa kelas bawah
Yang sadar akan menjadi parah,
Tapi tak mampu untuk berbenah
Kami bangsa yang bukan bangsa,
Hanya sekedar kumpulan orang berbeda
Dengan tanda yang sama,
Yang dulu sampai sekarang hanya ada dalam kotak saja.
Sedangkan pada puisinya yang ketujuhpuluh delapan, ia menyajikan renungan yang mungkin menyentuh dimensi spiritual. Puisi yang diberi judul “Indonesia, 1992-1996” di bawah ini kiranya bisa membuat kita semua berpikir untuk bangkit dan menyerukan bahwa banyak hal di sekitar yang belum tuntas dan menunggu untuk diselesaikan dan dikontrol secara bersama-sama.
Hanya sedikit malaikat rakib dikirim Allah ke sini.
Sebab Dia tahu—hanya buang waktu.
Sementara banyak saudara kembarnya
Lama tak terlihat di surga.
Di depan pintu kamar mereka
Tertulis pesan:
Sedang bertugas di Indonesia!
Sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia dan keberagaman budayanya serta bentangan kekayaan sumber daya alam, Indonesia tentu saja memiliki potensi menjawab tantangan dalam skala nasional. Untuk dapat mewujudkannya dibutuhkan kesadaran dan kemauan kolektif untuk berpartisipasi dalam memecahkan masalah yang ada. Termasuk memulainya dari isu-isu yang ada di daerah.
Sejak beberapa pekan lalu, hari-hari kita dipenuhi dengan peliknya permasalahan nasional, sebut saja kasus korupsi yang kini masih menjadi momok yang sangat menakutkan. Namun, dalam waktu yang bersamaan juga terkadang bisa mengalahkan logika dan akal sehat.
Pada sisi yang lain, geliat isu-isu sosial dan politik lainnya masih terus ramai. Terlebih, menjelang pemilihan kepala daerah pada tahun depan dan elektoral legislatif, presiden yang akan dihelat pada 2019 mendatang. Keduanya sama-sama menyenangkan bagi mereka yang secara langsung terjun secara aktif di dalamnya.