Kamis, Oktober 10, 2024

Di Balik Pesta Kaum Gay

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

Ulah kaum penyuka sesama jenis atau homoseksual belakangan ini boleh dibilang cenderung permisif, terorganisir, dan ekspresif. Seolah tidak kapok dengan kasus penangkapan sejumlah kelompok homoseksual di berbagai kota, pesta-pesta seks di antara sesama kaum homo tetap terjadi, terutama di wilayah kota-kota besar.

Setelah membongkar kasus pesta seks 141 kaum homo di Jakarta di kawasan Kelapa Gading dan menangkap 14 gay di Surabaya beberapa waktu lalu, aparat kepolisian kembali berhasil membongkar praktik usaha pornografi sesama jenis (homo seksual) di pusat spa di kawasan Ruko Plaza Harmoni, Jakarta, pada Sabtu pekan lalu. Kali ini jumlah kaum homo yang tertangkap tangan hanya 51 orang, namun, tetap saja mengagetkan publik. Mereka yang ditangkap tidak hanya penduduk lokal, tetapi ada juga sejumlah warga negara asing: 4 WNA China, 1 Singapura, 1 Thailand, dan 1 Malaysia.

Di Indonesia, walau pemerintah dan sejumlah komunitas telah berusaha membatasi ruang gerak kaum LGBT, di berbagai tempat aksi kelompok gay menggelar pesta seks sepertinya tak juga surut. Akhir tahun lalu, sekitar November 2016 kasus serupa pernah terjadi di Jakarta, tepatnya di kawasan Kalibata City, Jakarta Selatan. Aparat kepolisian waktu itu dilaporkan mengamankan 13 orang yang diduga sedang pesta gay di Apartemen Tower Damar Kalibata City. Ke-13 orang yang ditangkap diketahui merupakan anggota sebuah komunitas gay yang terorganisir.

Berbeda dengan kondisi di masa lalu, ketika kaum homoseksual tidak berani mengekspose identitas dirinya terang-terangan, mungkin karena jumlahnya masih terbatas, dewasa ini kemunculan kelompok laki-laki penyuka sesama jenis makin terang-terangan dan terorganisir hingga melibatkan jaringan kelompok gay hingga mancanegara.

Kemunculan kaum homoseksual dan berbagai pesta seks yang mereka gelar mengindikasikan bahwa kegiatan kelompok ini sudah berkembang menjadi komoditas bisnis yang memiliki pangsa pasar tersendiri dan jaringan sosial yang rapi. Di Jakarta, sudah bukan rahasia lagi ada ratusan pesta seks serupa nyaris setiap hari digelar di berbagai tempat. Pesta-pesta seks lain belum terungkap, karena penyelenggarannya memang semi tertutup, dan hanya orang-orang tertentu yang menjadi anggota yang bisa mengakses informasinya.

Pesta seks yang digelar kaum homoseksual ini boleh jadi sama dengan pesta seks kelompok heteroseksual yang biasanya melibatkan perempuan pekerja seksual kelas menengah ke atas. Dalam pesta seks yang digelar kaum homoseksual, selain menonton video porno bersama, mengundang tarian telanjang yang dilakukan laki-laki bertubuh macho, dan lain sebagainya, yang penting biasanya para anggota yang hadir juga memperoleh kesempatan untuk melakukan aktivitas hubungan seksual.

Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lain-lain, pesta seks yang digelar untuk pengunjung sesama laki-laki penyuka sesama jenis ini makin hari makin marak. Yang terjadi bukan sekadar ajang berkumpulnya kelompok LGBT ini, tetapi di sana juga telah terjadi proses komodifikasi. Artinya, pesta yang digelar, acara yang ditawarkan, dan bagaimana hal itu dipasarkan kepada para lelaki gay umumnya telah dikemas dalam bentuk acara yang menjanjikan, menyenangkan, bahkan fantastik.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pesta-pesta seks yang digelar kaum homoseksual, biasanya ada pihak tertentu yang menjadi panitia, yang mengelola acara pertemuan mereka layaknya pesta-pesta perkawinan, pesta ulang tahun, dan sejenisnya, tetapi dalam kemasan yang lebih ekslusif dan permisif. Semua peserta yang hadir tidak akan segan mengeluarkan uang ratusan ribu hingga jutaan rupiah, bahkan lebih, karena mereka benar-benar termakan promosi yang ditawarkan panitia.

Di kalangan komunitas gay, misalnya, biasanya mereka terhimpun dalam grup-grup di media sosial: kapan mereka bertemu, berapa mereka harus membayar, serta bagaimana interaksi di antara sesama dikembangkan dan difasilitasi oleh teknologi informasi dan internet.

Meski banyak pihak menilai yang mereka lakukan termasuk perilaku menyimpang dan bahkan melanggar hukum, namun karena pihak pengelola menjanjikan keamanan, kesenangan, dan ragam fantasi yang dikemas dalam paket acara pesta seks, biasanya para pengunjung atau peserta yang hadir tak lagi memikirkan risikonya  jika sampai tertangkap aparat kepolisian. Pendeknya, cukup hanya dari informasi yang diposting di grup media sosial, dengan cepat para anggota komunitas gay ini akan berkumpul di titik yang ditentukan.

Terlepas apa yang menjadi faktor penyebab seseorang menjadi gay, risiko yang mereka harus tanggung akibat gaya hidup yang mereka kembangkan, dan kecenderungan perkembangan pesta seks kaum gay yang makin hari makin marak, tentu wajar jika mengundangkan keprihatinan berbagai kalangan.

Untuk mencegah agar kasus serupa tidak terjadi di kemudian hari, yang dibutuhkan tentu bukan sekadar pendekatan hukum berupa razia, pengrebegan atau pemberian sanksi/hukuman yang berat kepada pelaku. Selain langkah-langkah yang sifatnya punitif (menghukum) untuk mengurangi makin maraknya perilaku seksual yang menyimpang dari kaum gay, yang dibutuhkan adalah bagaimana kita mampu menawarkan wacana tandingan tentang kehidupan ideal kaum homoseksual.

Tidak ada seorang pun di masa kecilnya yang berencana tumbuh menjadi bagian kelompok LGBT. Tetapi, ketika mereka tiba-tiba menjadi bagian dari komunitas tersebut, perlukah mendekonstruksi para penyandang status LGBT agar tidak makin larut terjerumus dalam gaya hidup yang keliru?

Tak ayal, yang dibutuhkan adalah keterlibatan, kepekaan, dan kontrol masyarakat dalam menyikapi kemungkinan mengembangkan wacana tandingan sebagai negasi dari makin maraknya pesta seks kaum gay. Tanpa dilandasi perkembangan fondasi masyarakat yang tangguh menyikapi godaan gaya hidup, jangan kaget jika kehadiran LGBT menjadi momen yang dirindukan para pemujanya.

Kolom terkait:

Mengapa LGBT Begitu Dibenci?

Ketika LGBT Dibenci Lebih dari Yahudi [Catatan Gender 2016]

Ada Apa dengan LGBT?

Tasrif Award, LGBT, dan Menteri Lukman Saifuddin

Menguji Salib LGBTI di Gereja Kristen

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.