Sabtu, April 20, 2024

Dari “Jualan” Ayat, Mayat, hingga Pribumi

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.
Stiker “pribumi” ramai-ramai ditempel di mobil-mobil dan rumah-rumah.

Kemenangan putri wakil DKI Jakarta di ajang pemilihan Putri Indonesia 2017 membuat kebanggaan dan kepercayaan dirinya semakin tinggi. Bunga Jelitha Ibrani telah dinobatkan sebagai Puteri Indonesia 2017 pada malam final yang berlangsung di Plenary Hall Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat. Mewakili provinsi DKI Jakarta 5, wanita yang berprofesi sebagai model ini berhasil menyisihkan 37 finalis lainnya dari seluruh provinsi Indonesia.

Ajang bergengsi yang memukau ini sempat dihiasi drama yang sedikit “murahan”. Mengejar popularitas atau trending topic, mungkin. Terlepas dari itu, wakil DKI telah membuktikan diri bahwa dutanya mampu menjembatani isu-isu sensitif yang melanda Jakarta (sebuah harapan). Ini yang harus diselesaikan lebih dahulu. Sosok duta bangsa harus terjun memahami gejolak sosial negaranya sebelum berpromosi lantang tentang Indonesia yang katanya masih bernafaskan toleransi.

Di tengah konflik pilkada tak bertuan, kemenangan Jelitha Ibrani ini sungguh berarti. Dapatkah putri ini mengembalikan Jakarta dengan nuansa toleransi yang kental? Strategi apa yang akan dikerahkannya untuk membendung oknum-oknum penyebar fitnah dan memecah warga Jakarta?

Lantas, yang paling penting, jawaban apa yang akan diberi ketika ada yang bertanya, apakah yang berhak menyandang sebutan Putri Indonesia itu harus pribumi? Pribumi yang seperti apa? Yang dikhawatirkan, persoalan semacam ini akan jadi topik hangat untuk dipertanyakan dalam ajang Miss Universe berikutnya. Wakil Indonesia harus siap sedia. Semoga jawabannya tak sekadar normatif ala elite politik.

Setelah kasus ayat, jenazah atau mayat, kini kata pribumi menjadi bahan untuk menyuburkan perilaku intoleransi. Ada batas antara pribumi dan nonpribumi. Jika penyebaran stiker “pribumi” dalam Aksi 313 itu ditujukan untuk mereka yang berasal dari agama yang berbeda atau anti-Cina, mereka bukanlah bagian dari NKRI.

Penempel dan pencetus ide stiker “pribumi” ini gagal paham akan sejarah. Jika sejarah saja masih salah, dari mana jaminan bahwa masa depan akan dihadirkan? Tentu Indonesia tidak sudi dihuni makhluk yang mengaku “pribumi”, namun tak memberi damai pada tanah yang dipijaknya, tuan semesta yang memberinya hidup, dan Indonesia yang memberinya tempat paling tinggi selama ini.

Sebutan pribumi bahkan sangat jarang terdengar lagi. Kata ini telah tergantikan dengan sebutan warga negara Indonesia. Menurut saya, siapa pun yang memiliki kecintaan terhadap Indonesia, berbuat membanggakan Indonesia, mereka adalah warga yang nyata. Bukan yang mengaku “pribumi”, nyatanya berbuat yang memecah belah, mengotak-kotakkan Indonesia. Siapakah “pribumi” yang disebut dan siapakah nonpribumi yang disudutkan?

Dalam tinjauan sejarah, daerah Nusantara ini pada mulanya adalah tanah tak bertuan. Sampai akhirnya pendatang berdatangan. Sejak zaman Homo Erectus, hingga kedatangan rumpun manusia lainnya yang menyebut Nusantara sebagai rumah mereka.

Dalam polemik sosial masyarakat modern Indonesia, sebetulnya definisi dari “kaum pribumi” itu sendiri sangat rancu. Jika indikator “pribumi” adalah masyarakat yang paling lama tinggal, berarti yang pantas disebut pribumi asli Indonesia adalah Homo Erectus yang tinggal di Nusantara ini selama kurang-lebih 1,5 juta tahun. Bahkan lebih lama dari masa masa penjajahan Belanda, masa Orde Baru yang katanya ingin dibangkitkan.

Tapi jika definisi “pribumi” itu adalah manusia modern (Homo sapiens) yang pertama datang ke Nusantara, maka jawabannya adalah rumpun Melanesia. Apakah para penempel dan otak pembuat stiker pribumi ini benar-benar paham bahwa mereka juga bukan pribumi. Jadinya,, nonpribumi teriak nonpribumi.

Pada hakikatnya, semua manusia yang ada Indonesia itu adalah pendatang. Tidak penting apa sebutannya. Pendatang berhak memimpin selama ia diyakini mampu dan pantas. Jangan racuni generasi Indonesia dengan perilaku rasisme kekanak-kanakan. Yang memamerkan stiker “pribumi” begitu percaya dirinya, coba Anda tanyakan pada diri Anda, apa yang sudah pribumi lakukan bahkan korbanku untuk Indonesia?

Jika pribumi seperti Anda adalah anak kandung Indonesia, mungkin Indonesia yang menjadi ayah atau ibu Anda akan merelakan Anda pergi, menghilang sejauh mungkin. Sebab, ada anak-anak kandung bahkan anak tiri lainnya yang lebih mencintai Indonesia, lengkap dengan kebhinekaannya, juga perbedaannya.

Jadi, ya memang betul bahwa warga keturunan Arab (semit), India (dravida, tamil), dan Tionghoa (sino-tibetan) di Indonesia adalah pendatang, sebagaimana orang Melayu (Austronesia) dan Papua (Melanesia) di Indonesia juga adalah pendatang. Bumi Nusantara dulunya adalah tanah tak bertuan hingga para manusia dari berbagai rumpun kesukuan berdatangan silih berganti dan mengklaim tanah ini adalah milik mereka, kekuasaan jatuh-bangun dari zaman Kerajaan, Hindia Belanda, sampai akhirnya kini menjadi negara Indonesia yang mewarisi keanekaragaman yang luar biasa.

Perlu kita ingat bahwa kekayaan budaya yang kita nikmati sekarang ini lahir dari proses asimilasi, menerima perbedaan budaya, menghasilkan budaya campuran, dan akhirnya menjadi identitas bangsa yang baru, bernama Indonesia.

Jangan dibuat terbelah, apalagi berpisah.

Ni Nyoman Ayu Suciartini
Ni Nyoman Ayu Suciartini
Penulis, cerpenis, novelis. Novelnya berjudul "Mimpi Itu Gratis" (Gramedia, 2016). Tinggal di Bali.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.