Jumat, Maret 29, 2024

Bunuh Diri Bennington dan Perlunya Menguatkan Ikatan Sosial

Didid Haryadi
Didid Haryadi
Meraih Master Sosiologi di Istanbul University, Turki. Penggila sepak bola.

Vokalis Linkin Park, Chester Bennington [sumber: movieweb.com]
Fenomena bunuh diri kembali menjadi perbincangan publik. Peristiwa terbaru menimpa vokalis Linkin Park, Chester Bennington yang ditemukan tewas gantung diri di kamarnya pada Kamis sekitar jam 9 pagi waktu Amerika Serikat.

Kurang dari tiga bulan terakhir, kejadian yang juga mengagetkan para penggemar musik rock di seluruh dunia adalah tewasnya sang vokalis berkarismatik dari band ternama Soundsgarden dan Audioslave–Chriss Cornell. Berdasarkan informasi yang beredar, Chris Cornell tewas dengan cara gantung diri. Hal ini seperti dilansir oleh seorang petugas medis sehari setelah Chris meninggal, the cause of death has been determined as hanging by suicide .

Di samping dua peristiwa tersebut, yang juga sempat menjadi topik pemberitaan di media nasional tanah air sepekan terakhir adalah tewasnya mantan pacar Awkarin, Oka Mahendra yang diduga berlatarbelakang depresi.

Sebenarnya fenomena bunuh diri bukan hal yang baru. Istilah bunuh diri telah dikenal sejak pertengahan abad ke-17. Secara harfiah, terma bunuh diri yang diterjemahkan dari bahasa Inggris, suicide, berasal dari bahasa Latin, suicidium, yang berarti tindakan untuk bunuh diri.

Suicida merupakan istilah yang menunjukkan subyek yang melakukannya. Penggalan kata suicidium terdiri dari sui yang berarti of oneself dan caedere’(kill). Sedangkan dalam kamus Oxford, kata suicide bermakna the action of killing oneself intentionally (tindakan membunuh diri sendiri disertai dengan niat yang disengaja).

Penyebab seseorang bunuh diri sangat beragam, di antaranya karena depresi, stress berat, alasan keluarga, pekerjaan, bahkan politik. Namun, kajian menarik tentang bunuh diri telah dimulai pada tahun 1888 oleh Emile Durkheim yang saat itu sedang berada di Bordeaux, Prancis.

Ketertarikan Durkheim terhadap topik ini bermula ketika ia mengamati relasi antara bunuh diri dan angka kelahiran. Saat itu bunuh diri merupakan sebuah fakta sosial yang mengindikasikan kondisi disorganisasi antara individu dengan masyarakat.

Selanjutnya Durkheim berusaha mengemukakan gagasannya bahwa bunuh diri merujuk kepada setiap kasus kematian yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung dari kematian yang positif atau negatif yang dilakukan oleh subyek/korban sendiri yang berusaha untuk menjadi fenomena.

Secara jelas Durkheim menambahkan bahwa penyebab kematian tersebut lebih ditemukan karena faktor dari luar, bukan dari kita. Tindakan bunuh diri yang pada awalnya terlihat hanya menggambarkan sikap temperamen individu adalah benar-benar suplemen dan perpanjangan dari kondisi sosial yang mereka ekspresikan secara eksternal.

Dari definisi ini, Durkheim tegas menyatakan bahwa bunuh diri merupakan tindakan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang yang juga disertai konsekuensinya.

Secara teoretis bunuh diri dapat dikelompokan menjadi empat tipe. Pertama, bunuh diri egoistik, yang disebabkan karena semakin rendahnya tingkat integrasi sosial dalam masyarakat. Individu yang merasa dirinya tidak mampu melakukan ikatan-ikatan sosial dalam kehidupannya cenderung melakukan tindakan bunuh diri.

Relasi sosial yang semakin melemah harus mampu kembali ditingkatkan melalui sosialiasi dan membangun kesadaran kolektif secara mekanis antara satu sama lain (William Sims Bainbridge and Rodney Stark, Religion, Deviance and Social Control, 32).

Kedua, bunuh diri altruistik terjadi ketika integrasi terlalu besar dan individu tidak bisa mengimbangi perubaha sosial yang terjadi (Thomson, Diane, and Harriford, When the Center is on Fire, 166). Dalam bahasa Durkheim, “this kind of suicide results from the over-integration of the individual into his social group”.

Studi tentang tipe bunuh diri ini pertama kali dilakukan oleh Durkheim dengan melakukan observasi pada tribal societies (masyarakat kesukuan). İa menemukan bahwa kebiasaan sosial di masyarakat ini memainkan tingkat kehormatan sosial yang tinggi pada individu yang bunuh diri atas nama tujuan sosial yang lebih besar daripada mereka.

Hal itu terjadi di masyarakat dengan integrasi tinggi, di mana kebutuhan individu dipandang kurang penting dari kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Durkheim membagi secara spesifik tipe bunuh diri altruistik yang terjadi dalam beberapa bentuk yang berbeda.

Pertama, obligatory altruistic suicide. Dalam kategori ini, masyarakat memberlakukan eksplisit pada individu untuk menjalani hidup mereka sendiri, namun tugas ini mungkin tidak memiliki tekanan koersif yang spesifik dari masyarakat.

Kedua, optional altruistic suicide. Dalam kategori ini, permintaan yang ditempatkan pada individu oleh masyarakat kurang secara eksplisit diklarifikasi atau “kurang jelas dibutuhkan” daripada dalam keadaan dimana tindakan bunuh diri benar-benar wajib (strictly obligatory).

Ketiga, acute altruistic suicide. Dalam kategori ini, bunuh diri altruistik akut, individu tersebut menolak kehidupan untuk merasakan “sukacita pengorbanan” (joy of sacrifice’).

Tipe bunuh diri yang ketiga, menurut Durkheim, adalah anomik. Tindakan bunuh diri ini terjadi karena terjadinya kekosongan pada hukum-hukum serta aturan moralitas sosial yang ada dalam masyarakat. Situasi ini selanjutnya menyebabkan tidak adanya wadah sosial yang bisa menampung aspirasi individu ataupun kelompok.

Secara harfiah, terma anomik berasal dari bahasa Yunani, anomy (pelanggaran hukum) dan nemein (sarana untuk mendistribusikan). Harriford menambahkan bahwa tindakan anomik ini mencerminkan kebingungan moral individu dan kurangnya arahan sosial, yang terkait dengan pergolakan sosial dan ekonomi yang terjadi secara dramatis (When the Center is on Fire, 166).

George Ritzer menyatakan bahwa kolektivitas untuk sementara tidak mampu melaksanakan kewenangan atas individu-individu.

Bunuh diri fatalistik adalah tipe keempat yang dikemukakan Durkheim. Faktor utama tindakan bunuh diri ini adalah munculnya rasa putus asa yang mendalam, tidak ada semangat untuk melanjutkan hidup dan tidak bisa menemukan solusi terhadap permasalahan yang dihadapinya kemudian individu mengambil cara untuk bunuh diri.

Fenomena bunuh diri merupakan gambaran atas realitas yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Tekanan dan dinamika sosial yang terjadi dengan sangat cepat dan tidak disertai dengan solusi menyebabkan hilangnya keseimbangan antara individu dan masyarakat dan dalam sistem sosial yang ada.

Karena itu, salah satu langkah preventif yang bisa dilakukan adalah dengan berusaha menjadi pendengar yang baik bagi individu yang sedang dalam kondisi tekanan depresi yang kuat. Juga kita memberikan ruang dialog agar lebih mudah menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.

Sebagai contoh, di Korea Selatan, angka bunuh diri terbilang cukup besar. Sebagai negara yang tumbuh dengan laju perekonomian yang sangat cepat, ternyata menyimpan cerita dan misteri tindakan bunuh diri bagi para warganya. Jembatan Mapo yang terletak di Kota Seoul merupakan saksi atas aksi-aksi bunuh diri di Korea Selatan.

Namun, pada 2012 Pemerintah Kota Seoul melakukan inovasi untuk mencegah tindakan bunuh diri dengan mengkampanyekan pesan-pesan tentang kebahagiaan hidup. Laporan tentang Jembatan Mapo bisa disimak di sini

Maka, penguatan nilai-nilai sosial dan kolektivitas mekanis dalam kehidupan bermasyarakat sangat penting untuk dapat menciptakan keteraturan dan keseimbangan, baik sesama individu maupun dengan masyarakat.

Baca juga:

Bunuh Diri dan Keterasingan

Heboh Awkarin, Idolaque!

Didid Haryadi
Didid Haryadi
Meraih Master Sosiologi di Istanbul University, Turki. Penggila sepak bola.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.