Membayangkan tubuh digerayangi saat tubuh tak berdaya, namun mata tetap menganga. Melihat walau dalam samar, merasakan tubuh dijamah seperti tubuh jalanan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Inilah yang mungkin dirasakan korban pelecehan seksual yang dilakukan perawat cabul dalam kondisi korban yang setengah sadar di Surabaya. Betapa ngerinya.
Saya seperti merasakannya, sebab baru seminggu saya juga dibius total saat operasi. Saya masih ingat dalam busana hijau yang menutupi saya, saya melihat 4 orang laki-laki mengelilingi saya. Semuanya laki-laki. Dokter anestesi, dokter kandungan, 2 perawat yang juga laki-laki. Saya menjalani proses kuretase. Saya tidak tahu siapa di antara kali-laki itu yang membuka celana dalam saya sebagai satu-satunya busana yang melekat di tubuh saya saat itu.
Mungkinkah 4 lelaki yang “mengerjakan” saya itu sempat melakukan hal-hal yang saya tak ingini? Saya tidak tahu. Saya hanya berharap mereka masih berpikir waras bahwa ada perempuan yang sedang terluka jangan ditambah luka lagi. Lalu saya sudah ada di tempat lain dengan kondisi yang sama sebelum saya tak bisa mengingat apa pun.
“Di mana suami saya?” Perawat laki-laki menjelaskan bahwa saya sedang di ruang pemulihan dan suami saya menunggu di luar. Apakah saat itu saya baik-baik saja? Semoga saja tak pernah terbesit dalam pikiran laki-laki di ruang operasi itu untuk melakukan hal-hal yang melecehkan keperempuanan saya.
Sejak bergulir kasus pelecehan seksual terhadap wanita setengah sadar pasca dibius oleh seorang perawat cabul, saya sering menangis dalam kesendirian. Seolah merasakan bagaimana perasaan wanita yang dilecehkan itu. Sekali lagi pertanyaan ini belum menemukan jawabannya. Setega itukah? Apa yang terlintas untuk “mengerjai” wanita tak berdaya? Apa tak cukup waktu untuk menuntaskan hasrat selepas bertugas? Apakah libido bisa cepat membunuh jika tak cepat dilampiaskan?
Trauma dengan bayang-bayang jemari binal seolah tak bisa dihapus hanya dengan kata maaf. Korban pelecehan seksual harus menyembuhkan sendiri psikisnya. Ia harus mengatakan perbuatan tak menyenangkan itu agar dunia tahu bahwa perawat cabul tak lagi memiliki ruang yang bebas untuk mengerjai pasien-pasien yang dibius.
Tentu kasus ini jadi pelajaran yang sangat berharga bagi perempuan. Sangat berharga. Bagaimana tubuh perempuan tak berdaya sekali pun masih diincar untuk dipermainkan. Menjadi pelajaran juga bagaimana saat korban terbius total, profesionalitas tenaga medis tidak mental. Ingin rasanya menanyakan kepada perawat cabul itu, sudah berapa lama aksinya ini dilakukan? Apa kenikmatan yang didapatnya? Apa setelah itu dia bisa tidur nyenyak? Apa ia masih bisa makan dengan tangan-tangannya yang menjijikkan itu? Perawat sakit jiwa.
Perawat atau tenaga medis yang melakukan pelecehan pada pasien-pasiennya tak cukup dihukum 7 tahun penjara. Seumur hidup pun belum cukup. Bayangkan perempuan korban pelecehan seksual tenaga medis ini harus merawat ingatan mereka tibba-tiba dirusak oleh ingatan keji tentang bagaimana ia digerayangi saat dibius. Seorang istri, ibu, atau remaja pun tak akan sudi mengingat ini. Sama saja ia diberi ingatan yang lama-lama bisa membunuhnya secara perlahan.
Tangisan seorang perempuan yang masih terlilit infus di tangannya berusaha memaksa perawat cabul mengakui segala perbuatannya. Tangisan itu jelas terdengar dalam video viral. Bagimana tidak viral, kejadian ini sungguh menggelikan dan mungkin saja bisa dialami siapa pun tanpa disadari. Dari video tersebut, seorang perawat laki-laki disebut menggerayangi payudara sang perempuan sebanyak 2-3 kali.
Ketika itu korban baru saja menyelesaikan operasi kandungan dan kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Diketahui kejadian tersebut berlangsung di National Hospital Surabaya. Seusai kejadian, menurut suaminya, korban mengalami stres berat. Sang suami sekaligus kuasa hukumnya, Yudi Wibowo Sukinto, telah melapor ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polrestabes Surabaya. Sang suami yang geram, namun dituntut tetap tegar seolah memberi pelajaran berharga bagi kita semua, khususnya perempuan dalam mencurigai setiap tindakan medis berbungkus pornoaksi.
Kasus ini akhirnya membuka mata kita. Sangat membuka mata untuk mencurigai segala tindakan yang bisa jadi berarah pada pelecehan seksual. Video beberapa detik itu benar-benar mampu membuka mata. Mungkin dokter pernah menertawakan bentuk kemaluan, pernah membandingkan warna, atau perawat-perawat lain pernah mengukur besarnya payudara lalu membandingkan. Mungkin. Tenaga medis lainnya sempat memotret lalu tertawa sendiri melihat bagian tubuh ppasien yang dibius. Ah… pikiran liar dan menggelikan pun tak bisa dibendung.
Mereka, para petugas medis nakal, justru memanfaatkan kondisi tak berdaya seorang pasien sebagai peluang melakukan pelecehan ke pasiennya. Tak hanya perawat, di Amerika baru-baru ini juga terjadi kasus serupa pada seorang dokter dan pasiennya.
Seorang mantan dokter tim senam Amerika, Larry Nassar terbukti bersalah karena melecehkan 156 atlet senam putri dari tahun 1998 sampai 2015. Di antara beberapa korbannya adalah peraih emas Olimpiade 2012 London: Aly Raisman, McKayla Maroney, dan Gabby Douglas. Pada April 2017 lalu, izin praktiknya telah dicabut.
Salah seorang korban, Rachael Denhollander dari Louisville, Kentucky, menyatakan Nassar telah melakukan pelecehan seksual pada tahun 2000, saat ia berusia 15 tahun. Ketika itu Denhollander mengalami cedera punggung dan mendapat perawatan di klinik olahraga Nassar. Namun, saat perawatan, Nassar memasukkan tangannya ke vagina dan anus Denhollander tanpa sarung.
Di waktu lain, ia juga melepas bra, memijat payudara Denhollander, dan terlihat “ereksi”. Selama bertahun-tahun, Nassar menggunakan kewenangannya untuk mengelabui para korban. Meyakinkan mereka bahwa dialah satu-satunya orang yang mampu menyembuhkan mereka dari cidera dengan cara tersebut.
Larry Nassar telah divonis hukuman penjara hingga 175 tahun atas dakwaan pelecehan seksual terhadap ratusan pesenam wanita. Vonis diputuskan setelah lebih dari 150 wanita dan anak perempuan memberikan kesaksian di pengadilan bahwa Nassar telah melakukan pelecehan seksual selama dua dekade terakhir ini. Ini sungguh terjadi? Membayangkan bagaimana yang seharusnya mengobat dan menyembuhkan bisa memberi luka yang lebih dalam. Apa arti sumpah profesi?
Pemerintah juga petugas medis yang berwenang harus belajar dari kasus yang menampar ini. Batasan yang abu-abu antara pemeriksaan atau perawatan berbungkus pornoaksi harus benar-benar terang dan tidak multitafsir. Ini penting untuk meniadakan kesalahpahaman antara petugas medis dengan pasien.
Bisa saja pemeriksaan yang seharusnya tak melibatkan dada, dipaksa memeriksa dada demi memenuhi birahi. Atau bisa jadi pemeriksaan yang harus dilakukan justru diprasangka tidak baik oleh pasien. Pasien harus tercerahkan untuk mengetahui di tingkat mana mereka masih bisa dikatakan “aman” dalam pemeriksaan.
Maka, penting sebagai seorang pasien, sebagai seorang konsumen dari sebuah pelayanan kesehatan, mulai dari puskesmas sampai rumah sakit besar untuk memahami beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah agar tidak terdapat celah sehingga dapat terjadi pelecehan seksual pada pasien.
Ini beberapa tindakan pencegahan tersebut. Pertama, harus selalu ada keluarga minimal satu orang yang mendampingi pasien. Pendampingan ini sangat penting, terutama bagi pasien-pasien yang tidak berdaya atau dalam keadaan lemah seperti anak kecil, pasien ICU/ICCU, pasien setelah operasi (recovery).
Kedua, keluarga dan/atau pasien akan diberi keterangan atau tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga medis, yang disebut informed concent (IC). IC ini wajib ditandatangani. Artinya, bila keterangan sudah ditandatangani, keluarga dan atau pasien sudah dianggap mengerti mulai dari prosedur sampai risiko pada tindakan atau pemeriksaan yang akan dilakukan. Jadi, jangan malu bertanya bila tidak mengerti sehingga minimal tahu pemeriksaan apa yang akan dihadapi dan bertanyalah dengan cara yang baik dan kekeluargaan.
Ketiga, selalu ada kata “permisi” atau “maaf” atau pemberitahuan dari para tenaga medis sebelum melakukan suatu pemeriksaan atau tindakan kepada pasien. Prosedur ini, selain merupakan bagian dari tata krama, juga untuk memberitahu pasien bahwa terhadapnya akan dilakukan sebuah tindakan yang bersifat kontak fisik. Waspadalah bila tidak ada dua kata di atas atau jika tidak ada pemberitahuan.
Keempat, cari tahu melalui Google penyakit yang diderita dan tindakan serta pemeriksaan yang akan mungkin dihadapi. Tindakan pencegahan ini juga menunjukkan kewaspadaan pada diri sendiri. Artinya, pasien harus menyadari sakitnya di bagian mana kemudian periksanya di bagian mana. Contohnya, seorang wanita dengan keluhan benjolan di payudara namun kemudian dilakukan pemeriksaan di payudara dan pemeriksaan di kemaluan, maka pemeriksaan di bagian kemaluan adalah tidak benar.
Sekali lagi, ini tamparan. Tamparan bagi perawat, dokter, rumah sakit, tapi tamparan paling keras jelas mengenai pasien dan korban tak berdaya yang tak rela diraba. Juga di mana pun, kapan pun, dan profesi apa pun. Tanpa kecuali!
Kolom terkait:
Hari Santri: Pelecehan Seksual dan Wajah Layu Santri
Australia Darurat Pelecehan Seksual Anak
Belajar dari Kasus Pelecehan Seksual oleh Oknum Polisi