Jumat, Maret 29, 2024

Antara Firza, Rizieq, dan Seksisme dalam Politik

Fini Rubianti
Fini Rubianti
Tim riset dan program di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta.
Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab memberikan keterangan kepada wartawan usai menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (23/1). Habib Rizieq menjalani pemeriksaan selama empat jam sebagai saksi terkait dugaan kasus penghinaan rectoverso di lembaran uang baru dari Bank Indonesia, yang disebutnya mirip logo palu arit. ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc/17.
Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab memberikan keterangan kepada wartawan usai menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (23/1). Habib Rizieq diperiksa sebagai saksi terkait dugaan kasus penghinaan rectoverso di lembaran uang baru dari Bank Indonesia, yang disebutnya mirip logo palu arit. ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc/17.

Kita boleh tidak setuju bahkan menentang dengan sikap politik Rizieq Shihab dan Front Pembela Islam (FPI), terutama terkait pandangan mereka yang sangat antipati terhadap pemimpin non-muslim, di negeri ini. Akan tetapi, wacana dominan publik dalam beberapa hari terakhir yang menyorot kasus Rizieq dari lensa seks terkait dugaan hubungan spesialnya dengan Firza Husein patut direspons dengan hati-hati.

Tulisan ini berupaya mengurai bagaimana seksisme dioperasikan dalam politik. Seksisme adalah diskriminasi kepada seseorang terkait dengan identitas gender atau seksnya dan sebagian besar ditujukkan kepada perempuan. Fred R. Saphiro, pengarang Historical Notes on The Vocabulary of The Women’s Movement (1985), menjelaskan dengan gamblang bahwa seksisme adalah menjustifikasi seseorang berdasarkan seks, bahkan ketika aspek ini tidaklah penting sama sekali.

Untuk kasus Rizieq dan Firza, seksisme—dalam kaitannya dengan tubuh atau identitas perempuan—menjadi alat yang ampuh untuk menjatuhkan lawan politik. Akhirnya perempuan tetaplah menjadi “sasaran empuk” objektifikasi. Itu tampak dari betapa mudahnya seseorang mendapat stigma negatif dari lingkungan dan masyarakat jika isu-isu seputar seks sudah menyeruak di ruang publik. Dugaan hubungan gelap antara Rizieq Shihab dan Firza Husein perlu dilihat dalam penilaian yang sensitif gender dan pro-perempuan.

Foto-foto tubuh Firza dan pesan seksualnya dengan Rizieq merupakan dua pertanda utama yang digunakan dalam membentuk opini publik. Dalam hal ini Firza sudah dipersonifikasikan sebagai perempuan yang terlihat seksi, menantang, dan mengundang hasrat. Tanpa gambaran visualisasi dan daya imajinasi yang kuat, masyarakat tidak akan terpengaruh oleh berita apa pun. Terlebih datangnya dari seorang Rizieq yang kerap mengklaim dirinya sebagai ulama besar umat Islam di Indonesia.

Namun, pokok persoalan yang ingin saya urai bukan pada mengenai kredibilitas Rizieq sebagai ulama atau perannya di Pilkada Jakarta 2017. Saya menilai betapa wacana mengenai seksisme (diskriminasi terhadap tubuh perempuan) menjadi hal yang sangat efektif untuk menjatuhkan seseorang dalam politik.

Saya tidak mempersoalkan apakah ia seorang Firza atau bukan Firza yang terseret dalam kasus ini. Saya melihat bagaimana sebuah isu kemudian diangkat dan disebarkan ke publik dengan cara-cara yang menyudutkan perempuan, pun jikalau seandainya kasus tersebut terbukti benar. Apalagi jika salah.

Pemetaan Konsep Publik dan Privat
Tuduhan-tuduhan terkait seksisme berawal dari masyarakat yang bias dalam memandang status dan derajat perempuan. Pandangan bahwa perempuan adalah objek dan inferior (posisinya di bawah laki-laki) menjadi pengantar utama mengapa seksisme dengan leluasa beroperasi pada ruang publik kita.

Politik, sedari awal, memang dinilai oleh feminis sebagai perjuangan yang tidak menyertakan pengalaman perempuan. Perempuan banyak beraktivitas di ranah domestik (seputar rumah tangga) karena dinilai emosional dan berwatak dipimpin. Sebaliknya, laki-laki dianggap rasional dan berwatak pemimpin.

Yang mengherankan saya pribadi, rasa-rasanya pemahaman ini adalah jenis pemahaman paling umum dan standar terkait konsep gender. Sangat disayangkan ternyata banyak isi kepala yang belum selesai di ranah perspektif semacam ini. Seksisme yang kemudian digunakan di ranah politik menjadi sebuah cambuk, bahwa memang masih banyak pihak-pihak yang kurang bahkan tidak berpihak pada kondisi serta status perempuan.

Sebagai sebuah cara pandang yang tak gentar menyuarakan pentingnya otoritas atas tubuh, feminisme memiliki counter value yang lebih adil dalam menempatkan bagaimana konsep publik dan privat ditinjau. Seseorang tidak serta-merta dapat dinilai atas ranah privatnya, di ruang publik. Ketika aspek privat diurai, ada banyak sekali kait-kelindan di dalamnya, yang tidak perlu menjadi konsumsi dan “pengadilan” publik. Muatan privat tersebut semisal orientasi seksual, ekspresi seksual, eksplorasi seksual, dan aspek biologis lain.

Bentuk-bentuk seperti ini berada di wilayah personal terkait otoritas tubuh dan pilihan-pilihan individu. Publik tidak memiliki hak untuk menjustifikasi wilayah privat orang lain. Terlebih jika kerap menjadikannya sebagai senjata demi menjatuhkan kelompok tertentu.

Melihat kasus ini, perlu disadari bukan hal baru bila seksisme menjadi sebuah cara yang paling ampuh untuk mendiskreditkan lawan. Seksisme menjadi bulan-bulanan bahkan untuk perempuan yang empowered, pemain inti dalam politik praktis.

Hillary Clinton menjadi contoh nyata untuk menggambarkan bagaimana seksisme diangkat ketika ia berhadapan dengan lawannya Donald Trump, presiden terpilih Amerika Serikat kini. Meski dengan cara-cara yang tidak frontal, Clinton dikritisi pada hampir semua ranah privatnya. Gaya bicara, senyum, komitmennya untuk bertarung dalam politik, bahkan pakaian yang ia gunakan kerap diperbincangkan. Suatu hal yang jarang bahkan tidak pernah sama sekali dibahas pada kandidat berjenis kelamin laki-laki.

Menguatkan kasus-kasus di atas, ada kutipan menarik datang dari CEO Women’s Campaign Forum Foundation Sam Bennett yang menyatakan, “politik, menjadi tempat berkembang biak yang paling merajalela untuk perilaku-perilaku misoginis (penyalahan atas tubuh perempuan).

Arena kontestasi politik yang sedari awal sudah bias gender pada akhirnya banyak menyudutkan posisi perempuan hanya karena ia perempuan. Baik diskriminasi atas figur aktor politik utama sebagaimana Clinton, maupun seorang outsider seperti Firza, seksisme tetap menempatkan posisi merugi bagi status dan derajat perempuan. Ironisnya, strategi semacam ini kerap dipelihara karena sangat efektif dalam menjatuhkan citra seseorang.

Menghentikan Seksisme
Ada dua urgensi mengapa seksisme perlu dihentikan dalam semua aspek, utamanya di ranah politik. Pertama, Pilkada Jakarta 2017, dengan berbagai aktor yang terlibat (kandidat cagub-cawagub, kelompok penekan, sekumpulan buzzer, partai pengusung, ormas, dan lain-lain) belum menempatkan perempuan sebagai pemeran kunci. Jika seksisme menjadi “bumbu penyedap” kompleksitas dalam pertarungan ini, maka bukan tidak mungkin akan timbul praduga-praduga lain yang juga mengangkat kasus-kasus seksis serupa yang seharusnya menjadi mutlak wilayah privat seseorang.

Banyak pihak menilai isu hubungan Rizieq dan Firza adalah hoax belaka. Jika memang benar hoax, bukan tidak mungkin besok atau lusa akan banyak hoax-hoax lain seputar seksisme yang disuarakan untuk menimbulkan kontroversi berujung kekecewaan pada individu atau kelompok tertentu. Implikasi dari lensa gender yang paling mungkin adalah banyaknya perempuan yang harus menanggung malu dan mendapat cap negatif dari lingkungan sosial mereka.

Kedua, apa pun konteks dan suhu politik yang tengah terjadi, ranah privat tidak bisa serta merta dijustifikasi oleh muatan-muatan publik. Ekspresi dan eksplorasi seksual adalah sepenuhnya otoritas individu yang bersangkutan. Sebagaimana agama atau kepercayaan yang juga menjadi otoritas privat bagi individu, begitu pula halnya dengan seks. Ide-ide sekularisme yang menempatkan agama sebagai ranah privat, sedangkan politik adalah konstelasi publik, perlu seiring-sejalan pula dalam menempatkan seks sebagai hal privat yang tidak perlu diusik.

Jika masyarakat Indonesia sudah cukup dewasa bahwa dalam memandang agama adalah sepenuhnya preferensi individu, maka publik juga harus sehat dalam menempatkan muatan-muatan seksual dan tidak perlu mencampuradukkan dengan kontestasi politik. Ini tantangan besar bagi perpolitikan di Indonesia yang ramah gender dan pro terhadap otoritas tubuh perempuan. Jika tidak, isu-isu yang diangkat oleh media sehari-hari kita tak akan lebih dari gosip murahan semata.

Fini Rubianti
Fini Rubianti
Tim riset dan program di Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.