Bicara soal revolusi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan sosok kepemimpinan Soekarno, dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai seorang yang didaulat menjadi bapak revolusi, dia adalah salah satu dari empat tokoh penting pendiri republik Indonesia.
Dalam banyak catatan sejarah, Soekarno adalah sosok pemimpin besar yang mengemudikan kendali revolusi Indonesia. Aktivitas politiknya mulai dari muda memang banyak menghasilkan perubahan besar bagi dirinya, sehingga dia terlahir menjadi seorang pemimpin yang sangat tangguh dalam era-era perjuangan kemerdekaan. Tentunya ada banyak hal yang menarik untuk mendeskripsikan seorang Soekarno lewat sebuah tulisan, tetapi bagian ini tidak akan menulisan secara utuh perjalan hidup seorang Soekarno.
Namun tulisan ini berupaya mengungkap proses dialektis linear Soekarno dalam membangun argumentasi politiknya terhadap pemerintah kolonial pada saat itu. Meski proses magang politik Soekarno sudah dimulai di Surabaya ketika tinggal bersama H.O.S Tjokroaminoto, tetapi dia mulai praksis dan bergulat dengan ide-ide besar ketika mahasiswa di Bandung dimana dia mulai aktif dalam kelompok studi.
Setidaknya, ketika kuliah Soekarno mulai menuliskan pikiran-pikiran politik terkait anti-kolonial, B.M Diah menuliskan bahwa sejak muda Soekarno sudah bergaul dengan pikiran besar; Lincoln, Jefferson, Marx, Lenin, Sun Yat Sen dan Gandhi. Selain itu dia juga melakukan sebuah komparasi pikiran politik antara Rusia yang cenderung pada Komunis dan Amerika yang Liberal, dia berupaya mencari sintaksis antara dua hal yang saling berlawanan.
Pada sisi kanan dia banyak meminjam terminologi demokrasi Amerika dan disisi kiri dia banyak mengadopsi negara persatuan Rusia-USSR untuk membangun negara baru yang kuat (Katoppo, 1982). Maka dengan pandangan seperti ini ada sebuah upaya untuk merevitalisasi gagasan-gagasan Soekarno, sehingga kita mampu kembali merefleksikan sejarah politik dimasa lampau. Yang mungkin saja ruh politik itu sudah banyak terdistorsi oleh era disrupsi.
Karir politik Soekarno dimulai ketika tinggal bersama Tjokroaminoto, dan mulai banyak bersinggungan dengan tokoh pergerakan nasional masa itu. Bahkan pertemuan nya dengan Dowes Dekker adalah titik tolak Soekarno dalam perjuangan politik.
Dalam tulisan Cindy Adams terlihat Dowes Dekker cukup mengaggumi sosok Soekarno, “Tuan-tuan, saya tidak menghendaki untuk diberikan gelar veteran. Sampai saya masuk kedalam liang kubur saya tetap ingin menjadi pejuang Republik Indonesia. Saya telah berjumpa dengan seorang anak muda Soekarno (…) kehendak saya agar Soekarno yang menjadi pengganti saya. “Anak muda ini” akan menjadi ‘juru selamat’ dimasa dating” ini adalah sebuah ungkapan dan harapan seorang Dowes Dekker kepada seorang anak muda Soekarno (Adams, 2007).
Pada waktu itu, situasi pergolakan intelektual juga terjadi di pulau Jawa, di Bandung Algemeene Studieclub didirikan pada 1925 yang dipimpin oleh Soekarno. Kelompok studi ini memiliki usia yang cukup pendek karena pada 1927 kelompok ini berevolusi menjadi partai politk PNI (Partai Nasional Indonesia).
Legge menuliskan Soekarno sebagai patron intelektual yang memusatkan segala aktivitas Algemeene Studieclub menuju ‘persatuan nasional’. Ini juga dikarenakan Soekarno adalah seorang tokoh nasionalis yang bisa menyatukan dan diterima dari setiap kelompok yang ada. Aktivitas intelektual yang dilakukan Studieclub adalah pembedahan konsep nasionalisme, Marxisme dan Islamisme ini adalah tiga tema penting yang dianggap penting Studieclub sebagai sumber pemersatu bangsa.
Secara literatur kelompok ini cukup mengacu pada pandangan Ernest Renan, teoritikus nasionalis Perancis dalam karya nya ‘L desir d’etre ensemble’ (kemauan untuk bersama) pandangan ini dirasa cukup penting untuk kasus di Hindia-Belanda. Sama seperti Perhimpoenan Indonesia di Belanda,
Algemeene Studieclub juga mendirikan surat kabar benrama Indonesia Moeda. Majalah ini dirasa cukup penting untuk membangun kesadaran politik dan mencerdaskan bangsa dengan wawasan ilmiah berkisar isu-isu sosial, budaya, politik, ekonomi, sejarah dan praktek kolonialisme. Ini menjadi program utama dari Algemeene Studieclub untuk melakukan pencerahan terhadap kaum terdidik pribumi.
Legge juga menambahkan, selain mencetuskan ide persatuan nasional Soekarno juga melahirkan Marhaenisme sebagai azas perjuangan kaum miskin dan kemudian hari menjadi basis ideologi partai. Sebagai seorang Jawa abangan Soekarno cukup berpegang teguh terhadap prinsip nilai dan mistis Jawa, sehingga dia juga meyakini atas ramalan-ramalan jawa yang dikontemplasi kedalam situasi penjajahan. Tiga konsep; persatuan nasional, Marhaenisme, nilai-nilai Jawa diramu menjadi satu oleh Soekarno untuk berposisi vis a vis dengan pemerintah kolonial Belanda (Dhont, 2005).
Semangat mencari sebuah identitas bangsa oleh Soekarno berlanjut sampai di Bandung dimana dia mulai sering menggunakan peci (koffiyah hitam) dalam banyak pertemuan dan berusaha membedakan atribut yang digunakan dengan bangsa Eropa. Prilaku ini adalah sebuah simbolisme pertentangan terhadap budaya Eropa, Soekarno membangun argumentasi bahwa peci adalah kepemilikan bangsa sendiri (maksudnya Melayu yang berkulit sawo matang).
Soekarno juga seringkali menggunakan idiom yang tendensius terhadap bangsa Eropa. Seperti istilah “aliansi kulit sawo matang” yang dimaksudkan sebagai bangsa Asia yang memiliki keturunan Melayu melawan bangsa “kulit putih” yaitu Eropa yang banyak menjajah wilayah Asia. Bahkan untuk menjalankan politik non-koperatif Soekarno menggunakan istilah ‘kaum sana’ yang berarti kolonial dan ‘kaum sini’ yang berarti pribumi.
Pandangan ini bisa kita kutip dalam Dibawah Bendera Revolusi;
“…bahwa pergerakan-pergerakan diseluruh benua Asia ada bergandengan roch satu sama lain, mempengaruhi satu sama lain. Seluruh rakjat Asia, seluruh rakjat kulit-berwarna, kata penulis ini, kini oleh keharusan membela diri-sendiri, jakni oleh “Instinct of self preservation”, sudah lah tergabung menjadi “satu gabungan perasaan yang kokoh dan bertentangan dengan kekuasaan bangsa kulit putih”, yakni menjadi satu gerakan, satu umat yang yang menimbun-menimbun kekuatannya untuk mengugurkan segala rintangan-rintangan yang menghalang-halangi padanya diatas jalan kemajuan dan keselamatan (…) yakni soal Asia terhadap Eropa, atau lebih luas lagi; serbu kedalam dunia kulit berwarna terhadap pada dunia kulit putih (…) harus mengulurkan tangan kita kepada saudara-saudara kita bamgsa Asia yang lain-lain. Itulah sebabnya maka kita harus berdiri diatas azas Pan-Asiatisme” (Soekarno, DBR I, 1964).
Teks ini membuktikan upaya yang dilakukan Soekarno dalam membangun nasionalisme sangat mengebu-gebu dengan semangat anti-kolonialisme yang disertakan menolak apapun yang berbau Barat (dalam hal ini Eropa).
Secara teoritis, meminjam istilah Laclau, political frontier yang digunakan Soekarno adalah bangsa yang didefinisikan (nodal points) berdasarkan warna kulit (ras Melayu) terlihat bagaimana Soekarno membayangkan ada sebuah aliansi Asia yang bersatu melawan Eropa. Posisi secara vis a vis atara Asia dan Eropa adalah situasi antagonism yang ingin dikondisikan Soekarno untuk mendapat ‘kemerdekaan’ Asia secara bersama dengan sebuah front Asiatisme.
Dalam reportase Bintantang Timoer yang ditulis oleh Abdul Rivai menggambarkan sebuah situasi, pelajar pribumi di Belanda yang terlibat dalam aktivitas politik cukup terpengaruh dengan pandangan Marxisme. Akan tetapi bukan berarti mereka semua adalah Komunis. Label miring Komunis semakin intensif diberikan oleh intel polisi kolonial terhadap intelektual pribumi setelah gagalnya pemberontakan 1926. Hal ini dilakukan untuk mematikan gerakan intelektual yang berhaluan Sosialisme atau pun Sosial-Demokrasi (kaum kiri).
Stigma ini dibangun juga untuk meneror masyarakat pribumi agar tidak terlibat aktiv dalam gerakan politik anti kolonialisme. Kondisi seperti itulah yang membuat aktivis kemerdekaan berfikir untuk melakukan sebuah pendidikan politik. Selain untuk memberikan kesadaran politik kepada masyarakat pribumi, juga untuk meberikan posisi yang jelas atas sebuah ideologi perjuangan tanpa terdistorsi atas stigma-stigma negatif yang dilabelkan oleh pemerintah kolonial.