Menjadi sipir lembaga pemasyarakatan memang menyenangkan, sekaligus menyedihkan. Betapa tidak. Menyenangkan karena ketemu banyak orang, tapi menyedihkan karena yang dihadapi adalah orang-orang terpilih. Terpilih karena tindak pidananya. Kenyataan ini sebenarnya ada sisi pilunya. Beban di hati, sekaligus pilu di rasa.
Mereka yang bekerja sebagai sipir lembaga pemasyarakatan harus pasang badan dan mental. Menghadapi beragam karakter individu narapidana (napi atau warga binaan), tentu sangat variatif. Pas waktunya mereka bisa bertindak santai dan kalem, pasti tindakannya tidak menyulitkan petugas napi.
Tetapi ketika para warga binaan mulai kangen dengan keluarganya dan tak bisa ditumpahkan pada siapa pun, mereka bisa saja bertindak galak. Perilaku galak semacam ini tak bisa dilunakkan secara mudah. Perlu pendekatan humanis agar mereka tak menyimpan dendam terhadap para sipir.
Tapi bukan tentang ini yang akan dibahas. Yang penting adalah komparasi antara mengubah perilaku para warga binaan dengan siswa PAUD, TK, atau bahkan SD saja. Begini komparasinya.
Dalam beberapa kesempatan seleksi tenaga sipir, yang dibutuhkan adalah lulusan SLTA dan ada juga yang sarjana, yang dalam pelaksanaan penempatannya, tak selalu ada di lorong penjara. Tugasnya sangat berat, yaitu mengubah perilaku mereka agar lebih baik, sehingga ketika kembali ke masyarakat, sudah berubah dan bisa diterima meskipun perlahan.
Bandingkan dengan mereka yang berprofesi sebagai guru sekolah tadi. Ia juga punya kewajiban mengubah karakter anak, hingga siswanya bisa mewarnai perilakunya dengan tindakan yang positif. Secara harfiah, kegiatan para guru ini lebih mudah sebab ia menghadapi peserta didik yang masih putih bersih. Diajak nyanyi, mereka pun cepat menirukan. Menghafal doa, juga bisa dengan mudah, serta hal-hal lain yang menyenangkan.
Berbeda dengan para sipir yang harus berhadapan dengan warga binaan berusia matang. Pasti mereka lebih sulit ditekuk perilakunya karena sudah lebih dewasa dan berpengalaman. Mereka juga tak mudah menerima perintah atau ajakan positif yang hanya sekadar teoretis. Tentu ada pertentangan yang mereka tunjukkan agar sipir juga paham bahwa warga binaan punya kekuatan dan kemampuan. Unjuk gigilah, kira-kira begitu istilahnya.
Akan tetapi, tuntutan secara keilmuan justru berbalik. Yang harusnya menghadapi para warga binaan, justru direkrut dari mereka yang lulusan SLTA, sedangkan untuk mendampingi anak didik di sekolah harus lulusan sarjana. Kira-kira lebih berat mana, antara menghadapi warga binaan di penjara, dengan siswa sekolah setara PAUD dan TK? Harus punya kemampuan berpikir, analisis, dan argumentatif mana di antara kedua kelompok tadi? Andaikata boleh ditukar kualifikasi jenjang pendidikannya, maka para sarjana akan lebih kritis dan taktis dalam menghadapi gejolak jiwa para warga binaan. Dan yang lulusan SLTA, juga tak kalah pintar jika mendidikan siswa PAUD dan TK.
Anda mungkin tak akan setuju dengan usulan ini. Salah satu alasan yang bisa ditebak adalah ketidakterimaan Anda jika anak Anda diajar oleh guru yang lulusan SLTA. Padahal, dalam hal ini saya tidak merendahkan lulusan SLTA atau pun meninggikan kedudukan para sarjana. Ini hanya sekadar membandingkan, agar masing-masing lulusan dengan kualifikasi memadai, bisa bekerja dengan keteguhan dan keyakinannya.
Para sipir lembaga pemasyarakatan, boleh saja berasal dari berbagai jurusan atau program studi di perguruan tinggi. Selain mereka diharapkan punya kemampuan emosional lebih mapan, mereka pun bisa menjadi instruktur dalam kegiatan pelatihan bagi warga binaan. Jumlah warga binaan yang makin hari makin banyak, dibutuhkan penanganan inovatif dalam membekali mereka dengan beragam keterampilan. Bagi mahasiswa, hal ini tidaklah sulit sebab mereka sudah menjalani proses pembelajaran semacam kuliah kerja nyata atau kuliah praktik apapun di kampusnya.
Yang masih SLTA dan menjadi guru di PAUD atau TK, pun ada kesempatan menjadi sarjana. Mereka bisa kuliah di sore hari, dengan waktu fleksibel. Kesempatan meraih jenjang kesarjanaan akan makin terbuka ketika instansi tempat mereka bekerja, juga membutuhkan guru bergelar sarjana. Setelah gelar tersebut diraih, akan ada dorongan agar para guru bisa mengusulkan pemerolehan tunjangan profesi sesuai aturan yang ada.
Dengan demikian, akan ada pemerataan beban jenjang kualifikasi pendidikan dengan beban kerja. Setimpal, pasti setimpal sebab para lulusan sarjana yang mayoritas mendekati usia dewasa akan berhadapan dengan warga binaan tak bisa saja tak jauh pautan usianya.
Justru dengan penataan rekrutmen semacam ini, akan tercipta suasana pembinaan yang lebih familiar dan atraktif. Akan ada banyak inovasi yang disampaikan oleh lulusan sarjana sebab ia diberi beban untuk menemukan formula pembinaan yang lebih mudah dipahami. Mereka tak lagi menerima pengetahuan yang itu-itu saja, turun temurun dari sipir senior kepada yuniornya.
Lantas, aspek apa yang menjadi keutamaan pengubah kedua kelompok tadi? Jawabannya adalah aspek akhlak. Baik warga binaan maupun siswa PAUD dan TK, sama-sama perlu dibekali dengan akhlak mulia. Alasannya sudah jelas, yaitu yang satu untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi, dan satunya adalah agar terbentuk akhlak baik untuk kehidupannya kelak.