Apa kesamaan Jakarta dan Amerika Serikat? Sama-sama belum pernah dipimpin perempuan. Untuk masalah presiden perempuan, Indonesia lebih unggul ketimbang Amerika, sebab sudah punya lebih dulu. Jakarta? Ibukota satu ini belum pernah sama sekali. Bahkan untuk jabatan wakil gubernur sekalipun.
Sempat terdengar nama Hasnaeni “Wanita Emas” Moein yang maju di Pilkada DKI Jakarta 2012, namun terjungkal manis.
Nama Tri Rismaharini alias Risma belakangan digadang sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Bukan wacana baru memang “menyeret” wanita tegas itu untuk membereskan Ibu Kota. Sepak terjang Risma sebagai Wali Kota Surabaya ternyata membuat sebagian warga Jakarta terpincut.
Mungkin bukan sepenuhnya aspirasi warga, ada pula kepentingan politik kalangan tertentu, mengingat sosok Risma yang sedemikian kuat. Ada Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengayunkan sinyal memasangkan Risma dengan Sandiaga Uno. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PDI Perjuangan pun memasukkan nama Risma dalam rencana mereka berkoalisi, walau ada nama lain, Budi Waseso.
Ada pula organisasi Gerak Indonesia, yang sudah 16 kali melancarkan deklarasi dukungan pada Risma untuk maju di Pilkada DKI. Kelompok lain, Jaklovers (Jakarta Love Risma), bahkan sampai rela melobi Risma ke Surabaya. Belum lama ini lahir deklarasi kelompok yang mengklaim bernama Persatuan Rakyat untuk Risma (Praktis).
Popularitas Risma sebagai pemimpin daerah memang menonjol. Bersama Ahok dan Ridwan Kamil, Risma disebut sebagai nama yang potensial dalam Pilkada Jakarta, setidaknya menurut survei Pusat Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia.
Pertanyaannya adalah, apakah Jakarta benar-benar sudah siap memiliki gubernur perempuan?
Sejak dipimpin gubernur pada 1945, DKI Jakarta belum sekalipun dipimpin wanita. Sebanyak 17 gubernur DKI 100% pria, juga wakilnya. Kendati kota metropolitan itu majemuk, sulit dipungkiri bahwa Jakarta merupakan kota yang masih patriarkis. Pertama kali Jakarta punya wali kota perempuan baru terjadi pada 2008, Sylviana Murni, yang memimpin Jakarta Pusat.
Jabatan camat atau lurah pun hanya segelintir saja yang dipegang kaum hawa. Dari sini tergambar bahwa semodern-modernnya Jakarta tetap saja ada aroma patriarkis. Jangan lupakan fakta bahwa Jakarta merupakan markas sejumlah organisasi kemasyarakatan yang dikenal anti terhadap pemimpin wanita.
Hal itu mengingatkan kita pada Amerika Serikat. Seliberal-liberalnya negara itu, tetap saja belum punya presiden wanita terpilih. Ini tak dapat lepas dari kuatnya pengaruh kelompok fundamentalis di sana, yang masih menganggap wanita tak layak memimpin negara. Pertarungan antara Donald Trump melawan Hillary Clinton sekarang ini menjadi semacam babak penentu apakah Amerika Serikat sudah mampu menerima pemimpin perempuan.
Sedikit berandai-andai, apabila Risma maju di Pilkada DKI Jakarta, itu pun menjadi penentu apakah warga Jakarta benar-benar ikhlas dipimpin seorang perempuan.
Risma bukan wanita kebanyakan, memang. Surabaya yang identik dengan suasana panas, arek-arek lugas, cocok dengan karakter Risma yang tegas, keras, dan ceplas-ceplos. Risma bukan tipikal pejabat perempuan yang gemar berdandan, tampil glamour, berperilaku remah gemulai. Dia lebih seperti perempuan tomboi yang perkasa, gesit, dan tidak suka basa-basi.
Tanpa tedeng aling-aling Risma menutup lokalisasi Dolly, yang belum pernah dilakukan wali kota sebelumnya. Dia pun tak segan melakukan razia ke tempat-tempat hiburan malam untuk menjemput pulang anak-anak di bawah umur. Mengaku memulai aktivitas sejak usai salat subuh, Risma dapat dikatakan menghabiskan waktu dan energinya bagi kota yang dipimpinnya. Bagaikan ibu yang galak, tegas, penuh kasih, itulah Risma bagi Surabaya.
Apa benar Jakarta siap dipimpin wanita? Sebuah pertanyaan yang hanya bisa dijawab warga Jakarta. Bukan partai atau kelompok lain yang sekadar punya kepentingan politik atau bisnis.