Kamis, April 25, 2024

Setelah Genjatan Senjata di Suriah Disepakati

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah

int-suriahDua wanita berjalan diantara reruntuhan kota al-Shadadi, provinsi Hasaka, Suriah, Jumat (26/2). ANTARA FOTO/REUTERS/Rodi Said/djo/16

Setelah lima tahun terjadi perang saudara yang melelahkan, pemerintah Suriah dan pemberontak akhirnya menyepakati gencatan senjata yang berlaku efektif 27 Februari 2016. Semua ini tidak lepas dari peran Moskow dan Washington yang menyetujui agar gencatan senjata di Suriah diwujudkan. Sebab, seperti tahun sebelumnya, tanpa campur tangan Moskow dan Washington gencatan senjata di Suriah selalu gagal.

Perjanjian gencatan senjata di Suriah memang sangat mendesak ditempuh karena beberapa alasan. Pertama, perang Suriah yang berawal dari krisis politik telah menjelma menjadi krisis kemanusiaan yang hebat. Lembaga Pemantau HAM Suriah mengatakan, lebih dari 270 ribu orang tewas.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga melaporkan, lebih dari separuh penduduk Suriah telah menjadi pengungsi di berbagai negara, 83% infrastruktur kelistrikan di negeri ini hancur, ekonomi terhenti karena tutupnya berbagai tempat usaha, dan banyak orang kelaparan. Gencatan senjata akan membantu PBB menyalurkan bantuan kemanusiaan yang menjangkau kawasan terkena dampak peperangan paling keras di garis depan.

Kedua, perjanjian gencatan senjata merupakan langkah awal menuju perundingan damai di Jenewa yang tengah dipersiapkan PBB. Perundingan damai Suriah sebelumnya sempat digelar pada awal Februari 2016, namun terhenti gara-gara kedua kubu di lapangan saling melancarkan serangan. Tanpa ada perjanjian gencatan senjata, perundingan damai semakin mustahil dilaksanakan.

Ketiga, gencatan senjata ini tidak berlaku bagi Negara Islam (ISIS) dan Jabhat Nusra (cabang Al-Qaidah di Suriah). Moskow dan Washington telah berkomitmen tidak ada kompromi bagi kelompok teroris seperti ISIS. Adanya gencatan senjata ini diharapkan dapat memetakan mana kelompok oposisi Suriah moderat dan mana kelompok teroris yang selama ini mengambil keuntungan dari perang Suriah, meski praktiknya tidak mudah. Sebab, di lapangan, kelompok seperti Jabhat Nusra terbukti melakukan operasi gabungan atau kerja sama dengan kelompok oposisi (moderat) dalam menghadapi tentara Suriah.

Keempat, Suriah selama ini kehilangan banyak wilayahnya karena jatuh ke tangan ISIS dan mengalami kesulitan merebut kembali. Bahkan ISIS menjadikan kota Raqqah di Suriah sebagai benteng pertahanan mereka. Berbeda dengan di Irak, tentara Irak relatif mengalami kemajuan signifikan merebut kembali kota-kota penting seperti Tikrit dan Ramadi dari ISIS.

Perang Suriah memang jauh lebih rumit dibanding Irak. Oleh sebab itu, dengan gencatan senjata ini, ada harapan tentara Suriah dan Rusia (atau juga koalisi Amerika) bisa lebih fokus memerangi ISIS dan Jabhat Nusrah (Al-Qaidah).

Kemungkinan berhasilnya perjanjian gencatan senjata kali ini lebih tinggi dari gencatan-gencatan sebelumnya. Satu-satunya yang dinilai sebagai ancaman gagalnya gencatan senjata kali ini justru datang dari negara tetangga Suriah, yakni Turki. Sebab, Turki menilai gencatan senjata Suriah tidak mengikat dirinya, dan Turki berhak melancarkan serangan ke milisi Kurdi Suriah yang terhimpun dalam Unit Pertahanan Rakyat (YPG) yang dianggapnya kelompok teroris yang mengancam keamanan nasional Turki.

Yang terjadi di Suriah bukan lagi isu kawasan semata, melainkan juga permasalahan bagi semua masyarakat internasional. Siapa menyangka Indonesia yang jauh dari konflik Suriah juga terkena efek gejolak di Suriah. Ratusan WNI tanpa diduga diam-diam turut serta dalam konflik bersenjata Suriah atas nama perang suci.

Suriah seolah begitu dekat bagi sebagian orang-orang. Yang memprihatinkan, orang-orang ini merasa paling mengetahui apa yang benar-benar terjadi di sana. Bahkan melebihi orang Suriah sendiri. Padahal Syekh Prof. Dr. Taufiq al-Buthi bukan hanya orang Suriah, dia juga Ketua Ikatan Ulama Syam (Suriah) dan putra Syekh Ramadhan al-Buthi, seorang ulama besar di Suriah yang wafat karena serangan bom bunuh diri kaum ekstremis di sebuah masjid di Damaskus pada 2013 silam.

Syekh Taufiq al-Buthi baru saja mengunjungi Indonesia dan berkeliling ke beberapa universitas dan pesantren. Dalam salah satu pernyataannya, dia menyampaikan pesan kepada Indonesia, khususnya umat Islam, “Selama ini di Suriah tidak pernah terjadi konflik sektarian, yang membenturkan antar mazhab atau antar agama. Karena ulah asing, maka terjadi konflik yang tak berkesudahan.”

Pada Kamis (10/3) Syekh Taufiq al-Buthi berkunjung ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan disambut Rais ‘Am PBNU KH Ma’ruf Amin yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Suriah juga seperti Indonesia terdiri dari beberapa suku, agama dan bahasa,” kata ulama beretnis Kurdi itu.

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.