Dalam altar pemberantasan korupsi, ada term corruptors fight back alias perlawanan balik koruptor atas proses hukum yang menimpanya. Artinya, seorang koruptor berusaha menyusun langkah yang sistematis dan terpola untuk melancarkan serangan balik nan spartan kepada siapa pun yang telah menuduhnya melakukan korupsi.
Adresatnya adalah, selain sebagai psywar, serangan balik juga menjadi benteng pertahanan ketika ia terus digempur oleh aparat penegak hukum (baca: Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK), sembari menyiapkan langkah-langkah strategis agar ia terlepas bebas dari tuduhan korupsi.
Pada dasarnya serangan balik koruptor itu purwarupa, menggunakan banyak modus operandi, mulai dari cara halus sampai kasar. Dari iming-iming uang, jabatan, sampai risiko di-Denny-kan bahkan di-Munir-kan. Tak jarang juga koruptor “membayar” sekelompok orang untuk berdemonstrasi guna membela dan mendukungnya. Terkait hal ini, meminjam istilah Tan Malaka, mereka kita sebut sebagai barisan kaum demagog: orang-orang yang menyesatkan demi kepentingan pribadinya.
Di luar itu, ada pula yang menggunakan tameng upaya hukum legal seperti praperadilan. Ihwal praperadilan ini, Mahkamah Konstitusi telah memperluas episentrumnya. Tidak hanya yang disebutkan dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi juga menyangkut penetapan tersangka. Ini seperti menjadi angin segar bagi koruptor.
Memanfaatkan Perluasan Objek Praperadilan
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan No. 21/PUU-XII/2014, yang mengabulkan permohonan Bahtiar Abdul Fatah (proyek biomediasi PT Chevron) tentang penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan. Putusan MK tersebut adalah seirama dengan putusan hakim Sarpin Rizaldi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menerima permohonan praperadilan Budi Gunawan atas penetapan tersangkanya oleh KPK.
Jadi, putusan MK tersebut sesungguhnya mengokohkan keberanian dan nekatnya Hakim Sarpin dalam memperluas objek praperadilan. Ia melakukan interpretasi terhadap Pasal 77 KUHAP.
Imbas dari putusan-putusan tersebut adalah banjirnya permohonan praperadilan atas penetapan tersangka pada semua pengadilan negeri di Indonesia. Ini juga menjadi momentum dan angin segar bagi orang-orang yang ditersangkakan oleh KPK untuk melakukan praperadilan.
Bila dirunut ke belakang, KPK telah berulangkali meladeni berbagai permohonan praperadilan dengan dalih tidak sahnya penetapan tersangka. Mulai dari pengacara kondang O.C Kaligis, mantan panitera PN Jakarta Utara, Rohadi, mantan Menteri ESDM Jero Wacik, mantan Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana, dan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali.
Selain itu, gugatan juga pernah diajukan oleh mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, mantan Wakapolri Budi Gunawan, mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.
Dari sekian banyak permohonan praperadilan tersebut, KPK hanya mengalami tiga kekalahan, yakni dalam perkara Budi Gunawan, Hadi Poernomo, dan Ilham Arief Sirajuddin. Kecuali Budi Gunawan, setelah dikalahkan, KPK kembali menersangkakan Ilham Arief dan Hadi Poernomo. Terkini ada dua lagi pejabat yang ditersangkakan oleh KPK, yakni mantan Wakil Ketua DPD RI Irman Gusman dan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Kedua tersangka itu kini mengajukan upaya hukum serupa: praperadilan.
Substansi Praperadilan
Kalau kita memperhatikan dalil gugatan praperadilan dari para tersangka korupsi, tampaknya tidak jauh berbeda satu sama lain. Paling tidak pusarannya terletak pada tiga hal. Pertama, ihwal kepastian jumlah kerugian negara. Kedua, keabsahan status penyidik KPK (seperti Novel Baswedan yang telah mengundurkan diri dari instansi Polri). Ketiga, tersangka belum pernah dimintai keterangan atau diperiksa oleh KPK.
Bila diperhatikan seksama, tiga hal ini pula yang mengemuka pada permohonan praperadilan Nur Alam. Bagaimanakah kontekstualitas yuridis dari tiga poin tersebut?
Kerugian negara adalah salah satu syarat mutlak yang dibutuhkan dalam menentukan ada- tidaknya tindak pidana korupsi. Syarat yang lain adalah adanya perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan wewenang, termasuk juga adanya gratifikasi berupa suap.
Mengenai kerugian negara secara eksplisit telah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penting saya tegaskan di sini bahwa inti (bestanddeel) “merugikan keuangan negara” didahului oleh frasa “dapat”. Artinya yang terjadi adalah potensial lost bukan aktual lost.
Jadi, ketika KPK menduga telah terjadi tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara, maka seketika itu pula ia berwenang melakukan penyelidikan. Hasil penyelidikan ini kemudian dapat dimintakan penghitungan jumlah kerugian negara kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau ahli yang lain. Adanya hasil penghitungan keuangan negara tersebut kemudian dijadikan bukti bagi KPK pada saat persidangan di pengadilan.
Dengan begitu, jika tersangka korupsi mempersoalkan belum pastinya jumlah kerugian negara pada tahap penyelidikan, maka hal itu terlalu sumir, sebab Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengenakan potensial lost. Adapun aktual lost-nya dapat dimintakan kemudian.
Lalu, bertalian dengan keabsahan status penyidik KPK. Pada Pasal 45 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan bahwa penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Tafsir letterlijk atas pasal ini adalah bahwa KPK berwenang mengangkat sendiri penyidiknya. Jadi, penyidik KPK tidak mesti harus berasal dari instansi kepolisian.
Hal ini juga bermakna bahwa kerja penyidikan korupsi adalah bukan sesuatu yang tidak dapat dipelajari. Meskipun Pasal 39 ayat (3) UU KPK menegaskan bahwa penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari kepolisian dan kejaksaan sebelum menjadi pegawai KPK. Namun demikian, ketentuan ini hanya berkorelasi dengan syarat bagi penyidik, penyelidik, dan penuntut umum yang berasal dari kedua instansi tersebut.
Ketentuan ini juga secara implisit tidak mengharuskan penyelidik dan penyidik KPK selalu berasal dari kepolisian. Karena itu, dalam konteks Novel Baswedan, misalnya, ia telah mengundurkan diri sebagai penyidik Polri tetapi NB tetap saja menjadi pegawai KPK yang ditugaskan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. NB diangkat dan diberhentikan oleh KPK.
Terakhir adalah mengenai tersangka yang belum diperiksa terlebih dahulu. Dalam kasus Nur Alam, pimpinan KPK menyatakan bahwa NA telah berulang kali dipanggil KPK tetapi tidak hadir dengan berbagai macam alasan. Akhirnya, KPK menetapkan NA sebagai tersangka tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu. Inilah kemudian yang menjadi dasar permohonan praperadilan NA.
Secara yuridis, tidak ada ketentuan yang mewajibkan bahwa seseorang mesti diperiksa terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini mendapatkan pembenaran empirik pada Pasal 1 butir 14 KUHAP dan Pasal 44 ayat (2) UU KPK. Pada kedua pasal tersebut seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka apabila telah diperoleh sekurang-kurangnya dua alat bukti sebagai bukti permulaan (prima facie evidence).
Dengan demikian, tak ada alasan bagi hakim praperadilan untuk menerima permohonan NA. Sebab, segala tindakan penyelidikan dan penyidikan KPK telah sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku dalam hukum acara pidana yang menekankan pada due process of law. Kendati demikian, publik tetap harus menunggu apakah KPK kembali dikalahkan dengan “serangan balik” melalui praperadilan atau semakin garang memberantas korupsi.