Bila anda bersekolah pada masa Orde Baru, obsesi terhadap keseragaman akan terasa seperti udara yang anda hirup. Melalui seluruh saluran yang tersedia, dengan kata-kata maupun kenyataan sehari-hari, mereka senantiasa berusaha membuat kami percaya bahwa pakaian seragam bisa membuat seseorang menjadi pusat perhatian, bahkan menjadi pusat kuasa. Bahwa seragam bisa mengangkat seseorang menjadi bagian terhormat di masyarakat. Bahwa kami sebaiknya bercita-cita menjadi orang dewasa yang mengenakan satu dari sekian seragam terhormat.
Mereka bahkan mengadakan perlombaan keseragaman badaniah dalam berbagai macam bentuk. Lomba gerak jalan, salah satunya. Lomba-lomba itu menjadi satu dari sekian parade di mana keseragaman tampak paling lengkap dan diarak keliling kota dan desa. Bukan hanya lomba keseragaman pakaian dan aksesoris, acara itu juga mempertandingkan keseragaman gerak tubuh dan suara yang ditimbulkannya.
Masing-masing tim memancang tujuan yang seragam pula, yaitu mencapai keseragaman sempurna. Seluruh tim dinilai dari kemampuan mereka mempertunjukkan keseragam dalam sebanyak mungkin aspek. Semakin seragam-dalam-segala-hal, semakin dekat mereka ke podium juara. Dalam perhelatan itu, keseragaman badaniah yang sempurna menjadi cita-cita, sebuah keadaan ideal yang didambakan.
Lomba gerak jalan juga adalah ritual, praktik yang diselenggarakan pada jadwal tertentu. Dan kami, anak-anak sekolah Orde Baru, berlomba menjadi yang paling seragam untuk menyambut Hari Kemerdekaan. Karena berlangsung cukup lama, ritual itu kemudian membentuk tradisi, bahkan menjadi sesuatu yang alamiah. Waktu kecil saya membayangkan ritual itu sebagai sesuatu yang abadi—pasti ada setiap tahun sebagaimana lebaran.
Menggambarkan masa kecilnya, Umberto Eco mengungkap pengalaman serupa.
“Itu masa yang aneh. Mussolini sangat karismatik, dan sebagaimana banyak anak sekolah Italia pada masa itu, saya mendaftarkan diri pada gerakan pemuda Fasis. Kami semua diwajibkan mengenakan seragam bergaya militer dan menghadiri demonstrasi pada hari Sabtu, dan kami merasa sangat bahagia melakukannya […] Bagi kami anak-anak, seluruh tindakan itu terasa sangat alami, seperti salju pada musim dingin dan hawa panas pada musim panas. Kami tak dapat membayangkan ada cara lain untuk menjalani hidup.” (Paris Review 2008)
Tapi upaya menjadikan keseragaman sebagai cita-cita tak hanya diajarkan dalam ritual gerak jalan—yang kini sudah lenyap di banyak tempat. Pendisiplinan bukan hanya dilakukan pada tubuh-tubuh kami.
***
AWAL 1997, saya berdiri di hadapan murid kelas lima sekolah dasar di satu desa di kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Guru mereka tak datang dan saya menawarkan diri menggantikan perannya. Saat itu jam pelajaran Bahasa Indonesia. Mengingat tak banyak yang bisa saya lakukan untuk mengisi kurikulum berjalan, saya mengambil jalan pintas dengan meminta mereka menerapkan salah satu keterampilan berbahasa yang saya asumsikan berlaku dalam pengajaran bahasa di mana pun. Saya mengajak mereka mengarang.
Agar mereka tak memulai tulisan dengan formula seragam, “Pada suatu hari”, merujuk pada pengalaman dan cerita kawan-kawan dari berbagai penjuru di Indonesia, saya meminta mereka menceritakan apa yang mereka lakukan pada hari sebelumnya. Mereka pun menulis.
Sekitar dua puluh menit berlalu, saya meminta mereka berhenti menulis. Tulisan tidak harus selesai, kata saya ketika melihat mereka ragu. Saya lalu meminta salah satu gadis kecil membacakan hasil karangannya. Dia membaca pelan, “Pada hari minggu kuturut ayah ke kota, naik delman istimewa kududuk di muka .…” Saya tercekat. Dengan berusaha tetap sopan, saya memintanya berhenti membaca, lalu meminta seorang bocah pria membacakan hasil karyanya.
“Pada hari minggu kuturut ayah ke kota, naik delman istimewa kududuk di muka .…”
Setiap anak yang saya minta membacakan hasil karangan mengulang syair yang sama. Tak sanggup lagi mendengar ulangan lagu itu, saya berhenti meminta setelah empat atau lima anak membacakan karangan. Rupanya, saya memang berhasil menghindarkan mereka memulai dengan menulis “pada suatu hari …”, tetapi saya gagal membuat mereka menulis pengalaman pribadi yang tentu berbeda. Dan kebetulan hari itu Senin.
Kata “mengarang”, dalam arti menggubah sesuatu dengan bebas dalam bentuk tulisan, rupanya belum berlaku bagi mereka.
Tragedi yang saya alami dalam kelas mengarang itu mewakili pendisiplinan pada level selanjutnya, pendisiplinan cara berpikir. Saya dan banyak orang lain mengalami proses serupa.
Sejak kecil kami ditempa untuk berpikir seragam. Kami diajar dengan buku ajar yang seragam, oleh guru yang menggunakan kurikulum yang dalam banyak hal seragam, dengan cara yang nyaris seragam pula. Para guru kami pun diajar dengan cara mereka mengajar kami—atau setidaknya begitu harapan rezim: keseragaman harus berlangsung antargenerasi dan merentang ke seluruh penjuru negeri. Cita-cita masa depan kami pun diseragamkan, pekerjaan-pekerjaan kerah putih.
Duduk di kelas mata pelajaran kesenian kami selalu mulai dengan menggambar dua gunung, lalu seruas jalan di bawahnya dan matahari bulat di atasnya. Semua hal yang indah, yang benar, yang ideal, sudah ditentukan sebelumnya.
Setiap tahun kami melewati dua sampai tiga ujian pilihan ganda. Di sana sudah ada satu solusi bagi setiap soal, kami hanya perlu memilihnya. Semua telah disediakan. Bila kami memilih jawaban yang keliru, itu selalu berarti bahwa kami tidak mengikuti pelajaran dengan patuh sehingga gagal menghafalkan buku pelajaran, yang di dalamnya semua kunci jawaban sudah tersedia. Di sini tak ada telaah. Guru tak pernah dan tak perlu tahu mengapa kami tiba pada pilihan jawaban A dan bukan B, atau C atau D yang sudah ditetapkan sebagai jawaban yang betul—entah di mana dan oleh siapa.
Pelan-pelan kami diajak berpikir bahwa satu jalur penalaran sudah ditetapkan dan kami tak boleh melenceng. Kami cuma perlu menghafalkan jalur itu agar bisa selamat melewati ujian demi ujian. Kami tak perlu repot-repot berpikir untuk membuat jalul alternatif. Dalam piliihan ganda, hanya ada satu solusi yang betul bagi setiap persoalan. Jawaban selain itu pasti keliru. Tak ada diskusi. Di sekolah, kami tak dilatih berpikir, apalagi berpikir beda.
Dengan begitu, bagi rezim Orde Baru, baju seragam hanyalah “bagian dari keseluruhan lingkungan yang harus diatur (sebagaimana penjara, asrama, atau [barak] militer), di mana penampilan, bahasa, perilaku, dan gerak tubuh juga menjadi sasaran bagi pengendalian yang bersifat hierarkis dalam dosis yang tinggi.”
***
TAPI, sebagaimana di tempat lain, kerja pendisiplinan semacam itu selalu gagal bekerja sempurna. Kami yang sepanjang masa sekolah dibimbing oleh ideologi Orde Baru mungkin kini telah berhadapan dengan kenyataan hidup yang beraneka ragam—yang timpang dalam banyak perkara. Ketika dewasa, kami menyaksikan betapa berlomba menuju keseragaman sungguh tak selalu membuat kami mendapatkan apa yang dijanjikan ketika kami kecil (setelah dewasa Umberto Eco pun tak lagi menganggap parade keseragaman pada kurun Mussolini sebagai “salju pada musim dingin”).
Bahkan, ketika kerja pendisiplinan itu tengah diterapkan kepada kami nyaris setiap hari, perlawanan-perlawanan kecil senantiasa berlangsung dalam beraneka bentuk. Kami memotong dan menyempitkan ujung celana. Kami melipat lengan baju dan membuka satu dua kancing paling atas. Kami membebaskan ujung bawah kemeja dari bekapan ikat pinggang. Kami melewatkan satu dua kelas dan pekerjaan rumah, sambil diam-diam membentuk bayangan akan masa depan kami sendiri, dan puncaknya kami membuat parade pembangkangan dengan berkeliling kota mengenakan baju seragam yang bertabur mural dan sobekan pada hari kelulusan.
Dari waktu ke waktu, banyak dari kami memilih untuk tidak patuh—sebagaimana terjadi pada anak sekolah di tempat dan masa berbeda. Meskipun akhirnya nyaris seluruh perlawanan itu diganjar hukuman, perlawanan tak pernah pupus. Sebab tindakan melawan itu sendiri punya sensasi luar biasa. Sensasi yang mencapai puncaknya ketika kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri rezim itu akhirnya tumbang.
Namun di balik seluruh sensasi itu dan hal-hal baik yang mengikutinya, sejumlah pertanyaan masih tersisa. Bagaimana bila rezim Orde Baru terlanjur berhasil menanamkan cara berpikir ala pilihan ganda, “bila solusi anda tak sama dengan saya, anda pasti keliru”? Bagaimana bila mereka ternyata bisa mewariskan impian akan sebuah masyarakat sempurna dengan keseragaman badaniah sebagai penandanya?