Jumat, September 12, 2025

Sensor Buku: Ketika Perpustakaan Menjadi Medan Perang Ideologi

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Ketika Michael Dirda, kritikus buku pemenang Penghargaan Pulitzer, baru berusia enam tahun, ayahnya membawanya ke sebuah perpustakaan cabang kecil di Lorain, Ohio. Ini adalah pengalaman pertama Michael dengan perpustakaan. Sang ayah, yang putus sekolah di usia 16, juga tampaknya sudah lama tidak menginjakkan kaki di tempat semacam itu. Ia terlihat jelas tak nyaman, memilih berdiri di pojok sambil sekilas melihat-lihat gambar dalam edisi bergambar yang belakangan Michael ketahui sebagai “Moby-Dick”.

Dengan kartu perpustakaan anak-anak yang baru ia genggam, Michael kecil penuh semangat memilih beberapa buku yang menarik perhatiannya. Namun, pengawas perpustakaan yang sudah berumur itu menghampirinya. “Oh, tidak, anak muda,” katanya, atau setidaknya begitulah yang Michael ingat. “Buku-buku ini terlalu sulit untukmu.” Harapannya pupus; ia tak diizinkan meminjam buku-buku pilihannya. Sebagai gantinya, ia terpaksa membawa pulang dua atau tiga buku tentang monyet nakal Curious George, yang dianggap lebih sesuai usianya. Meski lumayan menghibur, buku-buku itu jauh dari apa yang ia inginkan. Dua minggu kemudian, buku-buku bergambar itu dikembalikan, dan Michael tak pernah lagi menginjakkan kaki di perpustakaan cabang itu. Dari sinilah, benih kebencian seumur hidupnya terhadap pelarangan buku dan segala bentuk sensor sastra mulai tumbuh.

Momen penting kedua, dengan hasil yang lebih manis, terjadi saat ia duduk di kelas enam. Michael sangat ingin menyelami misteri-misteri Agatha Christie, namun terhalang aturan: butuh kartu peminjam dewasa, yang baru bisa didapat di awal kelas tujuh. Beruntung, sang ibu memiliki kartu semacam itu, meski tak pernah digunakan, yang tertera nama “Ny. Michael Dirda”. Penunjukan ini menjadi kunci rencana cerdik Michael. Ia menyadari, ayah dan dirinya berbagi nama depan yang sama.

Pada suatu Sabtu sore yang cerah, ia mengayuh sepeda Roadmaster merahnya menuju perpustakaan utama kota yang baru dibangun. Setelah memilih tiga novel detektif Hercule Poirot, di meja kasir ia dengan sigap menunjukkan kartu ibunya, sambil ibu jarinya menutupi kata “Ny.” yang jadi petunjuk. Pustakawan melirik buku-buku Christie, sedikit ragu pada tanda tangan ketik yang tersembunyi, menatap Michael lama, lalu tersenyum dan mengecap ketiga novel misteri itu. Sejak saat itu, dunia buku anak-anak tak lagi menarik baginya.

Michael Dirda teringat kembali kenangan-kenangan lamanya saat membaca buku “On Book Banning” karya Ira Wells, sebuah karya yang lugas dan tajam. Wells, seorang kritikus dan profesor dari Victoria College, University of Toronto, mengamati bagaimana upaya kontrol perpustakaan yang sangat terpolitisasi, terutama di perpustakaan sekolah, tak lebih dari serangan terhadap pengetahuan dan kebebasan berekspresi. Untuk menekankan betapa seriusnya masalah ini, Wells menyoroti ekses-ekses keterlaluan dari kedua belah pihak—kubu kanan dan kiri—yang ironisnya sama-sama mengklaim ingin melindungi anak-anak dan kaum muda dari “bahaya”.

Dalam bab pembuka bukunya, Wells mengungkapkan fakta mencengangkan: pada tahun 2022, seorang pustakawan di sekolah dasar tempat anak-anaknya bersekolah menyatakan keinginannya untuk membuang semua buku “lama”. Yang ia maksud dengan “lama” adalah buku-buku yang diterbitkan sebelum tahun 2008. Alasannya? Buku-buku tersebut dituding menyebarkan stereotip yang tidak pantas, memperkuat prasangka, serta kurang menghadirkan karakter yang beragam ras dan etnis atau membahas isu-isu kontemporer yang mendesak tentang identitas seksual. Mirisnya, beberapa perpustakaan di Kanada benar-benar membersihkan rak-rak mereka dari “buku-buku lama” ini, bahkan ada yang membuang separuh koleksinya ke tempat pembuangan sampah.

Di sisi lain, Wells melanjutkan, para aktivis konservatif di Florida (dan di banyak tempat lain) rutin menentang buku apa pun yang mengusung nilai keberagaman, kesetaraan, dan inklusivitas seksual. Karya-karya semacam itu dituduh menanamkan rasa bersalah pada kaum kulit putih atau “membimbing” anak-anak untuk menerima, bahkan mengadopsi identitas LGBTQ+. Wells menarik perhatian pada pola yang mengkhawatirkan: judul-judul yang menjadi target sensor ini sering kali terkait dengan kelompok masyarakat yang paling dihina dan dilukai. Ia mempertanyakan, apakah ini sebuah kebetulan, seperti yang terjadi pada upaya pelarangan buku di Amerika tahun 1930-an, di mana “90 persen dari mereka yang didakwa dengan ketidaksenonohan adalah orang Yahudi?” Ini memunculkan pertanyaan kritis tentang motif di balik setiap gelombang sensor.

Ironisnya, baik kelompok ultra-progresif maupun ultra-konservatif berbagi satu tujuan: membersihkan perpustakaan dari buku-buku yang tidak sesuai dengan pandangan mereka. Namun, menurut Wells, sikap mereka ini, selain sangat ideologis, keliru, dan kejam, juga ketinggalan zaman. Di era digital ini, kaum muda nyaris tidak membaca buku selain yang diwajibkan sekolah. Sebaliknya, mereka menghabiskan rata-rata empat jam sehari berinteraksi dengan ponsel pintar mereka. Wells berargumen, jika para aktivis ini benar-benar peduli pada kesejahteraan anak, mereka seharusnya memusatkan perhatian pada pembatasan penggunaan ponsel dan akses media sosial. Lebih jauh, baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan gagal memahami membaca sebagai pengalaman estetika atau sarana perkembangan intelektual; bagi mereka, buku hanyalah alat propaganda dan indoktrinasi.

Membaca sejati tidak bekerja seperti itu. Wells menjelaskan, “Ketika sastra membuka percakapan, sensor justru menutupnya. Ketika sastra memprovokasi pertanyaan, sensor menuntut jawaban. Ketika sastra menggoyahkan kita dengan ambiguitas—pemahaman bahwa makna sebuah teks tidak pernah final—sensor berusaha menenangkan kita dengan kemutlakan moral.” Meskipun beberapa buku memang berfungsi sebagai cermin di mana seseorang bisa melihat dirinya sendiri, sebagian besar berperan sebagai portal, pintu gerbang menuju pengetahuan dan pengalaman baru. Ada pula yang menawarkan pelarian dari hiruk pikuk kehidupan. Ketika Michael Dirda sendiri beralih ke buku saat kecil dan remaja, ia tidak mencari penegasan identitasnya, melainkan ingin melampauinya.

Secara umum, Dirda menganggap kurikulum sekolah saat ini yang terlalu terfokus pada karya-karya penulis yang masih hidup sebagai hal yang keliru. Dalihnya adalah relevansi, tetapi bukankah justru penulis dan buku kontemporer adalah yang akan dicari sendiri oleh kaum muda jika perpustakaan sekolah lengkap dan didanai dengan baik? Seharusnya, kelas bisa lebih fokus pada karya-karya yang teruji waktu yang mampu membangkitkan imajinasi kreatif. Misalnya, pelajaran membaca di sekolah dasar bisa menekankan pada cerita rakyat, dongeng, dan mitologi dunia—fondasi dari begitu banyak sastra, seni, dan musik kita.

- Advertisement -

Perpustakaan sekolah kemudian bisa menyediakan karya-karya masa kini yang lebih diminati dan relevan bagi siswa, sekaligus memperkuat kebiasaan membaca. Ini termasuk biografi pahlawan olahraga, buku-buku terlaris Stephen King, novel grafis dan manga, sejarah hip-hop, dan buku-buku yang membahas kegelisahan remaja serta kebingungan seksual. Buku-buku terakhir ini wajib tersedia bagi setiap anak yang membutuhkan atau sekadar ingin memahami apa yang sedang terjadi. Pada akhirnya, manfaat sosial terbesar dari membaca luas adalah pengembangan empati terhadap orang lain.

Pada akhirnya, usaha melarang buku selalu menemui kegagalan dalam jangka panjang. Kampanye sensor, meskipun sejak awal menjijikkan dan menyakitkan, akan terlihat lusuh atau bahkan aneh seiring berjalannya waktu. Ambil contoh The New York Society for the Suppression of Vice, yang didirikan pada tahun 1873 oleh Anthony Comstock—seorang yang pemikirannya tercermin dalam judul bukunya: “Moral, Bukan Seni atau Sastra.”

Pada tahun 1920, organisasi ini menyeret penulis James Branch Cabell ke pengadilan gara-gara novelnya tahun 1919, “Jurgen”. Untuk memahami mengapa karya yang kini menjadi klasik minor itu dituduh “cabul, tidak senonoh, mesum, dan tidak pantas,” Michael Dirda mencari dan membacanya sendiri.

Berlatar di alam Poictesme yang bergaya abad pertengahan, “Jurgen” adalah fantasi filosofis yang mengisahkan perjalanan seorang pahlawan paruh baya. Ia menembus waktu, merebut kembali masa mudanya di “taman antara fajar dan matahari terbit,” dan terlibat dalam berbagai petualangan asmara—termasuk dengan Guinevere sebelum menikah dengan Raja Arthur. Sang pahlawan bahkan dikirim ke neraka, lalu ke surga, sebelum akhirnya kembali sebagai pria yang lebih bijaksana kepada istrinya yang penuh kasih namun cerewet.

Cabell sendiri saat itu memasuki usia 40-an, dengan sederet novel yang dikagumi tapi kurang dikenal. Namun, sorotan media akibat upaya sensor terhadap “Jurgen”—yang berhasil dibela oleh John Quinn, kolektor terkenal karya James Joyce dan modernis lainnya—dengan cepat mengangkat namanya ke kancah dunia. Bahkan, seorang Scott Fitzgerald pun sampai memohon Cabell untuk menyumbangkan ulasan untuk karyanya, “The Beautiful and Damned.”

“Jurgen” ternyata mengejutkan pembaca dengan keindahan gayanya yang teliti dan ironis secara halus. Meskipun ada beberapa kiasan seksual yang agak mengganggu, novel ini sangat menyentuh dengan kesedihan yang meresap tentang cinta pertama dan pilihan hidup yang tak diambil. Dalam banyak hal, ini adalah novel hebat tentang krisis paruh baya, namun juga sangat lucu. Ada Raja Troll Thragnar yang menyeramkan—penculik Guinevere—yang meninggalkan catatan di dekat singgasananya: “Tidak ada karena urusan penting. Akan kembali dalam satu jam.” Bahkan Iblis pun mengakui bahwa istrinya tidak memahaminya.

Bahkan Pencipta alam semesta dalam novel itu, yang digambarkan sebagai sosok kulit hitam yang stres, bekerja di balik pintu bertuliskan “Kantor Manajer — Dilarang Masuk.” “Jurgen” juga menampilkan sebuah kalimat tour de force yang penuh metafora campur aduk: “Memang, adalah hal yang menyedihkan, Sylvia, dibunuh oleh tangan yang, ibaratnya, bersumpah untuk menjaga kesejahteraanmu, dan yang seharusnya melayanimu berlutut.”

Sayangnya, meskipun “Jurgen” terus dikagumi hingga kini—bahkan mendapatkan edisi mewah dari Limited Editions Club pada tahun 1976—bintang Cabell mulai meredup pada akhir 1930-an. Namun, jika Anda familiar dengan novel “Stranger in a Strange Land” karya Robert A. Heinlein, Anda mungkin tanpa sadar telah merasakan perpaduan khas Cabellian antara fantasi, ironi, seks, dan pertanyaan filosofis yang kuat.

Seperti yang ditegaskan Edward de Grazia dalam studinya tahun 1992, “Girls Lean Back Everywhere: The Law of Obscenity and the Assault on Genius,” buku-buku yang diserang oleh satu generasi sering kali menjelma menjadi klasik di generasi berikutnya. (Menariknya, judul mencolok de Grazia ini terinspirasi dari pernyataan Jane Heap—salah satu editor Little Review—saat membela bab “Nausicaa” dari “Ulysses” karya James Joyce dari tuduhan kecabulan).

Selain “Jurgen” dan “Ulysses,” kita bisa melihat contoh lain seperti “Lady Chatterley’s Lover” karya D.H. Lawrence, “Tropic of Cancer” karya Henry Miller, “Howl” karya Allen Ginsberg, “Lolita” karya Vladimir Nabokov, dan banyak judul lain yang dulunya tabu namun kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kanon sastra. Hari ini, “Fanny Hill” karya John Cleland bahkan tersedia sebagai Penguin Classic. Michael Dirda sendiri, di usia 16 tahun, masih ingat betapa gugupnya ia saat membeli novel itu di Toko Cerutu Rusine; buku itu dikeluarkan dari balik konter, tersegel dalam selofan.

Pada dasarnya, sensor buku, mirip dengan Comstockery (gerakan moralis yang melarang hal-hal “tidak senonoh”) dan Prohibisi (pelarangan alkohol), pada akhirnya bertujuan untuk membentuk manusia menjadi “orang suci kecil.” Namun, seperti yang diungkapkan H.L. Mencken bertahun-tahun lalu, “Yang mengganggu sastra Amerika, pada dasarnya, adalah apa yang mengganggu seluruh budaya Amerika—yang disebut sopan: khayalan akan tugas moral.” Upaya ini tidak akan pernah berhasil.

Salah satu respons terbaik terhadap fanatisme Puritan semacam itu adalah dengan menjadi benar-benar dan tanpa malu-malu “promiscuous” dalam membaca: bacalah apa pun yang menarik minat Anda, tanpa batasan. Ini adalah kebebasan sejati seorang pembaca.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.