Dunia penerbitan baru-baru ini dikejutkan oleh Conduit Books, sebuah penerbit sastra yang mengukir namanya dengan misi unik: hanya menerbitkan novel karya penulis laki-laki. Menurut pendirinya, Jude Cook, langkah ini adalah “upaya sederhana” untuk mengatasi kelangkaan penulis laki-laki muda di kancah fiksi Inggris.
Namun, gagasan ini memicu debat sengit, mempertanyakan apakah lanskap sastra kontemporer yang bergeser benar-benar telah meminggirkan para novelis laki-laki, seperti klaim Cook.
Selama berabad-abad, sastra Barat didominasi oleh tokoh-tokoh laki-laki legendaris seperti Ernest Hemingway dan Salman Rushdie. Namun, dalam 15 tahun terakhir, terjadi pergeseran dramatis. Kini, daftar buku terlaris justru didominasi oleh penulis wanita, sebut saja Bonnie Garmus dan Kate Atkinson.
Meskipun banyak yang melihat ini sebagai koreksi yang sudah lama dinanti, Cook berpendapat bahwa dampaknya adalah penulis laki-laki kini sering terabaikan. Pandangan ini diperkuat oleh fakta bahwa industri penerbitan sendiri didominasi wanita, terutama di posisi editorial, dan riset menunjukkan bahwa wanita jauh lebih banyak membaca fiksi daripada laki-laki.
Bagi John Niven, seorang novelis laki-laki produktif, menulis fiksi sebagai laki-laki kulit putih paruh baya di zaman sekarang terasa seperti menjadi seorang penyair di akhir abad ke-20 – sebuah ceruk yang sangat kecil dengan audiens terbatas. Ia mengamati bahwa laki-laki kini kurang membaca fiksi, dan jumlah penulis laki-laki pun menurun.
Niven berbagi kisah tentang seorang teman penulis laki-laki terkenal yang novel non-genrenya, meski sangat bagus, ditolak oleh semua penerbit besar sebelum akhirnya diterbitkan oleh penerbit independen kecil. Ironisnya, novel itu terjual jauh lebih sedikit dibandingkan jika ditulis oleh seorang wanita, menyoroti perjuangan nyata yang dihadapi penulis laki-laki di luar genre populer.
Novel-novel dengan gaya kasar, satir, dan maskulin yang populer di era 80-an dan 90-an, seperti karya Nick Hornby dan Tony Parsons, kini tampaknya kehilangan gaungnya. John Niven mencatat bahwa selera untuk novel semacam itu telah menurun drastis, menandakan berkurangnya minat pada perspektif laki-laki tradisional dalam sastra kontemporer. Akibatnya, banyak penulis dari generasi tersebut kini beralih haluan, ada yang ke penulisan skenario atau, seperti Parsons, merambah genre fiksi kriminal yang menawarkan pasar yang lebih jelas.
David Szalay, penulis Inggris-Hongaria yang masuk nominasi Booker, berani mengeksplorasi tema-tema maskulin yang tak kenal kompromi dalam novel terbarunya, Flesh. Ketika ditanya apakah gaya penulisan ala Martin Amis, yang terkenal dengan sudut pandang laki-laki yang blak-blakan, masih relevan, Szalay mengakui bahwa kejujuran semacam itu dari perspektif laki-laki kini tidak disukai, sementara ironisnya, dari sudut pandang wanita, hal itu justru didorong. Ia berpendapat bahwa menyensor diri demi mengikuti kepekaan zaman hanya akan membuat karya membosankan. Meski berupaya menjaga pandangan yang bernuansa, Szalay menyadari betapa rumitnya mendiskusikan dinamika gender dalam sastra ini.
Meskipun menghadapi tantangan, penulis seperti Niven dan Szalay gigih menyajikan karya dari perspektif laki-laki, menawarkan wawasan unik tentang pengalaman maskulin. Niven dengan lugas menyatakan, “Ketika Anda menulis novel, Anda menawarkan sudut pandang Anda, pandangan Anda. Jadi jika saya mewakili demografi yang saat ini kurang terlayani, maka saya senang masih menjadi bagian darinya.”
Pada akhirnya, kekayaan lanskap sastra lahir dari beragam suara, opini, dan perspektif. Ini menunjukkan bahwa harus ada ruang bagi narasi laki-laki dan wanita, mendorong pembaca untuk secara sungguh-sungguh mencari cerita-cerita beragam yang dapat memperluas pemahaman mereka tentang dunia.
Menurut Anda, dalam menghadapi dinamika ini, apakah industri penerbitan perlu secara aktif mendukung lebih banyak novelis laki-laki, atau akankah pasar sastra pada akhirnya akan menemukan keseimbangannya sendiri?
