adibsusilasiraj.blogspot.co.id
Era digital menciptakan perubahan pola kognitif membaca. Dari sebuah buku kertas menjadi sebuah titik dalam layar komputer dan pola membaca yang tak fokus, meloncat-loncat atau bahkan bisa disebut multitasking. Bagai sebuah Juggernout, hal itu tak bisa dihindari atau bahkan tak bisa dipandang sebelah mata ketika masyarakat mulai menjauhi buku dan lebih sering memegang gawai dengan segala kecanggihan informasi di dalamnya.
Ada perbedaan pola ketika medium elektronik ini menyesaki kita. Pemberitaan pada kejadian tragedi Bom Thamrin, misalnya, menyajikan limpahan berita dibumbui simplifikasi, sensasi, dan ilusi. Tak otentik, meski menarik. Medium yang fleksibel dan cepat, cenderung membuat wartawan menitikberatkan persepsi dengan semangat menarik pembaca. Kondisi yang berbeda ketika wartawan diberikan jeda memverifikasi dengan cukup longgar, berdiskusi serta menyajikan data dengan keyakinan yang bisa dipertangungjawabkan dan berpeluang menjadi pergunjingan ilmiah.
Prolog di atas tak bisa dipungkiri berkonjungsi dengan dunia literasi kita. Ketika medium berganti ada pola yang berbeda dalam pola pikir kita. Medium menentukan pola kita berkomunikasi. Medium is everything, ujar Marshall McLuhan (1964). Hal ini juga menjadi ulasan Seno Gumilar Ajidarma (SGA) mengenai gaya komunikasi salah satu founding father yang berbahasa laiknya seorang dalang.
Soekarno kerap berjuang melalui medium cetak dengan gaya analisis mengutip Ernest Reinan, Karl Marx atau menggunakan data-data jumlah petani, produksi padi untuk menggambarkan ketimpangan sosial yang dilakukan penjajah atau nekolim. Perdebatan berlangsung dengan dialektika, meskipun ada bumbu retorika.
Berbeda ketika dia berucap dalam radio, yang dipenuhi dengan bahasa retoris, terkesan provokator dan berusaha mengambil jarak untuk mengamankan porosnya sebagai pejuang kemerdekaan. Dari balik podium, dia bisa menyihir petani, menghentikan kegiatan berladangnya, dengan kosa kata populer seperti Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), Jembatan Emas atau Revolusi Belum Mati, sementara sang pengkritiknya bisa membalasnya dalam sebuah artikel berbobot di koran.
Radio menjadi medium yang mahal pada waktu itu, berbeda dengan cetak. Namun medium cetak menjadi sarana bagi perdebatan intelektual kelas menengah atas, berbeda dengan medium lisan yang ditujukan untuk menengah bawah. Itu sebabnya si Bung sibuk mencari landasan teoritis untuk mengungkap gagasannya melalui koran dan mencari slogan menarik lewat radio. Di balik itu, Seno mengambil kesimpulan, si Bung tetaplah dalang yang mengaduk-aduk emosi pendengarnya.
Perubahan medium dari budaya tulis ke budaya lisan membuat komunikasi berubah menjadi entertain dan komodifikasi dari sebuah ilusi yang membangun harapan. Ariel Heryanto menyebut tren ini terjadi dalam pemilu ketika penekanan terhadap personal menjadi kata kunci untuk menarik simpati pemilih. Budaya lisan sebagaimana dengan gaya khasnya yang dangkal dan cepat, menyebarluaskan pendapat dalam hitungan menit, atau detik, bahkan hadir bertubi-tubi.
Siaran televisi menghujani pemirsa dengan generalisasi yang bisa diperbincangkan, tanpa ada perdebatan tertulis. Anda bisa membuat lagu dan menyanyi di atas panggung atau menonton konser band metal dan dipublikasikan sebagai pembicaraan awam atau bahasa kerennya trending topic dan jadi perdebatan yang tak penting untuk diprioritaskan.
Ruang publik dipenuhi dua kutub, yakni haters dan lovers, yang berkomentar. Padahal suka atau benci itu relatif dan tak mudah disimplifikiasi tanpa analisis kritis. Tapi ketika berbicara mengenai kedua itu, saya kerap menemukannya di dunia politik dan selebritis. Posisi dan peran yang berbeda dalam dunia nyata dan kemudian menjadi nyaris setara dalam dunia digital, penghibur.
Pembahasan di atas menjadi penting di tengah adanya perubahan tata norma dan etika yang berlaku dalam dunia tanpa batas yang mencerminkan kebebasan sesungguhnya, yang bahkan tak ditemui di setiap jengkal bumi ini. Ada kemudahan membuat, menyebarkan, sekaligus melenyapkannya dengan berganti isu yang lebih praktis atau (kadang) politis.
Kemudahan, di era ini, juga dibarengi dengan kegelisahan penulis dari berkembangnya pembajakan di dunia digital. Entah ratusan atau ribuan buku tersebar secara ilegal, bersebaran di internet. Bisa dipahami kedigdayaan ini lahir dari minimnya minat baca, perlambatan ekonomi, dan minimnya kesadaran untuk menghargai sebuah gagasan dan pembahasan kajian yang mendalam. Digitalisasi menciptakan peluang baru yang menihilkan pendapatan lama untuk bermigrasi ke Goggle World , yang sejatinya dikuasai kerajaan korporasi.
Jutaan manusia indonesia sibuk membuat status di sosial media, sementara jutaan aplikasi atau inovasi muncul setiap menit atau detik. Inovasi tak berasal dari mental masyarakat yang tak giat membaca buku. Fakta membuktikan banyaknya inovasi yang lahir dari negara yang literasi membacanya tinggi seperti AS dan Jerman. Tingkat demokrasi yang tinggi juga lahir di negara berliterasi tinggi seperti yang terjadi di sejumlah Negara Skandinavia.
Menjaga literasi berarti meningkatkan kebudayaan tertulis dengan menegakkan budaya membaca permasalahan secara otentik dan terbiasa untuk menggali permasalahan secara mendalam. Pekerjaan ini menjadi penting di tengah minimnya kesadaran atas aktualisasi nilai di saat banjirnya retorika yang beredar dalam bentuk buzzer, sebuah akun pendukung bayaran yang menjadi tren, yang banyak bergerak dalam menjaga citra.
Peringatan jelas disampaikan bahwa tingkat literasi indonesia yang rendah dan hanya berada di atas Botswana, dengan peringkat 60, dan dibawah Thailand sebagaimana dalam riset yang ditulis oleh Central Connecticut State University in the US (The Jakarta Post, 21 Maret). Literasi yang rendah menciptakan perilaku brutal dan cenderung tak menghargai hak asasi manusia (HAM).
Butuh riset mendalam jika mau menghubungkan riset ini dengan perilaku kekerasan seksual yang amat brutal belakangan ini. Ini juga bukan persoalan sepele karena mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup bangsa dalam beberapa waktu mendatang.