Menyusul pemberontakan berdarah pada tahun 2011 yang menggulingkan rezim Muammar Khadafi, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) telah memanfaatkan kekosongan politik dan keamanan di Libya. Aktivitasnya mulai terlihat pada November 2014 dan terus menunjukkan peningkatan di negeri itu. Sejak itu, Libya disebut-sebut menjadi basis ISIS paling kuat di luar Suriah dan Irak.
Penyebaran ISIS di Libya juga telah menyebabkan kekhawatiran negara-negara tetangganya. Pejabat keamanan Senegal mengungkapkan pada Maret 2016, “pengaruh ISIS menyebar bahkan ke Senegal. Jika kita tidak memiliki upaya multinasional, ISIS akan menyebar lebih luas.”
Amerika Serikat pernah meluncurkan serangan udara yang menargetkan markas ISIS di kota pesisir, Sirte, pada 1 Agustus 2016, setelah pemerintah persatuan Libya (GNA) yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta bantuan internasional untuk memerangi militan ISIS. Upaya Libya merebut kota Sirte dari ISIS telah dimulai sejak Mei tahun ini.
Di Libya, ISIS menjadi kelompok terkuat di antara militan Islamis yang lain. Sejumlah kelompok ekstremis Islamis bersaing dengan ISIS, terutama Anshar Syariah Libya yang berafiliasi dengan al-Qaidah.
Anshar Syariah Libya adalah kelompok jihad yang berusaha menerapkan syariah (negara Islam) di Libya. Kelompok ini muncul pada tahun 2011 selama perang sipil terjadi di Libya. Kelompok ini menyerang konsulat AS di Benghazi, menewaskan empat warga Amerika, termasuk Duta Besar AS Christopher Stevans.
Sejak 2012, Anshar Syariah telah meningkatkan hubungan dengan kelompok-kelompok jihad transnasional. Bahkan pemimpin kelompok ini, Mohamed al-Zahawi, telah secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap al-Qaidah.
Meskipun banyak pengamat mengatakan Anshar Syariah memiliki agenda yang selaras dengan ISIS (menerapkan syariah), kemunculan ISIS sebenarnya merupakan ancaman besar bagi Anshar Syariah. Seperti kelompok-kelompok Islamis lainnya, Anshar Syariah menolak seruan untuk bersumpah setia kepada pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi.
Anshar Syariah diketahui menderita kerugian, banyak anggotanya membelot pada ISIS. Dalam rentang tahun 2014-2015 kota-kota di Libya, yang didominasi Anshar Syariah, berpindah tangan ke ISIS.
Pada Desember 2014, pejabat AS melaporkan bahwa ISIS telah membangun kamp pelatihan militan di Libya. Pada Januari 2015, Wissam Abdul Zaid al-Jubori, mantan perwira Pasukan Khusus Irak yang menjadi petinggi ISIS, diketahui dikirim ke Libya untuk membantu mendirikan cabang ISIS di Tripoli. ISIS membagi Libya menjadi tiga provinsi (wilayat) di bawah kekhalifahannya: Tarablus (Tripoli), Fezzan, dan Barqa.
Seorang komandan pasukan Libya melaporkan banyak pejuang asing di dalam tubuh ISIS. Laporan lain menemukan bahwa banyak jihadis asing Eropa semakin tertarik bergabung ISIS di Libya untuk menghindari deteksi pemerintah. Ini mengingat bandara di Eropa semakin ketat. Banyak calon militan menyeberang melalui jalur laut ke Italia, kemudian berlayar ke Tunisia lantas menyeberang ke Libya.
Pada musim semi 2015, ISIS semakin berkembang di Libya ditandai dengan keberhasilan mereka merebut kota pesisir di Sirte dan Bandara Sirte (Mei 2015). Pada Maret 2016, PBB memperkirakan lebih 1.000-1.500 warga Tunisia bergabung ke ISIS di Libya.
Pada Februari 2016, intelijen AS sempat memperkirakan pejuang ISIS di Libya berjumlah 6.500 orang. Kota Sirte telah dijadikan markas besar atau benteng ISIS di Libya. Status Sirte disejajarkan seperti Raqqah di Suriah atau Mosul di Irak.
Kabar mutakhir, pengepungan dan penyerbuan kota Sirte oleh pasukan pro-pemerintah Libya, yang didukung militer AS, membuat ISIS diramalkan tak mampu bertahan lebih lama lagi di Sirte.
Kekalahan ISIS di Sirte menyusul kegagalannya mempertahankan kota-kota lain yang lepas ke milisi lokal Libya, contohnya Benghazi dan Derna. Sirte adalah satu-satunya kota yang tersisa bagi ISIS.
Mengapa ISIS di Libya relatif lebih “mudah” ditaklukkan dibanding di Suriah dan Irak?
Krisis yang terjadi Libya tidak bernuansa sektarian sebagaimana yang dieksploitasi ISIS di Irak dan Suriah yang digambarkan konflik Sunni-Syiah. Libya hampir seluruhnya Sunni. Akibatnya, ISIS di Libya tidak dapat menggambarkan diri mereka sebagai pembela Islam Sunni yang menderita penindasan. ISIS juga mengalami kesulitan mengintegrasikan diri ke dalam sistem kesukuan Libya.
ISIS paling populer berdomisili di daerah basis pro-rezim, termasuk kampung halaman Muammar Khadafi, Sirte. Kota yang setelah revolusi diabaikan karena penduduknya dianggap loyalis Khadafi.
Meski demikian, masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa jatuhnya Sirte adalah tamatnya aktivitas ISIS di Libya. Sebab, kelompok jihadis seperti ISIS memiliki kemampuan survival dan adaptasi. Mereka bisa saja bergeser ke daerah lain, berkumpul kembali, atau menyusup ke warga sipil dengan memanfaatkan sentimen anti-pemerintah untuk tetap menjaga pijakannya di Libya.