Kamis, April 25, 2024

Kartini Kendeng dan Dian Sastro Tak Perlu Kembali ke Dapur

Anzi Matta
Anzi Matta
Hobi menulis dan menggambar

kartini-semen“Kartini Pegunungan Kendeng” menggelar aksi dengan kaki dipasung semen di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (13/4). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

Di Hari Kartini ini tampaknya kita perlu lagi memikirkan upaya apa dalam bentuk merayakan hari lahir Kartini. Seorang perempuan, seorang Jawa, tinggal di budaya patriarki, yang berani membagikan suaranya mengenai apa itu emansipasi perempuan, bagaimana perempuan harus mendapatkan hak-haknya yang sama dengan laki-laki, sebagai manusia, bukan karena-ia-seorang-perempuan.

Bahkan jika hari ini kita berbicara mengenai diskriminasi seks terhadap perempuan, maka itu benar adanya. Realitas yang ada menunjukkan perempuan hingga hari ini dinilai tak lebih berdasarkan seks dan gender—dari ekonomi, politik, ideologi, fisik, dan lainnya. Dan jika kita menyadari, perjuangan para perempuan seperti masih panjang jalannya.

Entah mulai kamu dari kelas pekerja, buruh pabrik dengan upah Rp 30 ribu per hari, seorang pelajar dengan biaya pendidikan yang tinggi, dan bahkan hingga aktris sekelas Dian Sastro atau Maudy Ayunda dengan biaya pendidikan dan jaminan karir di masa depannya akan selalu tak menjamin diri mereka. Begitu pun dengan kamu, namun lain halnya karena yang dibicarakan adalah persoalan seks, bahwa mereka perempuan.

Diskriminasi seks adalah diskriminasi yang terjadi terhadap perempuan. Seakan-akan diskriminasi seks tak pernah terjadi kepada seorang lelaki, bukan? Jika diskriminasi seks terjadi, maka persoalannya bukan lagi saya-tidak-dapat-bekerja, tapi dari aspek lainnya. Diskriminasi yang kita bicarakan bukanlah mengenai seorang kulit hitam, bukan seorang Yahudi, ataupun seorang keturunan Tionghoa yang mendapatkan perlakuan diskriminatif karena persoalan ras (mungkin sialnya adalah jika kamu seorang kulit hitam dan juga perempuan).

Aspek lainnya yang begitu besar jika dibicarakan bahwa kamu dinilai berdasarkan seksmu, bahwa kamu dinilai tidak cukup mampu menangani pekerjaan berat, ataupun jika kamu mampu, maka berdasarkan nilai-nilai yang diyakini dan mengakar, kamu tak akan pernah cukup mampu. Ya, jika kamu seorang perempuan.

Lalu, apa sebenarnya yang sudah kita lakukan untuk meraih apa yang selama ini sudah dicita-citakan Kartini? Coba kita pikirkan saja dulu. Dari semua pergerakan yang sudah ada, mulai dari pergerakan kelas pekerja, pelajar, demokrasi hingga pergerakan politik—seperti yang saya sebutkan di atas—berbeda tujuan dan bahkan ideologi pergerakannya, tapi tak lebih mereka melawan satu hal yang sama: Negara.

Namun, dari semua berbagai macam pergerakan, pergerakan perempuan di Indonesialah yang coba kita pertanyakan pula. Sudah ada banyak pergerakan perempuan mulai sebelum kemerdekaan, pasca Orde Baru, hingga reformasi, tapi apa yang sudah kita raih? Apakah pergerakan itu memberikan dampak cukup penting bagi kita atau memang pergerakan saat ini memang tidak ada?

Atau mungkin saja ada, tapi karena tipikal atau alasan klasik sebuah pergerakan yang mana pengorganisasiannya selalu “mandek” sehingga keberlangsungannya harus berhenti pada semangat zamannya saja. Maka, tak muluk-muluk berbicara pergerakan perempuan seperti pergerakan feminis dunia, kita dapat melihat bagaimana ibu-ibu di Rembang bergerak bersama-sama dalam melawan pabrik semen.

Perempuan Melawan Negara
Masyarakat Rembang sudah bertahun-tahun melawan pabrik-pabrik semen dan Rembang tidak terlepas dari sosok ibu-ibu yang selama ini selalu berdiri di depan. Kita dapat menyaksikan video dokumenter Samin vs Semen, produksi Watchdoc yang dapat diakses dan ditonton secara gratis melalui Youtube dan melihat bahwa ibu-ibu Kendeng memiliki peran penting dalam keluarga dan masyarakatnya.

Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana mengurus persoalan mereka sendiri. Mereka tahu kenapa harus melawan, aksi sembilan kaki ibu-ibu yang dicor semen beberapa waktu lalu bukan aksi cari perhatian. Sembilan ibu-ibu itu adalah Sukinah, Supini, Murtini, Surani, Kiyem, Ngadinah, Karsupi, Deni, dan Rimabarwati, yang saat aksinya menyanyikan lagu Salah Mongso dan Segoro Hilang Manise yang bercerita soal dampak-dampak jika alam dirusak.

Mereka tahu bahwa sumber kehidupan akan terganggu, bukan untuk pribadi mereka saja, tetapi generasi berikutnya, anak-cucu mereka. Tak perlu bukan menjadi seorang Jared Diamond untuk memahami kenapa pembangunan pabrik akan merusak lingkungan, ibu-ibu di Kendeng saja mengetahuinya, lalu bagaimana dengan kamu?

Kapitalisme bekerja di balik transformasi produksi sosial harian. Dan tidak, kita tidak perlu lagi berbicara panjang lebar mengenai kapitalisme. Kita dapat melihat bagaimana kapitalisme mempengaruhi bidang produksi domestik dan non-domestik yang mempengaruhi perempuan. Pernyataan Dian Sastro mengenai ibu-ibu Kendeng ada benarnya dan seperti memang benar adanya bahwa urusan produksi domestik berlaku hanya pada kaum perempuan.

Dalam lembaga keluarga “posisi” perempuan diatur berbeda dengan laki-laki. Laki-laki di dalam keluarga bukan hanya sekadar seorang bapak dan suami, tetapi kepala keluarga yang dianggap menanggung semua yang ada. Tapi, lain halnya dengan perempuan yang dituntut di rumah untuk bereproduksi, mengurus anak, dan bekerja keras melakukan pekerjaan rumah tangga. Sayangnya, meski mereka sudah bekerja keras, mereka tak terhitung “bekerja”, karena memang sudah tempat perempuanlah untuk di dapur.

Relasi dari bidang domestik ini adalah laki-laki menentukan peran, posisi, dan tentu saja; kepemilikan. Perempuan tidak dapat mendefinisikan peran mereka dalam produksi domestik—seks mereka yang menentukan mereka.

Bicara bidang produksi non-domestik perempuan berusaha untuk mendapatkan peluang mereka. Tak hanya di bidang pendidikan, tetapi peluang kerja dan hak pilih. Produksi non-domestik terhadap perempuan di luar daripada lembaga keluarga. Dilakukan oleh lembaga resmi, lembaga pemerintahan, hingga sektor swasta.

E. Moraletat mengatakan bahwa hubungan antara keluarga dan sistem juga dapat dilihat sebagai dua tiang kapak. Pada satu titik, ayah memiliki hak untuk mengontrol dan menentukan kehidupan dan kematian anak-anak, perempuan dan budak. Pada titik kedua, ayah harus menjawab kepada negara mengenai kesejahteraan anak-anak.

Dan pada zaman ini peluang pendidikan dan pekerjaan hingga hak pilih terbuka terhadap perempuan. Tapi itu semua tak mengurangi adanya diskriminasi seks dan tantangan bagi perempuan. Jika Dian Sastro mengatakan bahwa tantangan perempuan modern adalah harus menyeimbangkan antara bekerja dan ibu rumah tangga maka ada benarnya. Karena itulah peran perempuan dalam masyarakat.

Seperti halnya ibu-ibu Kendeng, Dian Sastro, dan ibu-ibu lainnya yang bekerja, mereka akan selalu dianggap tak memiliki pandangan yang kuat untuk itu. Maka, dengan logika paling sederhana kita meremehkan perempuan karena mereka memiliki permasalahan hormon lantaran harus bereproduksi, mengalami periode, dan mengurus anak.

Ketika para perempuan memperjuangkan emansipasi, itu karena mereka menginginkan adanya kesetaraan posisi bersama laki-laki, dari segala macam peluang. Karena dalam urusan domestik, perempuan adalah perempuan. Seakan-akan sebagai perempuan harus kembali ke dapur.

Perempuan tak hanya meminta, menuntut persamaan yang ada dengan laki-laki dari sudut kenegaraan saja, tapi yang diperjuangkan adalah persamaan dari berbagai aspek kehidupan, tak hanya produksi non-domestik, tetapi domestik. Di dalam keluarga itu sendiri.

Pergerakan perempuan—khususnya di Indonesia—membantu dalam perjuangan perempuan Indonesia saat ini, seperti Kartini yang menjadi stimulus dalam pergerakan perempuan berikutnya. Maka, begitu juga dengan ibu-ibu Kendeng yang memperjuangkan, mereka berada di depan melawan pabrik semen, melawan negara.

Seperti yang dikutip dari Liberation des femmes et projet libertaire: “Pesan dari masyarakat adalah bahwa Anda tidak harus mengambil risiko dalam hal seksual, seperti dalam segala hal. Kita harus berpikir untuk melindungi keluarga seseorang, tubuh seseorang, kehidupan seseorang dan kehidupan orang-orang tercinta melalui serangkaian aturan dan norma-norma individu dan kolektif. Ini adalah pesan yang tentunya menghindari segala bentuk agitasi sosial, dan kontestasi dari tatanan sosial yang telah berdiri.”

Kita tidak perlu mempertanyakan bagaimana ibu-ibu di Kendeng dan tokoh pergerakan perempuan lainnya. Perjuangan perempuan bukanlah persoalan perang antara jenis kelamin, tetapi perjuangan pembebasan sebenarnya. Kita tidak akan sampai mencapai kebebasan yang sesungguhnya jika dalam tiap aspek dinilai sepanjang garis gender saja.

Anzi Matta
Anzi Matta
Hobi menulis dan menggambar
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.