Sabtu, April 20, 2024

Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Buya Syafii Perspektif Anak Muda

MK Ridwan
MK Ridwan
Alumnus Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, Awardee MAARIF Fellowship (MAF) MAARIF Institute for Culture and Humanity, Alumnus Qur'anic Studies IAIN Salatiga

Pemikiran penting lainnya dari Buya Syafii adalah ide tentang Pancasila sebagai dasar negara. Bagi Buya, Pancasila adalah konsensus kebangsaan yang memungkinkan masuknya sinar wahyu, sehingga Pancasila kemudian tidak bisa dipahami sebagai suatu ideologi sekuler. Gagasan ini mematahkan tuduhan bahwa Pancasila adalah non-Islami, ideologi toghut, ataupun produk kolonialisme (baca bagian pertama “Buya Syafii Maarif di Mata Anak Muda).

Tetapi dalam persoalan itu, Buya tetap selalu kritis dalam memandang kontestasi Pancasila dalam konteks laku atau perbuatan. Menurut Buya, hal yang terpenting bukanlah legitimasi yuridis tentang posisi Pancasila, tetapi lebih jauh dari itu bahwa Pancasila harus selalu diamalkan dalam perbuatan dan laku kehidupan masyarakat Indonesia, utamanya adalah para pejabat elite negara yang telah sering mengkhianati nilai-nilai Pancasila.

Pancasila dalam kerangka berpikir Buya, tidak akan pernah memberikan dampak perbaikan apapun manakala nilai-nilai luhur yang ada di dalamnya tidak terwujud di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila berarti mengkhianati kemanusiaan yang hanya akan memperpanjang derita bangsa Indonesia serta menjauhkan negara dari cita-cita mulia kemerdekaan yakni terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Untuk mendukung gagasan Pancasila ini, Buya menegaskan bahwa sistem politik demokrasi sangat relevan dalam konteks dunia modern. Demokrasi memberikan ruang penempatan manusia pada posisi setara (egaliter) dalam proses pengambilan keputusan. Lebih lanjut, demokrasi menyediakan proses dialektika kritis antara penguasa dan rakyat, di mana rakyat memiliki kekuatan untuk mengontrol penguasa. Sehingga akan terjadi keseimbangan relasi kuasa dan menghadang sikap tirani dan otoritarianisme.

Kendati demikian, lagi-lagi Buya tidak pernah berhenti pada tataran konseptual-teoretis. Buya kembali mengingatkan bahwa meskipun dirinya mendukung sistem demokrasi, tetapi praktek demokrasi tersebut harus dilandasi dengan spirit keadilan.

Menurut Buya, demokrasi tanpa keadilan hanya akan menyediakan ruang bagi panggung sandiwara yang mengatasnamakan rakyat. Rakyat akan dikebiri dan dipermainkan sebagai alat kepentingan penguasa. Untuk itulah, keadilan menjadi prinsip dan landasan utama dalam pelaksanaan negara demokrasi. Sila kelima Pancasila menempatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai basis sekaligus tujuan negara.

Dari sinilah, kita bisa memahami bahwa sosok Buya adalah pribadi yang senantiasa kritis dan gelisah akan masa depan bangsa Indonesia, namun tanpa kehilangan spirit optimisme. Optimisme Buya ini tentunya diletakkan di atas pundak kaum muda, sosok-sosok pemimpin bangsa masa depan, para intelektual yang mampu memberikan arah keislaman yang lebih humanis, inklusif dan berkeadaban.

Buya mengusulkan bagaimana Islam dipahami dalam kerangka etik-moral, Islam menjadi sistem etika sosial yang membimbing umat manusia untuk bisa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Keadilan, inklusivitas, kebebasan, dan kemandirian menjadi sejumlah poin penting yang harus diimplementasikan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia dalam kerangka berislam dan bernegara.

Karenanya, Buya selalu mementingkan substansi yang memproduksi solusi terhadap permasalahan kebangsaan dan kemanusiaan, bukan formalisme yang membungkus citra merek luar yang isi sebenarnya penuh dengan borok politik dan ke”tuna”an moral.

Dari sinilah, sebenarnya Buya ingin menegaskan bahwa menjadi seorang Muslim taat tidaklah mesti disimbolkan secara atributif dan sejumlah ritualisme formal. Bagi Buya, hal yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai Islam yang sejalur dengan nilai-nilai kemanusiaan itu terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks politik, ekonomi maupun interaksi sosial.

Inilah sikap intelektual dan spiritualitas Buya yang tercermin dalam gagasan keislaman dan keindonesiaan, sosok yang tidak pernah menampakkan sedikitpun pesimisme, apalagi apatisme.

Saat ini, Buya tak lagi muda, tak lagi perkasa dalam fisik. Buya butuh tangan-tangan muda dan pikiran-pikiran segar yang siap meneruskan perjuangannya. Di usia yang telah senja, sebenarnya Buya masih ingin terus bergiat aktif untuk ikut andil dalam menyelesaikan problem kebangsaan, karena memang segudang permasalahan belum terselesaikan, tapi nyatanya tubuh tak selalu sejalan dan mampu mewadahi gerak pemikiran.

Oleh karena itu, dibutuhkan Syafii Syafii baru yang mampu mentransformasikan serta mengembangkan pemikiran-pemikiran Buya untuk konteks kebangsaan dan keislaman di masa mendatang.

Kaum muda harus sudah terbiasa dengan perdebatan intelektual, keterbukaan pemikiran dan diskursus akademik yang panjang. Kaum muda sebagai sosok yang masih memiliki energi berlimpah seharusnya tidak berpikiran sempit, oposisi biner, hitam putih dan kerangka benar-salah.

Kaum muda harus mampu menerjemahkan berbagai kerangka pemikiran dan mentransformasikan pemikirannya untuk membela kemanusiaan. Profil kaum muda inilah yang saya kira sebagai potret yang diinginkan oleh Buya untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia ke depan.

Saya juga ingin mengatakan bahwa, kita memang tidak harus menjiplak Buya seratus persen, namun setidaknya nilai dan pesan kemanusiaan yang senantiasa diperjuangkan oleh Buya, dapat terinternalisasi ke dalam setiap pribadi kaum muda Indonesia.

Hari ini publik telah menilai sosok Buya Syafii sebagai intelektual organik yang senantiasa mengkampanyekan perlunya menumbuhkan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan dalam setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Buya Syafii adalah sosok dengan model pemikiran yang inklusif dan meneduhkan, gagasan pluralismenya telah memberikan ruang dialogis bagi keragaman di Indonesia untuk tumbuh dan berkembang secara adil dan sejahtera. Apa yang menjadi konsentrasi pemikiran Buya hari ini sangat-sangat relevan untuk konteks kaum milenial.

Buya Syafii adalah sosok yang dicintai oleh masyarakat, tidak hanya di kalangan orang tua namun juga anak muda. Karya-karyanya senantiasa dirujuk dan dijadikan referensi berbagai penelitian dan aneka penyelesaian problem kemanusiaan. Kita akan senantiasa berharap bahwa Buya dapat selamanya menjadi ayah bagi kaum muda Indonesia.

Akhirnya, Buya Syafii adalah sosok yang meneduhkan, orang tua yang kritis, dan guru bangsa yang bijaksana.

Panjang umur Buya, sehat selalu.

MK Ridwan
MK Ridwan
Alumnus Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, Awardee MAARIF Fellowship (MAF) MAARIF Institute for Culture and Humanity, Alumnus Qur'anic Studies IAIN Salatiga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.