The Portrait of a Lady menandai titik balik dalam karir Henry James. Meskipun bukan novel pertamanya, di sinilah sang maestro berusia 37 tahun itu benar-benar melepaskan kejeniusannya. Bayangkan, ia telah bercengkrama dengan George Eliot sendiri, sang ratu realisme, namun ia menciptakan sebuah karya yang terasa jauh lebih modern.
Tokoh utama kita, Isabel Archer, adalah perempuan muda yang memesona dan berpikiran independen. Ia mewarisi semangat Dorothea Brooke dan Maggie Tulliver, namun hidup di era yang baru. James dengan cerdik menjungkirbalikkan ekspektasi. Seorang bangsawan Inggris dan seorang pelamar Amerika yang gigih sama-sama ditolak mentah-mentah oleh Isabel.
Dengan warisan yang melimpah, Isabel pun bebas menentukan nasibnya sendiri. Namun, pertanyaan besarnya adalah: apa yang akan ia lakukan dengan kebebasan itu? Inilah inti dari novel yang menawan ini: sebuah eksplorasi mendalam tentang jati diri seorang perempuan di tengah pusaran masyarakat yang penuh tekanan.
Sayangnya, pernikahan Isabel dengan Gilbert Osmond justru menjadi jebakan. Osmond, sang estetika ekspatriat, ternyata berhati dingin dan manipulatif. Pernikahan mereka bagaikan sangkar emas, mengisolasi Isabel dari kebahagiaan dan potensi dirinya.
James dengan cerdik menyajikan berbagai model pernikahan lain di sekitar Isabel. Ada Nyonya Touchett yang menikah namun hidup sendiri, Madame Merle yang menawan namun kosong, dan Countess Gemini yang terperangkap dalam pernikahan yang menyiksa. Bahkan Henrietta Stackpole, sang jurnalis Amerika yang independen, pun tampak sedikit konyol dengan kebebasan yang ia elu-elukan.
Pada akhirnya, Isabel kembali pada Osmond, bukan karena cinta, melainkan karena keputusasaan. Di tahun 1881, James seolah terjebak dalam pandangan masyarakat yang membatasi perempuan. Isabel, meski berjiwa bebas, tak punya pilihan lain selain menjalani pernikahan yang hampa. Namun, The Portrait of a Lady tetaplah sebuah mahakarya. James, dengan gaya penulisannya yang kaya metafora, mengajak kita masuk ke dalam dunia batin karakternya. Tak seperti Dickens yang menggambarkan dunia dengan jelas, James lebih tertarik pada nuansa psikologis yang rumit.
Ingat Edward Rosier, kenalan Isabel? James dengan tajam menulis, “Ayahnya sudah meninggal dan pengasuhnya diberhentikan, tetapi pemuda itu masih menyesuaikan diri dengan semangat ajaran mereka – dia tidak pernah pergi ke tepi danau.” Kalimat itu mengungkapkan begitu banyak hal tentang Rosier dan dunianya. James adalah seorang pengamat yang cermat. Ia membedah sifat manusia dengan ketajaman seorang psikolog. Gaya penulisannya yang unik menciptakan sebuah dunia yang sekaligus realistis dan penuh perenungan.
Meskipun brilian, The Portrait of a Lady bisa membuat frustrasi, terutama bagi perempuan. Isabel, dengan segala potensi dan kebebasannya, justru terjebak dalam pernikahan yang mencekik jiwa. James seolah mengajukan pertanyaan besar tentang nasib perempuan, namun gagal memberikan jawaban yang memuaskan. Isabel dan para perempuan di sekelilingnya terkesan pasif, terbelenggu oleh konvensi sosial dan ketidakberdayaan mereka sendiri. Mereka seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas, tak mampu mengepakkan sayap dan menentukan arah hidupnya.
Momen paling menarik justru muncul di penghujung novel, ketika Isabel diberi saran untuk melupakan masa lalunya dan memulai hidup baru. Sayang sekali, James memilih untuk tidak mengeksplorasi kemungkinan ini. Mungkin ia khawatir akan merusak intensitas drama yang telah ia bangun sepanjang enam ratus halaman.
Namun, menurut saya, masalah Isabel bukanlah kelemahan karakter, melainkan keterbatasan dunianya. Ia dikelilingi oleh pria-pria yang gagal melihat keistimewaannya. Lord Warburton, sang bangsawan yang mengagumkan, bahkan tidak berusaha untuk benar-benar mengenalnya sebelum melamar. Ia seperti Mr. Darcy yang arogan dalam Pride and Prejudice, lebih tertarik pada status sosial Isabel ketimbang jiwanya. Di akhir novel, muncul Caspar Goodwood yang seolah menjadi seberkas harapan bagi Isabel. Namun, Goodwood justru menyeramkan. Ia agresif, memaksa Isabel, bahkan bisa dibilang melecehkannya. Untunglah Isabel berhasil meloloskan diri dari cengkramannya.
Goodwood dan Osmond, meski berbeda, sama-sama berbahaya bagi Isabel. Goodwood dengan kekerasannya, Osmond dengan kelicikannya. Sementara itu, para pria lain di sekitar Isabel juga tak memadai. Sepupu Ralph terlalu lemah, sementara para pelamar lain tak menarik. Isabel seolah terjebak dalam dunia tanpa pilihan. James kemudian memperkenalkan Pansy, putri Osmond yang penurut. Seperti Isabel, Pansy juga tak beruntung dalam percintaan. Ia terpaksa tunduk pada kehendak ayahnya yang menindas. Hanya Henrietta yang berhasil menemukan kebahagiaan dengan caranya yang unik dan tak konvensional.
Namun, pertanyaan mendasar novel ini tetaplah pada Isabel dan Osmond. Mengapa Osmond begitu membenci Isabel? Apakah karena kemandirian dan kecerdasannya? Atau mungkin ada alasan yang lebih dalam? James menyiratkan bahwa Osmond memiliki kebencian yang mendalam terhadap perempuan, dan Isabel hanyalah korban terbaru. Di sini letak tragedi Isabel. Ia terikat dengan pria yang membencinya, terperangkap dalam pernikahan yang menghancurkan jiwanya. Namun, di tengah kegelapan itu, masih ada secercah harapan. Ikatan antara Isabel dan para perempuan lain, seperti Pansy, memberikan potensi untuk kebebasan dan solidaritas. Akankah mereka bersatu untuk melepaskan diri dari cengkeraman Osmond?
The Portrait of a Lady mengakhiri kisahnya dengan sebuah pertanyaan yang menggantung. Isabel memilih untuk kembali ke Roma, ke dalam kandangnya. Apakah ini sebuah keputusasaan, atau sebuah langkah awal menuju pemberontakan? Hanya Isabel, dan mungkin Henry James, yang tahu jawabannya.
Kita, sebagai pembaca modern, mungkin tergoda untuk mengatakan bahwa perceraian adalah solusinya. “Ah, seandainya Isabel hidup di abad ke-21, ia bisa meninggalkan Osmond dan menemukan kebahagiaan baru!” Namun, The Portrait of a Lady bukanlah sebuah novel sederhana tentang pernikahan yang salah. Ini adalah sebuah eksplorasi yang kompleks tentang kebebasan, jati diri, dan tekanan sosial pada perempuan, sebuah tema abadi yang telah menghantui para penulis sejak zaman Boccaccio hingga Charlotte Brontë.
Dilema Isabel mengingatkan kita pada pertanyaan klasik dari The Heptameron: dapatkah seorang perempuan benar-benar hidup bebas? Pada abad ke-16, jawabannya jelas “tidak”. Perempuan tanpa pelindung rentan terhadap kekerasan dan bahaya. Seabad kemudian, di dunia Isabel, jawabannya masih sama, meski dengan nuansa yang berbeda. Isabel terbatasi, bukan hanya oleh masyarakat, tetapi juga oleh pilihan-pilihannya sendiri.
James, dengan kepiawaiannya, menciptakan sebuah dunia yang sekaligus realistis dan satiris. Ia menggambarkan karakter-karakternya dengan detail yang meyakinkan, namun di balik itu tersimpan lapisan ironi yang halus. Isabel, Osmond, bahkan Countess dan Henrietta, semuanya memiliki sisi absurd yang menarik untuk diamati. James seolah mengamati mereka dari kejauhan, seperti seorang ilmuwan yang meneliti spesimen di bawah mikroskop.
Namun, ada juga rasa pedih dalam pengamatan James. Ia menunjukkan bagaimana karakter-karakternya terjebak dalam ketidaktahuan mereka sendiri, terbatas oleh pandangan dunia yang sempit. Mereka meratapi nasib mereka, namun tak mampu melihat jalan keluar. Ironisnya, James, “Sang Guru”, memiliki pemahaman yang jauh lebih luas tentang mereka dibandingkan pemahaman mereka tentang diri sendiri. Di sinilah letak keterbatasan James sebagai seorang novelis. Ia begitu terpaku pada analisis intelektual sehingga ia kehilangan sentuhan emosional dengan karakter-karakternya. Ia gagal menghidupkan mereka sepenuhnya, gagal membuat kita benar-benar merasakan kegembiraan, kesedihan, dan kerinduan mereka.