Sabtu, Oktober 12, 2024

Sains, Saintis, dan Vaksin Korona, Jalan Keluar GM dan AS Laksana

Akhir-akhir ini dunia sains mendapat sorotan dari para cendekiawan kenamaan Indonesia di tengah mewabahnya virus Korona. Sorotan ini terkait dengan peranan sains/saintis dalam menyikapi apa yang disebut oleh ilmuwan politik Amerika Serikat Richard W. Mansbach sebagai penyakit global.

Perhatian para cendekiawan itu pun melahirkan silang pendapat. Ini bermula ketika AS Laksana (ASL) memposting artikel di FB – “Sains dan Hal-Hal Baiknya” – untuk menanggapi Goenawan Mohamad (GM) yang relativistik”. Dalam artikel itu, ASL memosisikan diri laiknya seorang pembela positivisitik yang paling gigih. Memuja sains dengan segala pesonanya.

Dengan percaya diri ASL mengatakan bahwa Informasi saintifik membuat pengetahuan kita membaik dan momentum berjangkitnya wabah, disadari atau tidak, telah menjadi pendorong yang efektif bagi penerimaan kita terhadap sains. Tidak ada informasi yang bisa diandalkan kecuali yang datang dari kalangan sains, dan yang terjadi kali ini sungguh menakjubkan: Orang tidak mengamuk ketika mereka diminta menghentikan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat kerumunan. Para pendakwah yang keras menjadi lebih pendiam. Mereka mematuhi keputusan-keputusan yang dibuat berdasarkan informasi saintifik.

Namun, ajakan untuk berkhidmat pada sains itu, kata ASL, telah disanggah oleh GM. ASL menuding GM mengecilkan sains dengan menggunakan anekdot tentang Einstein yang mengatakan Politik lebih rumit dibandingkan fisika.

Tapi GM tidak tinggal diam. Ia pun nenanggapi balik ASL dengan artikel, “Sains dan Masalah-Masalahnya”. Dengan gayanya yang khas Heideggerian, GM mengatakan bahwa “sains tidak berfikir”.

Dalam risalahnya,  “Die Frage nach dem Ding”, Heidegger, sebagaimana dikutip GM, menguraikan  lebih lanjut keterbatasan sains dengan sifatnya yang matematis. Ia menjelaskannya dengan merujuk makna yang tersirat dalam kata “ta mathemata”. Arti kata Yunani itu, menurut Heidegger,  “apa yang kita ketahui tentang hal ihwal lebih dulu”. Sains bersifat matematis karena ia tidak menangkap realitas sebagai sesuatu yang langsung, tanpa mediasi, tapi sudah terlebih dahulu diposisikan dalam kerangka.

Menindaklanjuti silang pendapat itu, ASL dan GM tentu saja memiliki argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Tapi bukan berarti keduanya bisa bebas dari kritik. Oleh karena itu, kami mengambil sikap intelektual yang berbeda. Bagi kami argumen kedua cendekiawan itu juga memiliki batasan.

Batasan Argumen

Sejarah sains boleh jadi ditulis berdasarkan keberhasilan yang telah dicapai (positivistik ASL) atau kegagalan akibat masalah yang disebabkannya (relativistik GM). Tapi bagi kami sejarah-sejarah kepenulisan itu juga memiliki batasan.

ASL betul ketika mengatakan sejumlah keberhasilan sains. Tapi sayangnya ia tidak menunjukkan batasan dari dunia sains. Apa benar capaian sains begitu mempesona, sehingga ia bisa bebas begitu saja dari kritik. Einstein kita tahu merupakan seorang jenius. Berkat teori relativitas, ia berhasil mengubah dunia keilmuan. Mengguncang fondasi fisika yang sudah dimapankan Newton. Gravitasi itu bisa dilawan. Pesawat terbang membuktikannya. Perkembangan dunia pun semakin pesat. Keterhubungan menjadi tak terelakkan. Dalam waktu yang relatif singkat, manusia dapat berada di mana pun di belahan bumi.

Tetapi konsekuensi yang dihasilkan dari pembelotan Einstein terhadap Newton tidak kalah besar. Melawan gravitasi membuat bumi semakin terpolusi. Burung besi yang bisa terbang itu membutuhkan energi besar, yang buangannya merusak lapisan ozon. Selama satu abad belakangan kita mengalami perubahan iklim yang ekstrem. Dunia seolah tidak memiliki harapan.

Contoh lain dapat dilihat saat Indonesia berhasil menciptakan varietas padi unggul di tahun 1970an. Keberhasilan sains ini rupanya memiliki dampak yang menghancurkan. Pemerintah Orde Baru memperkenalkan varietas unggul modern dari IRRI, IR5 dan IR8, yang memiliki produktivitas tinggi, umur lebih genjah dan sangat responsif terhadap pupuk.

Pada 1971, varietas Pelita I-1 dan Pelita I-2 dilepas. Varietas ini berasal dari persilangan IR5 dengan Sintha. Namun, bencana hadir. Dua varietas padi unggul ini rentan terhadap hama wereng coklat. Dikarenakan kesesuaian mutasi genetika, hama wereng coklat berevolusi menjadi lebih ganas. Mimpi peningkatan produktivitas pun berantakan.

Anekdot padi unggul ini menunjukkan wajah Janus sains. Kaidah sains yang dipahami selama ini begitu mengagungkan obyektifitas, bersifat imparsial, dan memperkosa realitas. Ia mengagungkan rasionalitas dan pengalaman-pengalaman manusia. Melalui metode yang dilembagakan, pemerkosaan atas realitas itu tidak dapat terhindarkan. Realitas ditundukkan berdasar teori-teori yang sudah ditentukan sebelumnya.

Realitas harus mengikuti teori, bukan sebaliknya. Apologi saintis, yang melembagakan metode ilmiah, sebagai bentuk pengakuan keterbatasan sains, menjadikan ilmu pengetahuan sebatas praktik adopsi, verifikasi, pengikutan kepada kebakuan. Persis di titik inilah, dunia keilmuan modern sekadar menjadi sebuah produk yang tinggal lahap, bukan sebagai proses yang terus menerus diolah.

Begitu pula dengan argumen relativistik GM. Ia juga memiliki batasan yang perlu untuk dikritisi. Sebagai amunisi debat, argumen relativistik GM tentu memiliki pesonanya sendiri. Dengan mengutip sejumlah nama filosof beken, seperti Husserl, Heidegger, Popper, dll, GM memang berhasil membuktikan masalah-masalah yang dihadapi oleh sains.  Tapi sekali lagi, argumen itu hanya menarik sebagai amunisi. Tak pernah lebih dari itu.

Untuk itu, salah seorang ahli fisika partikel terbesar Edward Witten suatu kali pernah menyindir argumen relativistik Thomas Kuhn dengan sinis. Sindiran ini sejatinya berlaku juga untuk GM. Filsafat Kuhn, baginya, tidak dianggap terlalu serius kecuali sebagai standar perdebatan, bahkan oleh para pendukungnya sekalipun.

Untuk itu, argumen Kuhn yang relativistik terhadap sains, pun mudah dipatahkanWitten. Ia melakukan itu cukup dengan satu kalimat pertanyaan ringan: “Apakah Kuhn pergi ke dokter waktu ia sakit? Nyatanya Kuhn melakukan itu sebelum ia meninggal dunia karena kanker paru pada tahun 1996 silam. Ini membuktikan, Kuhn meyakini ilmu pengetahuan dan bukan filsafat relativistiknya.

Jalan Keluar

Merujuk pada apa yang kami kupas sebelumnya, sadar atau tidak kita semua mengamini sains dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Hemat kami ini berlaku tidak hanya untuk mereka yang positivistik, tapi juga mereka yang relativistik, dan bahkan mereka yang mengaku sebagai manusia paling beragama sekalipun.

Itu artinya, tidak ada yang salah dengan sains. Sikap saintislah yang membuat sains menjadi bermasalah – menjadi ilmu yang buruk. Itulah sebab manusia terkadang menggunakan sains untuk mengintimidasi dan mengendalikan, mengeksploitasi dan menindas manusia lain.

Mae Wan Ho – pelopor pemikiran “fisika organisme” – dalam bukunya yang luar biasa Genetic Engineering: Dream or Nightmare? The Brave New World of Bad Science and Big Business (2008) pernah mengingatkan bagaimana ilmu pengetahuan bisa menjadi buruk.

Mae mencontohkan kasus pada rekayasa genetika yang menjadi berbahaya karena aliansi dua kekuatan: ilmu dan perdagangan. Menurutnya rekayasa genetik adalah ilmu buruk karena bekerjasama dengan bisnis raksasa, guna mendapatkan laba dengan cepat. Praktis semua ilmuwan genetika molekuler secara langsung atau tidak memiliki hubungan dengan industri. Hal ini yang lalu membatasi jenis riset yang dapat dan akan dilakukan saintis. Integritas mereka sebagai saintis independen pun dikompromikan. Pola aliansi inilah yang menurut Mae telah mempertajam kesenjangan antara Utara dan Selatan, antara yang kaya dan miskin.

Temuan Mae ini, menurut kami, menjadi penting untuk disitir dalam melihat kasus pandemi Korona. Sebagaimana diketahui, saat ini WHO menyebutkan terdapat 125 proyek vaksin yang sedang dikerjakan saintis untuk menanggulangi virus. 10 kandidat vaksin potensial sekarang sedang diuji pada manusia dalam uji klinis di seluruh dunia.

Namun pengerjaan vaksin ini dilakukan dengan pola aliansi seperti yang disebutkan oleh Mae. Dan sialnya kita tidak pernah tahu niatan industri – yang dibantu dan didorong oleh pemerintah – yang akan memproduksi vaksin selama pandemi Korona, apa sekadar mencari laba atau menjadikannya sebagai “barang publik global” tanpa profit?

Menyikapi itu, kita memerlukan jalan keluar dari persoalan semacam ini. Usul kami manusia perlu mengembangkan apa yang disebut oleh Hidayat Nataadmadja sebagai inteligensi spiritual. Berdasarkan pandangan ini, sains akan selalu dipandang memiliki nilai moral dan tidak dapat dipisahkan dari nilai tersebut. Jika ini yang dijadikan pedoman, maka jawaban untuk pertanyaan di atas adalah vaksin Korona dibuat semata untuk “barang publik global” tanpa profit.

Penulis: 

Asrudin Azwar

Peneliti, Pendiri The Asrudian Center

Mirza Jaka Suryana

Penerjemah, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.