Pada masa sulit ini ketika banyak pihak ingin mendukung warga Palestina di Gaza, warga Israel terus memanfaatkan situasi dan menjarah rumah dan pertanian masyarakat Palestina. Itulah ketidakadilan. Di satu sisi, kasih sayang menginspirasi kemanusiaan, dan di sisi lain, perilaku orang barbar membuat kita merasa malu menjadi bagian dari manusia. Perilaku hina demikian, yang melanggar semua harkat manusia, tampak nyata pada pemerintahan Benjamin Netanyahu.
Kasus pertama terkait dengan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich. Dia melihat genosida yang terjadi di Gaza sebagai kesempatan untuk menjarah Tepi Barat. Para pemukim Yahudi yang memiliki ideologi mesianis yang sama dengan Smotrich sudah mulai melaksanakan rencana mereka untuk membersihkan area warga Palestina. Smotrich sendiri menuntut agar warga Palestina dicegah agar tidak memanen zaitun. Ini berfungsi untuk menjaga keamanan para zionis Israel yang telah mendirikan pos-pos di sana.
Kasus kedua menyangkut Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir. Segera setelah mendengar serangan pejuang Hamas pada 7 Oktober lepas, dia menyerukan Operation Guardian of the Walls 2 untuk melahap sisa-sisa demokrasi Israel.
Hari ini, Ben-Gvir bersuka cita karena pemerintah Netanyahu telah memberikan semua yang diinginkannya. Milisi yang tunduk kepadanya bermunculan seperti jamur, dilengkapi dengan senjata api. Penduduk Tel Aviv telah disuguhi pemandangan preman bersenjata yang berkeliaran di jalan-jalan kota. Dan bukan itu saja, pihak polisi juga menangkap seorang guru kewarganegaraan Dr. Meir Baruchin atas postingannya di Facebook yang menentang operasi tentara di Gaza dan menunjukkan simpatinya atas penderitaan Palestina.
Semua orang tahu bahwa target pertama Ben-Gvir adalah warga Arab Israel. Mesin perang itu harus bekerja dengan cepat. Ratusan orang Arab dilecehkan, dakwaan tengah diajukan dan para hakim, yang justru ikut mempermalukan keadilan, menyetujui aksi penangkapan. Tidak hanya darah manusia yang tumpah, juga darah demokrasi Israel, kalau memang ada. Di sekitarnya, sebuah kelompok orang gila yang rasis terus menari dengan irama gendang penderitaan warga Arab.
Serangan itu mencapai klimaksnya ketika, alih alih bertemu dengan Mohammed Barakeh (Ketua Higher Arab Monitoring Committee) untuk membahas situasi yang ada, polisi menahannya untuk diinterogasi. Semua ahli menyebut perilaku warga Arab selama masa-masa sulit ini tidak lain dari kebodohan, bahkan Komisaris Polisi telah berbicara dalam nada berang. Tetapi negara, lewat sosok Ben-Gvir, telah menyatakan perang terhadap masyarakat Arab. Tidak ada satu pun kata kritik yang diucapkan oleh warga Israel terhadap tontonan kekejian ini.
Para pemimpin kelompok yang memprotes terhadap perombakan peradilan, terutama mereka yang menganggap diri mereka di ” kelompok kiri,” juga ikut-ikutan menyerang siapa pun yang berani mengutuk serangan Israel terhadap Gaza, bahkan ketika serangan itu telah menyebabkan kematian 11.000 warga Gaza. Sementara tindakan fasis Israel membajak demokrasi dan melakukan apa pun yang diinginkannya, kelompok kiri Israel yang selama ini dikagumi lantaran keberpihakannya kepada kaum tertindas malah meminta dunia untuk tetap diam.
Kelompok fasis Israel mengontrol saluran negara. Gema kekejaman terhadap warga Palestina di Jalur Gaza dapat dilihat di kantor polisi dan penjara, di jalan-jalan, di suasana teror polisi dan dalam serangan terhadap para demonstran. Belum lagi senjata yang dibagikan secara acak kepada kaum fasis tersebut. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu bahkan memanfaatkan pembantaian Hamas dan genosida di Gaza ini dengan mengerahkan Ben-Gvir dan Menteri Kehakiman Yariv Levin melakukan serangan brutal terhadap demokrasi dan membawa kediktatoran penuh.
Jadi, alih-alih merusak dunia, orang-orang waras di Israel harus mengalihkan perhatian mereka pada apa yang terjadi di dalam negeri sendiri. Karena setelah genosida ini, mereka tidak akan mengenali lagi negara yang mereka tempati.