Rabu, April 24, 2024

Rizal Vs Sudirman dan Manajemen Konflik Jokowi

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.

rizalramliMenko Perekonomian Darmin Nasution (kanan) dan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli (tengah) berbincang dengan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakhiri (kiri) di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/2). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

Ada kegaduhan di Kabinet Kerja. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli bersitegang dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said terkait Blok Masela. Tidak hanya itu, Rizal Ramli ingin mengubah nomenklatur kementeriannya tanpa konsultasi dengan Presiden. Kegaduhan ini diliput secara ekstensif oleh media massa, sehingga selalu melekat pada ingatan kolektif publik.

Mencermati respons sejumlah pengamat, terlihat jelas bahwa Presiden Jokowi terkesan membiarkan Rizal Ramli memicu kontroversi-kontroversi tersebut. Menurut Wakil Ketua DPR Fadli Zon, perseteruan Rizal Ramli dan Sudirman Said terjadi karena masalah leadership Presiden sendiri. Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo justru menegaskan bahwa akan sangat aneh jika perseteruan tersebut sama sekali tidak ada, namun tetap harus ada ketenangan, dan kepastian hukum.

Sementara itu, ihwal pengubahan nomenklatur kementrian, anggota Komisi VII DPR Inas Nasrullah Zubir berpendapat hal tersebut melanggar peraturan yang ada. Komentar menarik berasal dari aktivis Adhie M Massardi yang menilai kegaduhan Rizal Ramli adalah kegaduhan putih, karena menyelamatkan uang negara.

Dalam perspektif intelijen dikenal false flag operation. Contoh terkenal adalah pembakaran gedung Reichstag (Parlemen Jerman). Adolf Hitler menuduh Yahudi dan Komunis sebagai pelaku pembakaran. Sejarah membuktikan pelakunya adalah pihak Nazi sendiri. Nazi melakukan hal tersebut untuk mengkambing-hitamkan Yahudi-Komunis sebagai musuh bersama bangsa Jerman.

Apakah kegaduhan di Kabinet Kerja adalah false flag operation untuk tujuan tertentu? Tak mudah untuk mengetahuinya secara pasti, karena harus didukung bukti kuat seperti notulensi sidang kabinet maupun dokumen pendukung lainnya. Namun, jika dianalisis secara jeli, Presiden Jokowi seolah sengaja menjadikan Rizal Ramli sebagai whistle blower di pemerintahan.

Jokowi sangat sadar dengan rekam jejak Rizal Ramli, intelektual dan aktivis LSM yang terbiasa kritis dengan kekuasaan. Di sini justru menunjukkan kekuatan kepemimpinan Jokowi itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kabinet Jokowi-Jusuf Kalla berisi berbagai kepentingan yang terwakili oleh berbagai partai politik.

Maka, Presiden Jokowi harus memastikan bahwa kabinet bekerja sesuai dengan arahannya. Rizal Ramli adalah ‘proxy’ yang diangkat Presiden Jokowi untuk memastikan hal tersebut terjadi.

Hanya, yang menjadi pertanyaan, mau sampai kapan kegaduhan ini terjadi? Jika melihat praktek demokrasi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman, kegaduhan internal di kabinet seperti yang terjadi di sini tidak pernah dibiarkan berlarut-larut. Menjadi wajar jika seharusnya publik mengharapkan agar perbedaan pendapat di antara anggota kabinet diselesaikan secara internal pada rapat atau pertemuan.

Jika dicermati lebih jauh, perbedaan pendapat tersebut menjadi kegaduhan di ranah publik bisa jadi karena memang mekanisme internal pada rapat kabinet atau lobi informal tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terlebih jika melihat kabinet Presiden Jokowi yang “gemuk” karena terdiri dari koalisi berbagai partai politik. Ini yang memungkinkan perwakilan partai-partai tersebut memiliki kepentingan yang berbeda dari Presiden sendiri.

Jika komunikasi politik dalam menghadapi rekan koalisi partai di pemerintahan sudah buntu, wajar jika Presiden Jokowi mendorong Rizal Ramli menjadi ‘proxy’ untuk berkomunikasi dengan publik. Kalau partai-partai tidak mendukung kebijakan Presiden, hanya publik yang bisa diandalkan untuk memberi dukungan.

Akan tetapi, kita harus realistis bahwa sistem politik Indonesia masih sangat mengandalkan partai politik. Kita bukan seperti Republik Islam Iran, di mana golongan atau kelompok dapat mencalonkan presiden tanpa bantuan partai politik sama sekali. Pada tingkat daerah, misalnya, hanya beberapa calon independen yang memenangkan Pilkada 2015. Pendeknya, mayoritas mutlak kepala daerah masih didukung penuh oleh partai politik.

Melihat sistem politik kita seperti itu, Presiden Jokowi berada di persimpangan jalan. Tidak mungkin komunikasi publik ala Rizal Ramli dijadikan strategi politik jangka panjang, karena akhirnya akan membentur “Tembok Berlin” partai politik juga.

Oleh karena itu, seperti yang pernah saya utarakan, mendirikan partai politik sendiri merupakan opsi yang sangat menggiurkan bagi Presiden Jokowi, sebab menjanjikan dukungan politik jangka panjang dari para relawan dan mayoritas rakyat Indonesia itu sendiri. Di sini menjadi hal yang patut dikaji lebih lanjut, apakah Rizal Ramli sebenarnya dijadikan “proxy” untuk membuka langkah Presiden Jokowi mendirikan partai politik baru? Waktu yang akan menjawabnya.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.