Wali Kota Bandung Ridwan Kamil berencana membangun Bandung Teknopolis. Rencana ini dipaparkan ke publik melalui gambar-gambar tiga dimensi yang impresif dan foto-foto pertemuan antara sang Wali Kota dengan eksekutif perusahaan-perusahaan teknologi informasi terkemuka di Silivon Valley. Dengan menarik perusahaan-perusahaan teknologi informasi yang telah mapan dan dipandang inovatif untuk berkantor di Bandung Teknopolis, warga Bandung diharapkan akan tertular virus inovasi.
Dari tanggapan di media sosial, sebagian besar warga Bandung menyambut gembira rencana ini. Namun demikian, apakah Bandung Teknopolis benar-benar akan menjadi tempat kelahiran inovasi di bidang teknologi informasi?
Kota Bandung selama ini memang telah dikenal sebagai sebuah kota yang memiliki banyak pekerja kreatif. Namun di sektor sains dan teknologi, Bandung belum mampu menumbuhkan dirinya sebagai kota yang mendasarkan kegiatan ekonominya pada pengetahuan dan teknologi. Padahal, sebagai lokasi berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia (seperti Universitas Padjajaran dan Institut Teknologi Bandung), Bandung sebenarnya berpotensi besar untuk berkembang menjadi sebuah lingkungan yang mampu mendorong lahirnya inovasi.
Kantor Pusat PT Telkom sebagai BUMN telekomunikasi juga berada di Bandung. Potensi inilah yang tampaknya menjadi latar belakang Ridwan Kamil sangat bersemangat memperjuangkan terwujudnya Bandung Teknopolis. Rencana ini pun sejalan dengan program Badan Perencanaan Nasional yang menargetkan membangun 100 teknopark di kabupaten/kota dan science park di setiap provinsi.
Menyinggung teknopolis dan teknopark berarti membicarakan inovasi dalam ranah spasial. Dari sudut pandang ini, para pelaku inovasi berada di dua lokasi kerja. Pertama, mendekat ke sumber pengetahuan. Kedua, mendekat ke pasar. Di antara keduanya, saat ini terdapat satu pola yang akhir-akhir ini coba dikembangkan oleh Tiongkok, yaitu mendekat ke rantai manufaktur.
Dari ketiga alternatif ini, pola inovasi yang paling banyak berhasil adalah mendekat ke sumber pengetahuan, seperti di Silicon Valley, Korea, dan Jepang. Pola inovasi yang mendekat ke pasar contohnya adalah sekolah kedokteran yang biasanya bersebelahan dengan rumah sakit. Dari praktik-praktik dokter di rumah sakit, berbagai obat dan metode kesehatan dikembangkan dari waktu ke waktu.
Model teknopolis dipopulerkan oleh Jepang melalui kebijakan regionalnya pada 1960-an. Ia terinspirasi oleh Akademgorodok (terjemahan bahasa Inggris: Academy Town) di Rusia yang dibangun di masa Stalin pada 1950-an. Contoh teknopolis di Jepang adalah Tsukuba Science City dan Kansai Science City.
Faktor keberhasilan teknopolis adalah iklim bisnis yang didorong negara, lembaga penelitian yang terlindungi oleh undang-undang, pendidikan dan penelitian yang baik, kolaborasi stakeholder yang juga dilindungi, serta yang tidak kalah penting adalah infrastruktur inovasi seperti laboratorium dan fasilitas penelitian lainnya.
Di Indonesia, konsep teknopolis pernah direncanakan pada era Orde Baru dengan Puspitek sebagai wadahnya yang didukung BPPT dan Bandung Innovative Valley.
Istilah teknopark dan science park menjadi populer saat Universitas Stanford membangun Stanford Industrial Park seluas 280 hektare pada 1951. Stanford Industrial Park yang digawangi oleh Frederick Terman, profesor di Departemen Elektro Universitas Stanford, secara organik kemudian berkembang menjadi Silicon Valley. Ia menelurkan perusahaan-perusahaan berkelas dunia seperti HP, Intel, Apple, dan Microsoft.
Selepas dari Stanford, Terman ditawari mengembangkan techno park di bagian lain Amerika Serikat, yaitu New Jersey dan Dallas (Texas). Kedua lokasi tersebut berdekatan dengan ratusan laboratorium riset yang memiliki ribuan saintis dalam payung perusahaan-perusahaan teknologi kelas kakap.
Namun di kedua lokasi ini Terman gagal mengulang sukses Silicon Valley. Penyebab utamanya adalah interaksi yang sangat minim di antara para peneliti dari perusahaan dan peneliti dari dunia akademik. Tidak seperti di Silicon Valley yang aktif berkolaborasi, para pelaku bisnis lebih suka melakukan penelitian secara mandiri (Leslie dan Kargon, 1996).
Gagal di New Jersey dan Texas, Terman kemudian mendapatkan kesempatan di Korea Selatan pada awal 1970-an. Saat itu pemerintah Korea Selatan membangun Korea Advanced Institute of Science (KAIS) berdampingan dengan komplek industri untuk melengkapi peran akademik yang sebelumnya dilakukan oleh Korea Institute of Science and Technology (KIST). Tujuannya membantu perkembangan industri teknologi di Korea Selatan agar bisa bersaing di kancah global.
Untuk itu, pemerintah Korea Selatan menginisiasi dan membiayai kegiatan riset bersama antara akademik dan industri. Hasilnya, ia mampu mendorong integrasi horizontal (sesama perusahaan) dan menumbuhkan pembelajaran kolektif di antara mereka. Bahkan kolaborasi tersebut terjadi di dalam komunitas perusahaan besar berteknologi tinggi dan membangun model bisnis terintegrasi-vertikal yang berkompetisi secara gigih seperti Samsung dan Goldstar (Leslie dan Kargon, 1996).
Dari kasus-kasus di atas, kita bisa tarik lima pelajaran penting. Pertama, inovasi terjadi pada kegiatan-kegiatan riset kolaboratif yang berawal dari keinginan bersama untuk membangun kapabilitas dan daya saing perusahaan agar bisa menggarap pasar yang lebih luas atau ceruk pasar baru. Kedua, inovasi dimulai dari sumber daya (pengetahuan, keahlian, bahan baku, mesin-mesin produksi, dan lain-lain) yang dipunyai saat ini, bukan dari apa yang tidak dimiliki.
Ketiga, mesin utama inovasi adalah kreativitas: perpaduan antara pengetahuan, wawasan, dan etos kerja. Keempat, inovasi terjadi karena lingkungan tersebut menumbuhkan kolaborasi di tengah suasana yang kompetitif. Kolaborasi bisa menumbuhkan pembelajaran kolektif, sedangkan kompetisi akan mendorong para pelaku untuk memunculkan gagasan-gagasan baru dan kemudian dilempar ke pasar. Reaksi antara kolaborasi dan kompetisi inilah yang menjadi bahan bakar inovasi.
Kelima, inovasi adalah fenomena jejaring. Sebagai ilustrasi, fenomena inovasi tak ubahnya seperti orang berjualan dengan membuka warung, di mana sebuah pasar akan terbentuk jika ada jejaring antara pemasok, penjual, penyedia transportasi, dan yang tidak kalah penting adalah pola arus mobilitas pembeli.
Bagaimana dengan Bandung Teknopolis di Gede Bage? Selain tidak berada di dekat sumber pengetahuan, ia juga tidak merapat ke pasar teknologi. Di sana juga tak ada jejaring manufaktur teknologi informasi. Para pelaku usaha teknologi informasi yang ada di Bandung pun sebagian besar tidak berkantor di situ.
Di sisi lain, Gede Bage sebenarnya telah berkembang menjadi rumah bagi berbagai macam aktivitas usaha berbasis teknologi, namun bukan teknologi informasi. Di sana ada berbagai macam pabrik berkala menengah dan besar. Di wilayah ini pun ada puluhan bengkel logam yang bernaung di bawah Lingkungan Industri Kecil (LIK) yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Puluhan bengkel ini mampu melayani berbagai macam keperluan, dari pesanan skala kecil dan berteknologi sederhana, hingga mesin-mesin produksi yang membutuhkan presisi tinggi. Sayangnya, di balik gempita Bandung Teknopolis, kawasan LIK kurang diperhatikan. Infrastruktur jalan rusak parah, sehingga berubah menjadi sungai dan kubangan lumpur saat musim hujan datang.
Maka, agak mengherankan jika Bandung Teknopolis lebih dikhususkan untuk bidang teknologi informasi yang tak ada di situ, sementara usaha teknologi yang telah ada malah tidak diperhatikan. Saat ini teknologi informasi memang menjadi bidang yang seksi. Tapi Pemerintah Kota Bandung perlu ingat bahwa akan sangat sulit untuk menghela inovasi di sebuah tempat jika aktivitas yang terkait dengannya sama sekali belum ada di tempat tersebut.
Sekadar saran sederhana untuk menghela inovasi, perhatikanlah apa yang telah ada, jangan terlalu pusing dengan apa yang tidak dimiliki.