Selain diperingati secara seremonial, peristiwa nuzul al-Qur’an (turunnya al-Qur’an) hendaknya dijadikan momentum merenungi Kitab Suci ini secara lebih reflektif. Salah satu yang dapat kita refleksikan dari peristiwa itu ialah aspek sejarah al-Qur’an dalam kesarjanaan mutakhir.
Dalam studi al-Qur’an, aspek historisitas ini telah menyedot perhatian banyak sarjana, klasik dan modern. Al-Qur’an sendiri menyebut Kitab Suci ini diturunkan pada bulan Ramadhan (QS. 2:185), namun yang namanya sejarah menuntut lebih presisi: Kapan persisnya al-Qur’an diturunkan? Pelajaran apa yang bisa dipetik dari sejarah al-Qur’an terkait kelahiran Islam?
Dari pertanyaan itulah muncul jawaban beragam dalam literatur Muslim awal. Naluri “historis” tidak hanya terbatas pada peristiwa nuzul al-Qur’an. Teks-teks al-Qur’an pun tak luput dari pertanyaan itu: Kapan persisnya setiap ayat turun? Maka, lahirlah pemetaan teks al-Qur’an: Sebagian turun di Mekkah dan sebagian lagi di Madinah.
Namun demikian, pemetaan semacam ini tak sanggup memuaskan naluri keingintahuan kita. Dari situlah lahir sebuah genre dalam ilmu tafsir, yang dikenal dengan asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat-ayat tertentu). Tentu asbab al-nuzul membantu kita memahami makna ayat-ayat tertentu secara lebih baik karena memang dimaksudkan untuk memberikan konteks historis. Asbab al-nuzul menjawab pertanyaan yang tidak kita dapatkan dari teks al-Qur’an sendiri.
Dari Sejarah menuju Teks
Apakah asbab al-nuzul itu sendiri historis? Ini pertanyaan rumit, walaupun seringkali dijawab dengan sederhana. Narasi-narasi asbab al-nuzul banyak kita jumpai dalam kitab-kitab tafsir dan sirah (biografi Nabi Muhammad). Bagi banyak kalangan, historitas asbab al-nuzul dapat diverifikasi melalui penelitian silsilah transmisinya. Jika proses transmisinya memenuhi persyaratan, maka kontennya dapat diterima sebagai fakta historis.
Persoalannya menjadi rumit karena kenyataannya kitab-kitab yang memuat narasi asbab al-nuzul tersebut ditulis jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad. Kitab tafsir utuh paling awal yang sampai kepada kita sekarang ialah karya Muqatil bin Sulaiman (wafat 150/767) yang ditulis lebih dari satu abad setelah meninggalnya Nabi. Demikian juga sirah Nabi paling awal ditulis Ibnu Ishaq (wafat 150/767) dalam jarak yang sama. Belum lagi karya Ibnu Ishaq yang sampai kepada kita merupakan hasil editan Ibnu Hisyam (wafat 218/834).
Maka, jika ditanya apakah kita punya bukti dokumenter sezaman dengan peristiwa diturunkannya al-Qur’an, jawabnya ialah tidak. Sebab, seluruh literatur Islam yang kita miliki ditulis lebih dari seratus tahun setelah peristiwanya terjadi. Padahal, salah satu kanon bagi seorang sejarawan adalah untuk menggunakan catatan atau dokumen yang sezaman dengan peristiwa yang direkamnya.
Karena itu, literatur klasik yang kita miliki perlu disikapi secara kritis. Fakta bahwa dalam menetapkan nuzul al-Qur’an saja para ulama berbeda pendapat menunjukkan adanya elemen ketidakpastian secara historis. Di sana ada unsur menebak-nebak. Itulah sebabnya, dalam kesarjanaan al-Qur’an mutakhir, terjadi pergeseran dari memahami al-Qur’an melalui sejarah menuju pemahaman teks Qur’an sendiri.
Penekanan pada teks sebagai locus classicus itu ternyata dapat menyingkap kreativitas al-Qur’an dalam merespons persoalan-persoalan yang muncul di zamannya.
Sebagai sebuah ilustrasi, kita dapat diskusikan satu contoh yang telah menyita perhatian banyak sarjana, yakni soal kritik al-Qur’an terhadap ajaran Kristen.
Sebagaimana jamak diketahui, banyak ayat al-Qur’an mengkritik ajaran Kristen, termasuk doktrin Trinitas. Dari sejumlah ayat (QS. 4:171; 5:73, 116), kita mendapatkan kesan kuat bahwa al-Qur’an menuduh kaum Kristiani mengimani tiga tuhan, yaitu Allah, Maryam dan Isa. Karena kaum Kristiani tidak mengimani triteisme (tiga tuhan) dan Maryam tidak termasuk uqnum Trinitas, muncul pertanyaan: Siapakah yang sebenarnya dikritik al-Qur’an?
Banyak sarjana Muslim dan non-Muslim mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menelusuri sejarah jazirah Arabia saat diturunkannya al-Qur’an. Mereka menemukan, ada sekte Kristen yang konon memuja Maryam hingga pada tingkat “menuhankannya”. Sekte yang terdiri dari kaum perempuan itu disebut Kollyridian karena mempersembahkan potongan roti (dalam bahasa Yunani, roti = kollyris). Namun, eksistensi sekte ini masih diperdebatkan luas.
Di satu sisi, temuan ini cukup signifikan, karena berarti al-Qur’an tidak mengkritik pemahaman mainstream kaum Kristiani. Yang dikritik al-Qur’an ialah paham Trinitas yang juga ditolak umat Kristen sendiri. Tentu saja pandangan ini berguna untuk menjembatani kesalah-pahaman dalam perbincangan lintas-agama.
Di sisi lain, pandangan tersebut mengasumsikan bahwa jazirah Arabia sangat terpencil dari peradaban dan ajaran Kristen yang ortodoks. Asumsi ini belakangan semakin sulit dipertahankan. Sejak masa pra-Islam, Mekkah itu sudah sangat atraktif bagi penziarah dari luar kota. Apalagi diakui oleh sumber-sumber Muslim sendiri bahwa Mekkah merupakan pusat atau jalur perdagangan.
Demikian juga narasi-narasi al-Qur’an mengisyaratkan audiensnya yang cukup familiar dengan wacana yang berkembang dalam tradisi agama-agama sebelumnya, terutama Yahudi dan Kristen. Karena itu, diperlukan pemahaman alternatif terhadap kritik al-Qur’an tersebut dengan memfokuskan pada teks itu sendiri.
Argumen Polemik
Al-Qur’an tentu menyadari bahwa umat Kristiani tidak mengimani triteisme dan Trinitas itu meliputi Bapak, Anak, dan Ruh Kudus, bukan Allah, Isa dan Maryam. Dengan demikian, klaim al-Qur’an dapat dipahami sebagai argumen polemik untuk memenangkan sebuah perdebatan teologis yang rumit. Al-Qur’an menggunakan retorika tertentu untuk mendeskripsikan absurditas doktrin Kristen dari perspektif Islam.
Dengan kata lain, al-Qur’an sebenarnya mengetahui bahwa umat Kristen tidak meyakini tiga Tuhan atau mengatakan Maryam sebagai uqnum Trinitas. Tuduhan itu lebih merefeksikan iklim polemik di mana al-Qur’an lahir.
Demikian juga ketika al-Qur’an menuduh para penganut agama lain telah menyekutukan Tuhan. Itu bagian dari retorika polemik al-Qur’an. Sebab, mereka bukan saja tidak menyebutkan diri musyrik, tapi juga menolak dikatakan menyekutukan Tuhan. Mereka adalah pengikut agama tauhid.
Dengan menyebut kritik al-Qur’an sebagai pernyataan polemik, setidaknya ada tiga sasaran yang bisa dicapai. Pertama, al-Qur’an tidak salah paham dalam soal Trinitas, karena bahasa yang digunakannya lebih merupakan pernyataan polemik. Kedua, dengan argumen ini kita bisa menepis tuduhan pengaruh ajaran heretik dalam Islam. Ketiga, kalangan yang dituduh al-Qur’an sebagai kafir atau musyrik tidak berarti betul-betul kafir dan musyrik.
Implikasi argumen ini bagi diskursus sejarah kemunculan Islam sebenarnya cukup radikal. Kelahiran Islam tidak lagi dilihat sebagai berlatar belakang masyarakat paganistik, melainkan hasil dari pergumulan dan polemik intra-agama monoteis, seperti lahirnya agama Kristen dari tradisi Yahudi.
Dalam kesarjanaan mutakhir, perbincangan tentang “kultur” al-Qur’an telah melahirkan beragam spekulasi tentang bagaimana al-Qur’an lahir ke ruang sejarah manusia. Sekarang tak ada kesepakatan kapan dan di mana al-Qur’an muncul, bahkan dengan bahasa apa. Tapi justru itulah Kitab Suci kaum Muslim itu menjadi pusat penelitian yang semarak. Kolega saya, Profesor Gabriel Reynolds (New Perspectives on the Qur’an, The Qur’an in its Historical Context 2, 2012), menyebut kajian al-Qur’an di Barat saat ini berada pada “masa keemasan” (golden age).
Lalu, bagaimana status studi al-Qur’an di dunia Muslim sendiri?