Selasa, Oktober 8, 2024

Realisme Eksistensialis Arief Budiman

Rae Wellmina
Rae Wellmina
Pelayan Kata. Menulis Embun Kerinduan (2019) S1 Business Administration Undip & Ateneo de Manila Univ Phillipines S2 Islamic Philosophy & Mysticism di Jakarta Bergiat di Rumi Institute & Center of Living Islamic Philosophy Jakarta IG: raewellmina / FB: rae wellmina / e-mail : raewellmina@gmail.com

Sudah banyak tulisan obituari yang mengulas mendiang Prof. Arief Budiman PhD (3 Januari 1941 – 23 April 2020). Namun semua serupa pecahan kaca, hanya memantulkan sebagian kepribadian dan jalan sunyi sang profesor Indonesia pertama di Australia, tidak ada yang utuh. To big is to be misunderstood.

Barangkali itulah kata yang tepat untuk menggambarkan betapa tidak mudahnya memahami kebesaran mendiang sosok Soe Hok Djien, kakak kandung Soe Hok Gie, yang kita kenal dengan nama asimilasi Arief Budiman.

Doktor dari Harvard University itu memilih berganti nama “pribumi” yang dia minta pacarnya saat itu, Leila Chairani, untuk menggantinya. Kata Arief sama artinya dengan kata Djin dalam nama lahirnya, yaitu bijaksana. Sedangkan kata Budiman dipilih Leila karena kesamaan huruf B dengan nama ayahnya, Baharsyah. “Jadi saya tidak perlu mengganti tanda tangan saya” demikian alasan sang belahan jiwa, dan Arief pun menurut saja.

Arief awalnya seorang yang lebih banyak bergelut dengan pemikiran filsafat dan seni. Di usia 19 tahun ia sudah fasih menguasai Being and Nothingness nya Jean Paul Sartre yang terkenal rumit. Ia juga telah menerjemahkan L’etranger nya Albert Camus. Ia berubah menjadi seorang man of action, yang memenuhi jalan hidupnya dengan aktivisme politik moral, semenjak Soe Hok Gie meninggal.

Arief tertegun ketika menjemput jenazah Gie di Malang. Jiwanya seolah tersentak kaget, ketika seorang pembuat peti jenazah menangis, meratapi kematian adiknya, sembari berujar “Gie orang yang berani”. Pilot pesawat yang membawa jenazah adiknya berujar padanya, “Andai Gie masih hidup, dia akan bisa berbuat lebih banyak”.

Kesaksian orang-orang yang disentuh oleh perjuangan Gie menghasilkan epifani, titik balik, pada diri Arief. Hingga dia menjadi seorang aktivis, meminjam istilah kolega dekatnya, Prof Ariel Heryanto, seutuh-utuhnya, sedalam-dalamnya aktivis. Pada saat demo reformasi 1998 di Jakarta, Arief turut serta turun ke jalan di depan kampus Atmajaya Jakarta. Padahal hari itu dia seharusnya terbang ke Melbourne. Status sebagai Guru Besar di Australia, tidak membuatnya ‘jaim” untuk bergabung dengan aktivis mahasiswa. Arief contoh seorang par excellence aktivis sejati.

Namun aktivisme politik bagi Arief, adalah murni politik moral, kemanusiaan dan suara rakyat. Bukan politik praktis yang ingin meraih jabatan tertentu. “Perjuangannya murni, sepi ing pamrih. Persahabatannya murni, tak pernah ada agenda lain. Ekspresinya murni, tak pernah ada tipu muslihat. Ia sungguh akrab dengan yang murni” demikian kesaksian Goenawan Mohammad (GM), sastrawan Salihara yang menjadi sahabat dekat Arief sejak mahasiswa S1 di Psikologi UI. GM juga satu dari lima belas orang sahabat dekat, yang hadir di acara ijab qabul Arief dan Leila.

Arief dikenal amat sangat kritis terhadap pemerintah maupun birokasi kampus tempat dia mengajar di UKSW Salatiga. Segala bentuk ketidak adilan, dan kebijakan yang melangar kemanusiaan, akan ditentang oleh Arief. Ia bak personifikasi dari Minke nya Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan, “jika ada hak kemanusiaan yang dilanggar, aku memiliki urusan atasnya”. Uniknya, dan ini yang membedakan Arief dengan kebanyakan aktivis lainnya.

Arief memiliki filosofi ‘melawan tanpa kebencian’. Ia tak menaruh dendam kepada orang-orang yang dia kritik tajam. Bahwa perlawanan dan protes yang dia lakukan, adalah murni ekspresi cinta dirinya pada pihak yang diprotesnya. Agar mereka tidak larut terseret dalam kezaliman yang tidak dia sadari. Yang dalam bahasanya GM, “Arief percaya bahwa kesadaran, komitmen, akan bisa mengubah keadaan”. Namun lebih dalam, Arief tidak hanya peduli dengan kemanusiaan semata. Dia pernah memprotes keras pihak-pihak yang memberi minum paksa hewan-hewan ternak, melebihi batas, agar menjadi besar dan mahal saat dijual. Dia memprotes keras, karena pihak-pihak yang diserangnya dianggapnya tidak memiliki “peri kebinatangan”.

Banyak orang tahu bahwa Arief seorang intelektual tangguh yang seolah kalis dari jerat pesona kekuasaan praktis. Namun tak banyak yang tahu bahwa salah satu mentor yang mempengaruhi jalan pilihan intelektualnya adalah Clifford Geertz, sang penulis The Religion of Java yang monumental itu.

Geertz mengundang Arief ke Princeton University, agar dia menulis disertasinya selama satu tahun di sana. Sebab Harvard University telah menghentikan beasiswanya setelah dua tahun. Arief mengendarai “Mr. Grandy” yang tak lain adalah mobil butut station wagon bekas, bersama Leila dan dua anaknya, Adrian dan Santi. Dia menempuh perjalanan darat dari Cambridge ke Princeton lalu ke California. Seperti dari Sabang sampai Merauke, seloroh Leila.

Saat-saat di Princeton University itulah, Geertz menasihati Arief agar dirinya menempuh jalan intelektual murni. Dan berharap agar Arief tidak masuk ke jalur politik praktis. Alasan Geertz sederhana dan sangat make sense, jika Arief tidak masuk ke jalur politik praktis akan banyak orang yang mengambil jalan itu. Namun jika dia tidak mengambil jalan intelektual murni, tidak akan ada orang yang mengambil jalan sunyi itu.

Geertz sebagai antropolog kawakan dengan reputasi internasional, dan sebagai orang yang pernah meneliti Jawa, agaknya ia sangat paham dengan karakter intelektual Nusantara, yang sangat rapuh diterpa godaan kekuasaan. Sehingga dia mewanti-wanti betul agar Arief  istiqomah di jalur intelektual yang sunyi. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Atau yang dalam bahasanya Gie, menjadi orang yang siap untuk dilupakan.

Saat menyusun tulisan ini, aku tergoda untuk membandingkan Arief Budiman dengan ‘Ali Syariati. Karena keduanya sama-sama aktivis intelektual yang bersuara lantang membela kemanusiaan dan keadilan. Dengan tak ragu menentang rezim penguasa. Keduanya juga sama-sama sering dipenjara oleh rezim. Dan keduanya memiliki background study dan minat yang serupa, sosiologi dan sastra. Namun ternyata mereka berbeda.

Aku juga tergoda untuk membandingkan Arief Budiman dengan Jean Paul Sartre. Filsuf eksistensialis yang dikaguminya dan sangat mempengaruhi pemikiran di masa mudanya. Mereka berdua sama-sama aktivis intelektual publik. Sama-sama penulis dan kritikus sastra. Namun aku teringat kisah cinta Arief yang murni dengan Ibu Leila. Kisah cinta yang sangat kontras dengan kisah cinta Sartre dengan Simone de Beauvoir. Aku sadar Arief dan Sartre tidak sama.

Akhirnya aku yang awam ini berkesimpulan, sebagai seorang eksistensialis Arief telah utuh menjadi dirinya sendiri. Beliau adalah seorang intelektual Realisme Eksistensialis. Yaitu intelektual yang selalu menghadapi dunianya dengan berupaya memberikan jawaban atas segala persoalan real yang tengah dihadapi. Dan beliau menjadi dirinya sendiri. Arief Budiman adalah Arief Budiman.

Tidak ada yang serupa dengan dirinya. Tidak ada duanya di muka bumi. Selamat berpulang Prof. Arief. aku mengawali menyusun tulisan ini dengan menghadiahkan sholat Sunnah dua rakaat dan membacakan Al Fatihah serta Yasin. Selamat bergabung dengan adikmu, Soe Hok Gie. Lahul Fatihah.

Rae Wellmina
Rae Wellmina
Pelayan Kata. Menulis Embun Kerinduan (2019) S1 Business Administration Undip & Ateneo de Manila Univ Phillipines S2 Islamic Philosophy & Mysticism di Jakarta Bergiat di Rumi Institute & Center of Living Islamic Philosophy Jakarta IG: raewellmina / FB: rae wellmina / e-mail : raewellmina@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.