Jumat, Maret 29, 2024

Rasisme Papua dan Praktek Jurnalisme Damai

Pada 20 Agustus 2019, sore hari. Ada empat orang pria terlihat hilir mudik depan asrama mahasiswa Papua di Jalan Lanto Daeng Pasewang, Makassar. Tak ada interaksi dengan penghuni. Mereka terlihat seperti mengawasi. Sejam berikutnya ada beberapa orang berkumpul. “Sedikit-sedikit, lalu rame banyak orang,” kata salah seorang penghuni asrama.

Menjelang pukul 18.00 ketika matahari mulai menghilang, beberapa orang mulai melempari asrama. Entah apa yang memicu kumpulan itu. Asrama Papua itu diserang. Hujaman batu menghantam kaca, tembok dan atap. Lontaran kata-kata bernada provokasi, yang meminta penghuni asrama untuk melawan, bergema. 

Mahasiswa Papua itu terdesak. Hari itu penghuni asrama lebih banyak perempuan, laki-laki hanya delapan orang. Tidak ada pilihan, mahasiswa mulai melawan. Saling lempar terjadi. Video kekisruhan itu beredar.

Saya menonton video itu menjelang pukul 19.30. Lalu lintas di jalan Lanto Daeng Pasewang yang berhadapan dengan Rumah Sakit Stroke Center dan Rumah Sakit Jiwa, lumpuh. Jelang pukul 20.00 kumpulan orang itu berangsur mundur.

Polisi juga mulai datang. Suasana mulai dikuasai. Polisi membuat brikade. Tak ada orang yang mendekat ke dalam asrama. Kisruh itu kemudian dijadikan sebagai sebuah peristiwa yang terjadi tiba-tiba. Padahal dari asrama mahasiswa Papua, hanya beberapa ratus meter ada Makodim 1408 dan Mapolsek Mamajang.

Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, ikut mendatangi lokasi yang kisruh. Dia bertemu dengan beberapa mahasiswa. Menenangkan dan meyakinkan keadaan Makassar tetap kondusif. Gubernur bicara di depan awak media, jika bentrokan itu hanyalah kesalahpahaman.

Menurut dia, ada warga yang mendatangi asrama mahasiswa Papua untuk berdiskusi mengenai kemanan. Mahasiswa kemudian takut dan mengusir warga, lalu masing-masing pihak saling tersinggung. “Tidak ada bang. Itu bohong. Nda ada itu dialog,” kata penghuni asrama.

Saya menemui dan menelfon beberapa penghuni asrama Papua. Dia enggan namanya disebutkan. Tapi mereka adalah saksi utama dalam bentrokan itu. Ketika dia membaca laporan wawancara dari gubernur Nurdin, yang juga mengatakan tak ada korban. Komentarnya singkat. “Bodok sampe,” katanya.

Pada saat bentrok itu, ada dua anak mahasiswa Papua kena anak panah. Satu kena kaki, satu kena belakang. Sementara empat orang lainnya kena luka lemparan batu. Sepertinya Nurdin Abdullah lupa menanyakan ke kepolisian dan mahasiswa mengenai korban. Sebab foto yang saya dapat yang menolong mahasiswa kena panah busur itu adalah seorang menggunakan rompi Polisi.

Sebelumnya, di beberapa grup, nama Muhammad Zulkifli beredar dalam aksi itu. Zulkifli adalah ketua Brigade Muslim Indonesia di Makassar – yang beberapa waktu lalu juga mendatangi gramedia Trans Mall yang meminta agar buku yang memuat nama Marx dihilangkan – ikut serta. “Tidak. Kami tidak ikut,” katanya.

“Kami hanya komunikasi dengan ketua asrama Papua. Intinya kami selalu berupaya membuat Makasar kondusif dengan cara berkomunikasi dan bersilaturahmi dengan mereka. Tapi sayang ada saja kelompok tertentu yang berusaha mengacaukan Makassar dengan cara menyebar hoax bahwa ratusan ormas menyerang. Harusnya aparat mengusut meme tersebut,” lanjutnya.

Lalu pada 21 Agustus, menjelang siang. Bersama staf dan Pj Walikota Makassar, dia mendatangi kembali asrama Papua. Dia datang makan siang bersama. Ruang depan, yang kaca jendalanya sudah hancur, di letakkan meja bundar. Ada mangkok berisi makanan dan piring. Gubernur berjanji akan menanggung biaya perbaikan asrama yang rusak. 

Sekitar pukul 14.30 giliran Kapolda Sulawesi Selatan, Irjen Polisi Hamidin yang datang. Dia bicara di ruang tengah asrama yang terbuka. Ruang itu biasanya digunakan mahasiswa untuk olahraga futsal. Ada seratusan mahasiswa yang duduk di lapangan. Kapolda bicara di depannya. Tak tahu apa yang disampaikan. Wartawan dilarang masuk. Ada beberapa tim kepolisian yang menggunakan rompi Gegana berjaga di depan. Bagi Kapolda, setelah pertemuan itu, di depan asrama Papua dia bicara tentang upaya menjaga suasana menjadi kondusif. Dia bilang, mahasiswa bebas beraktifitas seperti sebelumnya. Kuliah dan berjalan-jalan. Silahkan.

Namun tak ada pembicaraan mengenai pelaku awal yang membuat kisruh asrama. Ini tentu saja sama dengan kondisi yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya. Mengapa demikian? Saya mencoba melihat mengapa kisruh ini menjadi panggung pejabat pemerintah dan kepolisian dalam menyatakan pendapat. Jawabannya mudah saja, akses ke dalam asrama papua tak diizinkan.

Saya bertemu dengan beberapa orang wartawan. Mereka mendapat instruksi langsung dari ruang redaksi untuk tidak mengangkat hal-hal sensitif. Para reporter diminta bekerja agar mendapatkan komentar yang membuat suasana adem. “Jadi memang itu perintahnya. Jadinya semua tiba-tiba menjadi terkendali. Ya itu realitanya,” kata salah seorang reporter.

Bagi banyak kawan wartawan, pemberitaan yang tenang akan membuat suasana menjadi damai. Tapi, mereka lupa jika menilisik akar masalah dan mempertanyakan penanggung jawab kekisruhan akan menciptakan keadaan jauh lebih tenang.

Tiga hari pasca bentrok di asrama Papua Makassar, media massa hampir tak memuatnya lagi. Beberapa aksi solidaritas dari mahasiswa lainnya, yang mengutuk sikap rasis hanya menjadi cerita seremonial. Semua menjadi tenang. “Selesai sudah abang. Soalan rasisme itu memang hanya sesaat. Lupa sudah.”

Saya tercengang membaca balasan kawan Papua itu. Bagi dia, jika jurnalisme sudah mulai memihak apa lagi yang harus diharapkan. Untuk membuat orang tidak saling serang, mungkinkah ini praktek jurnalisme damai? Praktek yang menitikberatkan soalan semangat nasionalisme. Tidak memuat komentar yang dianggap dapat menyulut emosi. Tidak memuat fakta soalan puluhan orang yang melempari asrama Papua. Tidak menulis fakta soal korban bentrok.

Sejak awal, saya menolak kalimat Jurnalisme Damai ini. Bagi saya ini bagai membuat metode jurnalisme memiliki ragam pakem dan pembenaran dalam menghasilkan naskah. Khusus bentrok asrama Papua di Makassar adakah berita yang memuat analisis beragamnya sumber? Bukankah sumbernya menjadi tunggal dari Pajabat Daerah sampai kepolisian.

Atau mungkin Jurnalisme Damai ini, menciptakan keploisian dan pejabat daerah sebagai sumber paling valid. Bukan pada korban yang mengalami. Bukan pada mahasiswa Papua.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.