Pandainya kau berdusta dan bergaya
dalam kata-kata yang tak pernah ada
Teganya kau bersandiwara
bertopeng sepuluh warna
dan mendongeng seribu cerita
bualan sempurna
Kenapa kau berbohong?
Itulah dirimu yang kosong
terjatuh di kegelapan lorong.
Demikian bunyi puisi bertajuk “Dusta” yang menurut catatan di bagian bawahnya, ditulis Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, 4 Februari 2004. Puisi itu terhimpun dalam buku bertajuk Membasuh Hati di Taman Kehidupan (2014). Diluncurkan di Istana Cipanas 8 Agustus 2014 silam, dan dihadiri oleh beberapa penyair yang tak asing lagi dalam peta sastra Indonesia. Penyair Taufik Ismail tampil dengan mata berkaca-kaca membacakan beberapa puisi karya Presiden RI ke-6 itu.
Hanya SBY dan Tuhan yang tahu siapa orang yang “pandai berdusta” itu. Oleh karena puisi itu ditulis sebelum ia terpilih sebagai presiden periode pertama (Oktober 2004), boleh jadi subjek yang “tega bersandiwara” itu adalah lawan politik, sekadar memotret lelaku hipokrit seorang politisi, atau semacam otokritik untuk dirinya sendiri. Betapapun individu yang “bertopeng sepuluh warna” itu sukar dilacak, nuansa politis yang kental, hipokrisi yang tak malu-malu, dan aroma politik pencitraan, tak bisa lepas dari puisi itu.
Benar, jika aku sibuk melihat orang lain/kapan aku bisa melihat diriku sendiri/yang tidak luput dari kurang dan khilaf/Benar, jika orang lain selalu kulihat keburukannya/kapan aku bisa melihat kebaikannya/ yang diriku pun belum tentu punya. Cuplikan puisi “Taman Hati” (2010) ini lebih terasa sebagai nasihat ke dalam diri, ketimbang himbauan bagi khalayak ramai. Memang, presiden adalah juga manusia, yang tak luput dari salah dan khilaf. Tapi di lingkaran istana, siapa yang berani mengingatkan presiden secara langsung? Maka, lebih baik ia melihat ke dalam, atau setidaknya menyikapi hujatan dari luar pagar istana dengan puisi. Bukan menyangkalnya dengan pidato yang hanya akan menyingkap muka sangar penguasa.
Antologi Membasuh Hati di Taman Kehidupan merupakan kompilasi dari dua buku puisi yang sudah terbit dalam edisi terbatas sebelumnya, yaitu Taman Kehidupan (2004) dan Membasuh Hati (2010), dengan beberapa penambahan puisi baru. Buku itu dikata-pengantari oleh penyair Mustofa Bisri dan novelis-dramawan terkemuka Putu Wijaya. Keduanya menyikapi puisi-puisi presiden dengan ulasan yang sesederhana puisi-puisi itu sendiri, dan sedapat-dapatnya tidak terjerumus pada kajian, apalagi analisis yang komprehensif. Sebab, pada bagian pengantar penerbit, telah ditegaskan bahwa puisi-puisi itu ditulis SBY dengan bahasa sederhana, dan tanpa pretensi untuk disebut penyair. SBY berbicara tentang kasih sayang dan cinta, tentang perdamaian dan persahabatan, serta likuliku kehidupan. Dengan begitu, tak perlu pula diperdebatkan, apakah SBY sudah layak disebut penyair atau tidak.
Sementara itu, menjelang Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 silam, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, juga menyiarkan sebuah puisi bertajuk Sajak tentang Boneka. Tak lama selepas beredarnya puisi itu di media-media daring, sejumlah lawan politik dari partai yang telah memaklumatkan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden itu langsung menuding, Fadli Zon sedang menyindir Capres saingan Prabowo, yang tak lain adalah Joko Widodo alias Jokowi. Sebuah boneka/berbaju kotak merah muda/rebah di pinggir kota/boneka tak bisa bersuara/Kecuali satu dua kata. Demikian bunyi bait pembuka Sajak tentang Boneka itu.
Lugas, tanpa selubung metaforik yang rumit-rumit—meski sedikit menjaga rima—bahkan langsung menembak pokok persoalan, bahwa Capres Jokowi tiada lebih dari sebuah boneka yang sedang “dimainkan” atau sedang dikuasai oleh seorang Tuan. Dipungut di pinggir kota, pula. Kata “pinggir” dapat ditimbang sebagai bahasa kiasan bahwa Capres yang sedang bertabur bintang itu bukan bagian inti dari tubuh partai pengusungnya.
Dengan diksi sederhana dan serba terang, Sajak Tentang Boneka tidak lagi menyindir, tapi telah menegaskan sinisme secara telanjang. Boneka tak punya wacana/kecuali tentang dirinya/boneka tak punya pikiran/karena otaknya utuh tersimpan/boneka tak punya rasa/karena itu milik manusia/boneka tak punya hati/karena memang benda mati/boneka tak punya harga diri/apalagi nurani. Begitu bunyi bait selanjutnya, yang hendak menegaskan betapa politisi muda itu tak perlu berbasa-basi, apalagi bersembunyi di balik kode-kode puitik yang runyam dan penuh teka-teki. Sebab, yang hendak diraih bukanlah puncak pengalaman puitik, melainkan kesederhanaan dalam membungkus pesan politis hingga dipahami oleh sebanyak-banyaknya pembaca, termasuk kalangan yang anti-puisi sekalipun.
Kehadiran puisi, atau yang setidaknya disebut “puisi” oleh kalangan politisi, adalah kelumrahan yang tiada perlu dicemaskan bakal mendistorsi tatanan dunia sastra yang adiluhung. Alih-alih kuatir pada ketercemaran puisi, para penyair sungguhan mestinya riang-gembira menyambut kenyataan bahwa masih ada politisi yang “sadar-puisi”. Lagi pula, Fadli Zon bukanlah politisi yang jauh dari dunia puisi. Ia berasal dari latar belakang sastra, bahkan pernah menjadi salah satu redaktur di majalah sastra Horison. Bahwa kemudian kuat dugaan Sajak Tentang Boneka, Sajak Seekor Ikan dan Airmata Buaya karya Fadli Zon dirancang dengan imaji sentimentalistik terhadap lawan politik tertentu, dapat dikesampingkan dulu sebagai persoalan lain.
Satu hari setelah “puisi-politik” Fadli Zon tersiar, di jagat maya segera muncul pula puisi-puisi tandingan guna menghadang sinisme tersebut. Para pengguna media jejaring sosial waktu itu menikmatinya sebagai perayaan puisi di medan pertarungan menuju kursi Presiden. Fenomena ini tentu dapat ditakar sebagai estetisasi politik, atau mungkin politisasi puisi. Tapi secara tak sengaja, puisi-puisi tersebut telah membendakan sebuah kesadaran terhadap realitas politik menjelang Pemilu 2014, yang boleh jadi berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Bila di medan politik masa lalu, puisi hanya melihat dari jauh, berdiri di luar pagar, di masa kini puisi telah merangsek masuk, menjadi insider di kancah politik itu sendiri.
Baik puisi SBY maupun puisi Fadli Zon, sudah barang tentu dapat dipandang sebagai baliho, pamflet, selebaran gelap, yang segera dilupakan setelah musim Pemilu usai. Namun, betapapun buruknya selera sastra para politisi, puisi tetap lebih bermartabat ketimbang retorika debat-kusir yang bergentanyangan saban hari di layar televisi dan laman-laman medsos. Seekor ikan di akuarium/Kubeli dari tetangga sebelah Warnanya merah/Kerempeng dan lincah. Begitu narasi-narasi pendek dalam Sajak Seekor Ikan karya Fadli Zon, yang bagi saya terasa menantang dan menyingkap kemungkinan makna baru, ketimbang pidato kampanye yang melimpah-ruah, tapi maknanya begitu murah.
Puisi tak mungkin melarikan diri dari kesadaran politik. Karya-karya W.S. Rendra, seperti “Paman Doblang,” “Sajak Orang Kepanasan”, “Sajak Sebatang Lisong” tak dapat dilepaskan dari realitas politik pada masanya. Begitu pula dengan puisi-puisi perlawanan Wiji Thukul, Hamid Jabbar, dan sajak-sajak mbeling Remy Silado. Saya tidak bermaksud hendak membanding-bandingkan puisi karya SBY dan karya Fadli Zon dengan karya-karya besar penyair di atas, karena jujur saja, dari aspek estetika puisi, bedanya seperti langit dan bumi, seperti emas dan loyang. Kolom ini sekadar melihat kegenitan kaum politisi menggunakan puisi atau yang mereka anggap puisi, dalam hiruk pikuk kontestasi perebutan kekuasaan.
Puisi-politik bukan saja ditulis oleh politisi seperti Fadli Zon, penyair Binhad Nurrohmat juga pernah merespon realitas politik menjelang Pemilu dalam antologi sajaknya Demonstran Sexy (2008). Alih-alih takut terkontaminasi oleh efek kuasa politik, ia justru berusaha menyekutukan kesadaran puitik dengan kesadaran politik. Meski dengan persekutuan dua sumbu kesadaran itu sajak-sajaknya menjadi amat sederhana dan cair. Misalnya, Dari pemilu ke pemilu/Undang-Undangnya selalu baru/kayak orang ganti baju/Dari pemilu ke pemilu/banyak kontestannya yang baru/Ada yang asli dan palsu. Tidak ada yang asing, apalagi rumit, dalam sajak “Pemilu Modis” itu, hingga gampang dicerna oleh siapa saja. Tapi, ekspektasi puitik tentu tidak sekadar mampu melakukan simplifikasi puisi—dari gelap menjadi terang, dari kabur menjadi terang, dari keruh menjadi jernih—lebih jauh, tentu tidak harus terjerumus pada hal-hal remeh, sebagaimana lelaku retorik kaum politisi yang hendak disanggahnya.
Maka, ada benarnya tinjauan Yudi Latif, yang menulis epilog untuk antologi Demonstran Sexy itu, bahwa relasi penyair dengan realitas politik sesungguhnya bukan tanpa persoalan. Bila kurang waspada, efek kuasa politik bisa lebih dominan daripada otoritas kepenyairan itu sendiri. “Tak ada penulis yang kebal dari ‘jaring laba-laba’ politik,” kata Luisa Valenzuela, sastrawan Argentina, “Dunia bernapas politik, makan politik, berak politik.”
Tengoklah sajak “Sumpah Penyair”: Penyair Indonesia, berani hidup tanpa uang pensiun/Penyair Indonesia, tidak menjual harga diri puisinya/Penyair Indonesia, menjaga kerukunan rumah tangga/Penyair Indonesia, tidak suka berdusta kepada rakyat/Penyair Indonesia, pantang mencuri harta masyarakat/Penyair Indonesia, setia menjunjung martabat bangsa/Penyair Indonesia, mendukung pemimpin yang bijak/ Penyair Indonesia, menebarkan cinta ke seluruh dunia. Alih-alih dapat dipersepsi sebagai puisi, malah terdengar amat memukau sebagai slogan. Bukankah ini bahasa politik yang telah menyaru ke dalam tubuh puisi? Dalam batas-batas tertentu, sajak ini lebih terasa sebagai kesadaran politik ketimbang kesadaran puitik. Inilah salah satu bukti perihal efek kuasa politik terhadap lelaku ujaran penyair. Itu pula sebabnya, Mudji Sutrisno, dalam sebuah diskusi, mengungkapkan bahwa sajak-sajak Binhad berada di posisi yang tarik-ulur antara “puisi sejati” dan “puisi yang terlibat”. Bila ditimbang sebagai “puisi sejati” ia mendekonstruksi semua “syarat-rukun” yang mengabsahkan sebuah pencapaian estetika puisi. Tapi bila diposisikan sebagai “puisi yang terlibat” ia tidak menegaskan sebuah usungan ideologi sebagaimana “puisi-pusi terlibat” lazimnya.
Kembali pada puisi SBY dan puisi Fadli Zon, mengingat Partai Demokrat dan Partai Gerindra sudah resmi berkoalisi, dan keduanya sudah pula bersepakat memastikan Prabowo Subianto sebagai Capres dalam Pemilu Presiden 2019, apakah puisi-puisi karya SBY dan karya Fadli Zon juga akan ikut berkoalisi? Bila iya, maka dalam upaya mengantarkan Prabowo menuju kemenangan, tentu akan lahir puisi-puisi politis yang baru, hasil perpaduan energi puitik mantan Presiden dengan mantan redaktur majalah sastra Horison. Saya membayangkan, karya-karya yang akan muncul dari hasil persekutuan kelas berat itu, mungkin perlu diwaspadai oleh para pendukung Jokowi.
Partai-partai pendukung Jokowi, termasuk para relawan, mungkin sudah harus mengambil ancang-ancang tentang siapa kira-kira politisi yang paling potensial untuk di-penyair-kan, guna mengantarkan Jokowi menuju kemenangan periode kedua. Ali Mochtar Ngabalin, Ruhut Sitompul, atau M Fadjroel Rachman? Untuk melahirkan puisi-puisi politis yang pilih tanding, guna menghadang kekuatan puitik SBY-Fadli Zon, barangkali tak ada salahnya timses Jokowi menghadirkan pujangga kawakan sekaliber Binhad Nurrohmat sebagai pelatih puisi, atau penyair Chavchay Syaifullah sebagai penasihat. Dengan begitu, pertarungan di Pilpres 2019 akan berimbang, dan Pakde Jokowi tidaklah akan terlalu gamang.