Puasa bagi umat Islam, tidak saja mengandung aspek ibadah spiritual yang berdimensi vertikal, namun juga memiliki unsur sosial berdimensi horizontal. Keduanya saling mempengaruhi. Kesuksesan ibadah seseorang di aspek transenden, mesti diikuti oleh kemuliaan akhlak di lapangan sosial. Nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat universal memberi rahmat bagi sekalian alam semesta.
Untuk mengambil di antara hikmah besar yang melekat di ramadhan, tulisan ini mencoba mengulas kaitan antara puasa ramadhan dan demokrasi berintegritas. Bagi saya, pelaksanaan puasa ramadhan yang berkualitas, bisa berdampak positif terhadap pembangunan demokrasi berintegritas.
Tesis yang saya ajukan adalah nilai-nilai yang diajarkan dalam madrasah puasa ramadan, akan menjadi energi bagi kelangsungan demokrasi. Bagi yang berhasil melaksanakan ibadah puasa ramadan dengan berkualitas, maka luarnya nanti yang dihasilkan adalah melahirkan aktor demokrasi yang berintegritas.
Di antara nilai-nilai dalam puasa ramadan yang berkontribusi terhadap demokrasi berintegritas adalah; kejujuran (fairness), inklusifitas, sikap anti hoak/ujaran ebencian, (iv). Masyarakat Literasi dan (v). Kebijakan ta’awun (tolong-menolong).
Puasa adalah terjemahan dari bahasa arab, yaitu shaum/shiyam yang berarti menahan diri dari sesuatu. Di antara hal yang harus ditahan adalah tidak makan, minum, berhubungan suami istri di saat puasa, berbicara tidak berfaedah, dan fitnah.
Dalam syariat Islam, puasa yang hakiki idealnya dijalankan dengan niat yang tulus, kuat, dan menghunjam di hati sanubari sebagai manifestasi ketaatan kepada Allah SWT. Karena itu, orang yang berpuasa tidak mungkin berbohong. Andai ia mau tidak jujur, dia bisa saja makan dan minum sendirian. Toh tidak ada orang yang melihat. Namun orang yang berpuasa secara hakiki, mustahil melakukan itu.
Dalam praktik demokrasi, kejujuran menjadi prinsip yang harus diaplikasikan dalam setiap momen prosedur demokrasi. Pemilu ataupun pilkada, harus beralaskan kejujuran. Penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan warga yang jujur dalam proses berdemokrasi, tentulah menjadi bagian dari terwujudnya demokrasi yang berintegritas.
Seorang calon kepala daerah yang jujur, tidak mungkin menyuap warganya untuk memilihnya. Pengurus partai politik yang berintegritas tidak akan melakukan praktik jual beli kursi, dan mengedepankan seleksi berbasis integritas, rekam jejak, visi dan misi kandidat.
Begitupun penyelenggara pemilu yang menghayati makna puasa, dan apalagi telah menegakkan puasa dengan khidmat, tidak akan berbuat curang. Tak terkecuali warga atau pemilih yang jujur, tidak akan terjebak dengan iming-iming politik uang, karena ia yakin calon kepala daerah yang mempertontonkan model kampanye politik uang tidak akan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Demikianlah puasa mengajarkan kepribadian luhur. Kejujuran!
Atas kejujuran yang dilakukan oleh orang berpuasa, sehingga Alah swt menjanjikan, “orang yang berpuasa, Aku sendiri yang akan membalasnya.” Balasan Allah SWT kepada orang berpuasa, dalam kriteria Tuhan, tidak didasari atas perbedaan kelas sosial. Apakah ia bersuku Arab, Amerika, Eropa, Asia, atau Afrika, di mata Tuhan semua sama.
Apakah ia berpangkat jendral, pejabat eselon atau pegawai biasa, orang kaya, atau miskin, di mata Allah swt tetap dinilai sama. Yang dilihat Allah SWT adalah bagaimana umatnya mempraktikkan ibadah dengan benar, tulus, dan karena semata bentuk pengabdian kepada-Nya. (Al-Qur’ran:Al hujurat 13). Demikianlah puasa ramadan, mengajarkan nilai inklusif.
Dalam kehidupan demokrasi, sesungguhnya inklusifitas adalah modal utama. Demokrasi lahir dari kekuatan demos (rakyat) yang mengutamakan prinsip kesetaraan, kesukarelaan, dan keterbukaan.
Sikap inklusif itu akan sirna jika terdapat praktik esklusifisme, mementingkan kelompok tertentu, dan menabrak tatanan sosial. Puasa ramadan mengajarkan bahwa Tuhan memberlakukan kriteria inklusif terhadap umatnya, sehingga luaran yang diharapkan adalah terbentuknya pribadi yang terbuka, toleran, dan saling menghormati.
Puasa juga melatih pemeluknya untuk menahan diri dari perkataan yang tidak berguna. Jangankan berbohong, menyebar kebencian, mengetahui orang menggunjing atau ghibah di depannya saja, ia hindari karena begitulah ajaran bagi orang yang sedang berpuasa. Nilai tersebut memberi pengajaran bahwa di bulan ramadan dan selain ramadan, umat Islam harus mengedepankan sikap menjaga lidah. Menjaga lidah dimaknai menjaga sifat tidak terkendali akibat ucapan yang tak dapat dipertanggungjawabkan.
Ucapan dapat juga dilihat bagaimana sikap umat dalam menggunakan gawai dan akun media sosialnya. Tak ditutupi lagi, banyak riset yang mengungkap bahwa persebaran informasi hoaks, bahkan ujaran kebencian masih sering terjadi. Informasi bohong jelas sekali memiliki dampak sistemik.
Info bohong bisa menyesatkan, dan dalam konteks kehidupan berbangsa, hal itu berpotensi menimbulkan keretakan sosial dan integrasi bangsa. Apatah lagi ujaran kebencian, yang diproduksi secara massif. Jelas sekali ini berbahaya bagi kedaulatan bangsa. Padahal Indonesia dibangun berbasis keragaman suku, agama, budaya, dan Bahasa. Mereka yang berhasil berpuasa, pastilah bersikap anti hoak dan ujaran kebencian!
Sifat Anti Hoak dan ujaran kebencian, juga dapat dilawan dengan nilai literasi yang terkandung di dalam puasa Ramadan. Literasi adalah kemampuan seseorang untuk melihat suatu peristiwa dengan benar, kritis, dan obyektif. Puasa Ramadan mendidik umat Islam agar membaca Al quran.
Bagi umat Islam, membaca Al-Qu’ran adalah aktifitas ritual yang telah melekat dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadan. Praktik membaca Al quran, populer disebut tadarus Al Quran, memang dicontohkan oleh Muhammad. Bahkan perintah membaca adalah wahyu Tuhan pertama yang diturunkan kepada Muhammad. Sedemikian pentingnya hakikat membaca bagi Islam, sehingga perintah itu sampai diulang beberapa kali.
Membaca tentu saja berhubungan dengan terbentuknya kapasitas literasi yang baik. Individu-individu yang membaca, akan membentuk masyarakat literasi. Literasi menjadi penting sekali karena pengalaman di pemilu 2019, informasi hoaks dan ujaran kebencian menghiasai ruang-ruang sosial kita. Bahkan begitu masifnya, informasi hoaks dan ujaran kebencian bisa mejadi wabah demokrasi.
Jika orang berpuasa ramadan dengan benar, dan kemudian mempraktikkan ritual membaca di luar ramadan secara kritis, maka sebaran hoaks dan ujaran kebencian dapat dikurangi. Karena itu, demokrasi yang berintegritas ditandai salah satunya karena terdapatnya masyarakat yang memiliki literasi baik.
Nilai utama lain yang terkandung dalam puasa ramadan adalah pendidikan untuk bersikap mengasihi, tolong menolong, dan membantu orang-orang yang termarginalkan secara ekonomi. Semua orang Islam tahu, amal sedekah dilipatgandakan, lebih-lebih di bulan Ramadan.
Di bulan ramadan juga, syariat zakat fitrah diberlakukan. Semua umat Islam yang mampu mengeluarkan sebagian rejekinya untuk mereka yang mengalami kesusahan. Begitu juga banyak umat Islam yang mengeluarkan zakat harta demi membela dan menolong sesama umat. Demikianlah Islam, sebuah agama paripurna yang berlaku bagi semesta alam. Ada nilai-nilai kedamaian, rahmah, keadaban, dan filantropi yang melekat di dalamnya.
Pembelajaran soal sikap ta’awun atau tolong menolong kepada mereka yang membutuhkan, mestinya dihayati benar oleh pemimpin politik kita. Mereka yang dipilih dari proses demokratis, sejatinya memiliki tanggungjawab untuk membela yang papa. Fakir miskin, anak putus sekolah, pekerja yang dirumahkan, anak jalanan, balada kaum tani, buruh tani, pedagang kecil, dan seterusnya, jelas sangat berharap kebijakan politik yang memihak mereka.
Problem hidup yang berat saat ini, selain kepada kebaikan orang-orang yang memiliki jiwa solidaritas sosial tinggi, tentulah yang paling utama mereka tumpangkan harapan kepada pemimpin negeri. Saya berkeyakinan, kualitas demokrasi diukur salah satunya oleh bagaimana mereka yang terpilih dapat memenuhi janji-janji politiknya. Semakin banyak kemampuan pemimpin tersebut dalam mempraktikkan kebijakan yang prorakyat, tentu semakin tinggi pula kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Kita diingatkan oleh Al quran surat Al Baqarah: 183, bahwa kewajiban berpuasa hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman. Orang beriman, lebih tinggi derajatnya daripada orang yang baru berislam belaka.
Hal itu terekam misalnya dalam surat al hujurat 14. Artinya, di antara jutaan umat, tidak secara otomatis semua melakukan praktik ibadah puasa secara hakiki. Terdapat juga orang-orang yang tidak berpuasa, atau kalaupun berpuasa, tidak menghayati makna hakikinya.
Setali tiga uang dengan proses demokrasi yang dijalankan. Tentu tidak semua aktor demokrasi bebas dari potensi persoalan. Ada juga oknum aktor demokrasi yang merusak tatanan demokrasi. Juan J. Linz menyebutnya sebagai “demokrasi kaum penjahat”. Kejahatan demokrasi dapat kita temukan dalam bentuk korupsi, rent seeking, shadow state, oligarki, vote buying, produksi hoaks/ujaran kebencian, manipulasi hasil pemilu, kekerasan politik, dan sebagainya. Itulah yang berkontribusi lahirnya wabah demokrasi.
Namun, saya percaya bahwa wabah demokrasi bisa dikalahkan dengan berkumpulnya orang-orang baik. Analog dengan praktik berpuasa tadi, kita masih punya harapan adanya mayoritas orang beriman, yang berpuasa dengan benar dan sungguh-sungguh. Kepada merekalah harapan kita patrikan karena orang-orang baik dalam aktor demokrasi adalah vaksin dari wabah demokrasi.
Saya percaya bahwa bagi siapapun yang berpuasa Ramadan dengan sungguh-sungguh, khususnya bagi pemangku utama pembangunan demokrasi di Indonesia, akan berkontribusi terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Sikap jujur, inklusif, menahan hawa nafsu, menahan ucapan yang tidak berguna, masyarakat literasi, hingga sifat tolong menolong yang diajarkan ramadan, bisa menjadi energi terbentuknya demokrasi berintegritas di tanah air. Semoga.